Satu Kata Maaf yang Lama Kusimpan
Oleh: Atika Khilmiyati
Langit berwarna kelabu seolah sedang menampakkan kesedihan. Beberapa helai daun beterbangan dihantarkan oleh angin menuju tanah. Begitu juga dengan raga Naswati yang kini tertutup dalam gundukan tanah merah.
Setelah doa-doa dipanjatkan, para pelayat berangsur-angsur pulang. Beberapa anggota keluarga tampak masih berada di samping makam, termasuk Arka. Seorang anak laki-laki berusia dua belas tahun dengan senyum yang memikat. Selama ini, ia hidup serumah bersama neneknya, Sofia, dan Galih. Kepergian Niswati merampas senyum Arka, bukan hanya karena kehilangan sosok nenek yang selama lima tahun ini membesarkannya, namun kini Arka dihadapkan pada pilihan sulit, sama seperti lima tahun lalu.
“Ibu, maafkan aku.” Terdengar suara Demia, ibunya Arka.
Wanita cantik yang parasnya menurun pada Arka, bersimpuh dengan air mata yang tidak mau berhenti. Bahunya berguncang, menahan sedih yang mendera hatinya.
Sofia, adik dari Demia, terlihat menenangkan kakaknya meskipun usahanya bisa dibilang sia-sia. Sementara suami Sofia sedang mengucapkan terima kasih pada beberapa tetangga yang sudah membantu proses pemakaman.
Arka menyapu pandangan ke area pemakaman, mencari keberadaan Nino, lelaki pemilik hati ibunya. Dari jauh ia bisa melihat Nino sedang menenangkan Airel yang mulai rewel.
Tak tega melihat ibunya menangis, Arka kemudian memeluk Demia dengan tulus. Satu pelukan yang sudah lama tak ia dapatkan dari anak sulungnya itu. Pelukan itu, seolah mengikis jarak yang sempat terbentang di antara mereka berdua.
Hujan akhirnya turun membasahi kampung Dikesare, Lebatukan, Nusa Tenggara Timur. Sebuah kampung di pesisir pantai yang punya arti khusus di hati Arka.
“Ayo, kita pulang, sebelum hujan semakin deras,” ajak Sofia pada Arka dan Demia.
Ibu dan anak tersebut kemudian bangkit disusul teriakan dari gadis kecil berusia tiga tahun dengan rambut bergelombang.
“Ibu …,” teriak Airel sambil berlari menuju ibunya.
Dalam sekejap gadis itu sudah berada dalam gendongan ibunya dengan manja. Mereka kemudian berjalan dengan cepat, menuju mobil minibus yang terparkir di seberang jalan.
“Aku sayang Nenek,” bisik Arka saat mobil yang dikendarai Nino berjalan meninggalkan pemakaman seiring dengan makin derasnya air yang turun dari langit.
***
Hari-hari setelah kepergian Niswati, Arka menjadi lebih pendiam. Meskipun kini ia bersikap lebih hangat pada ibunya, namun jarak itu masih enggan ia hilangkan. Pagi itu Arka duduk termenung di bawah pohon Sepe yang bunganya mulai bermekaran. Bunganya yang berwarna merah bersih menambah semarak halaman. Dulu, Niswati yang menanam dan merawatnya dengan baik.
Airel berlari memunguti kelopak bunga Sepe yang berjatuhan di tanah. Ia mengumpulkannya dengan gembira seolah bunga itu adalah benda yang begitu berharga. Sesekali Airel mendekat ke Arka sambil berceloteh pada kakaknya. Arka hanya menanggapi seperlunya saja. Ia belum bisa merasakan kegembiraan seperti adiknya.
Nino hanya memperhatikan kedua anak itu dari bangku yang berjauhan dari Arka. Selalu seperti itu, sejak dulu. Ia tidak pernah memaksa anak itu untuk menerimanya.
Demia dan Sofia sedang berada di dapur yang menghadap halaman samping. Mereka mencuci piring dan gelas yang masih menumpuk setelah acara pengajian semalam.
“Kak, biarkan Arka memilih sendiri, di mana ia ingin berada,” ucap Sofia sambil menatap keponakan yang sudah ia anggap sebagai anak kandungnya.
“Apa aku harus mengalah lagi? Sama seperti dulu, saat Ibu memintaku meninggalkannya di sini?”
“Kau tahu, itu tidak hanya kemauan Ibu, Arka saat itu pun setuju.”
Ada nyeri di sudut hatinya saat mendengar adiknya mengucapkan kalimat tersebut. Kejadian lima tahun lalu masih terekam jelas dalam ingatannya. Sofia memang benar, dirinya juga bersalah. Dulu ia yang terlalu egois, menerima Nino tanpa memikirkan luka di hati Arka yang belum sembuh.
“Apa salah jika seorang ibu ingin bersama anaknya?” tanya Demia dengan lirih.
Sofia hanya terdiam, ia tidak ingin melukai hati kakaknya lagi setelah semua kejadian yang pernah membuat Demia tumbang.
Bagaimanapun Ninolah yang paling berjasa mengembalikan semangat hidup kakaknya.
***
Seminggu berlalu sejak kepergian Nenek.
Hari ini Ibu, Airel dan lelaki bermata elang itu akan pulang. Ada rasa kehilangan yang hadir seketika di hatiku meski susah payah kutepis.
Maka disinilah aku sekarang, menatap butiran pasir putih yang setia menunggu ombak. Dulu sekali, aku pernah bermain dengan gembira di atas pasir putih itu bersama Ayah dan Ibu.
“Arka …!” teriak Ibu dari arah belakang. Ia berjalan menuju ke arahku. Sedangkan Om Nino menggendong Airel ke bibir pantai.
“Pantai ini tetap indah, ya?” ucap Ibu sambil duduk tepat di sebelahku.
“Tetapi kenangan tentang pantai ini tidak selalu indah.”
“Ibu sudah mengubur kenangan pahit itu dan menjadikannya pelajaran. Bukankah kita harus tetap hidup dengan bahagia?”
Aku hanya terdiam mendengar pertanyaan dari Ibu. “Ibu memang benar, mungkin selama ini aku terlalu takut menerima dia,” bisikku dalam hati.
Kami terdiam cukup lama. Kupandangi Airel dan Om Nino yang sedang bermain air di tepi pantai. Rasanya iri melihat kebahagiaan yang mereka rasakan.
“Kau tahu Arka, kemana pun air laut mengalir, bahkan ke samudra sekalipun. Ia akan selalu kembali ke pantai. Ibu akan menanti saat itu tiba.” Wanita yang telah melahirkanku itu kemudian memelukku dengan erat. Ada isak tangis yang samar terdengar di antara kalimat yang meluncur barusan.
“Maaf,” ucapku lirih. Akhirnya satu kata yang lama kusimpan itu keluar juga dari bibirku, setelah ribuan kata maaf yang selalu Ibu sampaikan padaku lima tahun ini.
Ibu menatapku lama kemudian tersenyum. Sudah lama tak pernah kulihat senyuman seindah itu terlukis di wajahnya.
“Baiklah, Ibu harus segera berangkat. Hubungi Ibu kapan saja jika kau mau!”
Aku mencium punggung tangannya, setelah itu ia berlari menuju Airel dan menggendongnya menuju mobil.
Tiba-tiba tanpa kuduga, Om Nino berbalik menuju ke arahku. Ada rasa aneh yang kurasakan saat ia berjalan mendekat. Tepat satu hasta di depanku, lelaki itu berhenti.
“Kau boleh membenciku, tapi jangan membenci ibumu karena aku. Aku bisa memastikan kasih sayangnya padamu tak berkurang sedikit pun. Namamu bahkan tidak pernah lupa disebutnya dalam setiap doa.”
Tak terasa air mataku menetes mendengar semua perkataannya. Lelaki itu kemudian mengangkat tangannya dengan keadaan mengepal ke arahku.
Aku mengikuti apa yang dilakukannya. Kedua kepalan tangan kami saling beradu. Ada senyuman tulus yang kulihat dari pandangan matanya. Aku kemudian ikut tersenyum, tidak lagi bersikap tidak peduli seperti sebelumnya.
Lelaki yang kedatangannya tak pernah kuterima itu kemudian berjalan menuju mobil. Di sana bisa kulihat Ibu dan Airel menatap kami sambal tersenyum pula. Sebelum berangkat mereka bertiga melambaikan tangan yang kemudian ku balas dengan hal yang sama. Mobil kemudian berjalan meninggalkan pantai.
Tunggu aku! Setelah aku benar-benar siap. Aku berjanji akan kembali bersamamu Ibu.
Aku mengucapkan kalimat tadi dalam hati, di antara desiran angin pantai pagi itu.
(*)
Banjarnegara, 20 februari 2022
Atika Khilmiyati, Ibu dari dua anak yang menyukai hutan dan pantai. Saat ini ia membersamai anak-anak SDN 5 Purwanegara untuk belajar dan berusaha menggapai impian mereka. Menulis merupakan kegiatan yang mulai ditekuninya beberapa tahun ini. Ia berharap dapat terus belajar sehingga menghasilkan karya yang berkualitas dan bermanfaat untuk orang banyak.
Editor: Imas Hanifah N
Gambar: Pixabay