Bukan Dia yang Bodoh tapi Aku yang Pintar
Oleh: Cokelat
Aku beringsut dari ranjang Siti tanpa menimbulkan suara. Sementara gadis itu tetap pulas dalam tidurnya. Sepertinya pertempuran kami tadi benar-benar menguras tenaga gadis kampung yang cantik itu. Aku harus bergegas kembali ke kamarku sebelum Indi terbangun.
“Dari mana, Mas? Tadi pas bangun, aku lihat Mas nggak ada. Bantal Mas juga masih rapi.” Tubuhku seketika membeku saat melangkah masuk ke kamar dan mendengar suara Indi dari arah kamar mandi.
“I-Iya. Maaf, Mas ketiduran di ruang kerja. Lagi banyak banget kerjaan, Sayang.” Astaga … semoga dia tidak curiga. Brengsek! Apa obat tidur merk baru yang kucoba semalam kurang ampuh? Biasanya Indi akan pulas sampai pagi. Sekarang baru pukul empat subuh dan istriku itu sudah terbangun. Pegawai apotek itu harus kuomeli nanti karena merekomendasikan merk abal-abal.
“Ooh, gitu. Ya udah, aku lanjut tidur ya, Mas. Ngantuk banget.” Indi kembali masuk ke dalam selimutnya. Aku hanya mengangguk dan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.
Kupikir, kejadian subuh itu akan berlalu begitu saja. Ternyata aku salah. Paginya, saat Indi terbangun, dia langsung mewawancaraiku. Dia tak semudah itu percaya pada jawabanku. Indi juga menyelidiki dengan bertanya pada Siti dan Bik Sum. Saat aku tiba di kantor, Siti menelepon dan menceritakan keadaan di rumah.
“Setelah Siti ditanyain macam-macam sama Ibu, Siti disuruh kembali ke dapur. Tapi Siti sembunyi di balik tembok, biar bisa curi-curi dengar.” Aku menahan napas mendengar penjelasan Siti.
“Sebentar … ini kamu lagi di mana? Yakin, nggak ada yang denger kamu?”
“Aman, Pak. Siti di belakang, di samping kolam ikan. Ibu lagi ada tamu di depan. Bik Sum ke pasar. Pak Anto belum balik dari ngantar Bapak ke kantor. Nggak ada siapa-siapa yang bisa dengar.”
“Oke. Trus kamu dengar apa tadi?”
“Ibu nanya-nanya Bik Sum, Pak. Kata Ibu, bener Bibi nggak dengar suara-suara? Tidak ada suara pintu terbuka tengah malam? Tidak ada suara-suara dari kamar Siti? Kamar Siti dan Bibi, kan, sampingan. Pokoknya gitu-gitu deh, Pak.” Tanganku yang memegang ponsel bergetar. Sementara degup jantungku lebih cepat dari biasanya.
“Untung, ya, Pak. Bapak juga nyuruh Siti tetesin obat itu ke air minum Bik Sum. Jadi Bik Sum selalu tidur nyenyak kayak Ibu,” lanjut Siti.
Aku menghembuskan napas dengan kasar. Untung apanya? Jika Indi sudah mulai curiga seperti ini, dia tidak akan berhenti sampai dia puas. Aku tahu betul watak istriku itu. Dan, kalau dia sampai menemukan bukti ketidaksetiaanku, tamatlah riwayatku. Sudah pasti, aku akan ditendang dari keluarga besarnya. Perusahaan ayahnya yang dipercayakan padaku otomatis harus kukembalikan. Cukup sampai di situ? Tentu tidak. Aku akan dimiskinkan. Mereka tak akan puas sampai melihatku terlunta-lunta seperti anjing di jalanan. Begitulah nasib para pengkhianat di lingkaran keluarga dan kerajaan bisnis Tuan Subroto. Aku mendadak merasa sangat frustasi.
Sejak malam itu, aku tak pernah lagi berkunjung ke kamar Siti. Terlalu beresiko bagi kami di saat Indi menaruh kecurigaan yang begitu besar. Untung, Siti cukup memahami situasinya. Tapi, aku tak bisa terus-terusan seperti ini. Aku harus menemukan jalan keluar agar masalah ini selesai. Aku harus berpikir cerdas, jangan sampai semua yang kuraih selama ini terlepas begitu saja. Aku akan melakukan apapun untuk mempertahankannya.
Aku dan Indi sedang duduk bersantai di halaman belakang. Angin sore bertiup sepoi-sepoi. Suara gemericik air mancur pada kolam ikan mini di sudut halaman menemani kami menikmati sore yang indah.
Siti berjalan mendekati kami. Di tangannya ada nampan dengan dua gelas teh dan dua piring kecil berisi roti bakar. Siti terlihat sangat segar. Rambut sebahunya yang masih basah, terurai lepas dan menguarkan wangi yang khas. Sepertinya dia baru selesai mandi sore. Aku berusaha keras menahan diri untuk tidak meliriknya.
Siti meletakkan nampannya di atas meja. “Silakan Pak … Ibu.” Dia kelihatan gugup.
Istriku bahkan tak mengangkat kepala dan tetap fokus pada buku yang berada di pangkuannya. Indi memang seperti itu kalau sudah asyik membaca. Terpaksa aku yang mengangguk ke arah Siti sambil mengucapkan terima kasih.
“Rotinya, Sayang.” Kusodorkan piring berisi roti kesukaan Indi. Dia paling suka roti yang diolesi selai cokelat. Indi meraih piring kecil yang kusodorkan. Sementara aku, mengambil roti selai nanas kesukaanku.
Tiba-tiba perutku terasa sangat sakit, dan aku pun muntah. Ada apa ini? Tidak mungkin! Aku yakin, tidak memakan roti yang salah. Aku jatuh terbaring ke atas rumput. Indi tak beranjak dari kursinya dan menatapku tanpa ekspresi. Mulutku mulai mengeluarkan busa.
Sial! Pasti pembantu bodoh itu salah mendengar perintahku. Degan suara tercekik aku memanggil Siti yang baru beberapa meter meninggalkan kami. “Bo-bodoh! Kamu bodoh!”
Siti mendekatiku dengan panik. “Tuan, apa aku salah? Tadi malam, Tuan bilang bubuhkan bubuk itu pada selain cokelat, kan?” Sayup-sayup, kudengar bisikan Siti. Berarti Siti tidak salah. Lalu mengapa aku yang keracunan?
Indi berdiri dari kursinya dan menatapku yang semakin merasa tak karuan. Apakah aku berhalusinasi? Ada senyum tipis di sudut bibirnya.
“Bukan dia yang bodoh, tapi aku yang pintar.” Indi menatapku dengan dingin. Dia kemudian berlalu, meninggalkan aku dan Siti yang mulai histeris.
Perlahan, aku kehilangan kesadaran. Tuhan … aku tak tahan lagi.[]
Ruang Cokelat, Juni 2022
Bionarasi:
Cokelat, seseorang yang baru belajar menulis.
Editor: Nuke Soeprijono
Sumber gambar: Pinterest