Kabar Kematian
Oleh: Rinanda Tesniana
Kalian percaya atau tidak, kehadiran burung gagak selalu menjadi pertanda akan kematian seseorang? Aku tidak. Namun ketika mentari beranjak turun ke barat, sekelompok burung gagak yang entah dari mana datangnya, berputar liar di dekat rumah kami, seketika aku ingat ucapan Ibu bertahun lalu, saat hal yang sama terjadi.
Agaknye nak ada berita duka, Rus.
Dan benar saja, tepat seminggu setelah ucapan Ibu, kakek meninggal dunia. Sejak saat itu, kehadiran burung gagak menyisakan sakit tersendiri di dalam hatiku.
Dan kini kejadian yang sama terulang kembali. Aku ketakutan, tetapi tetap saja otakku berpikir keras, siapa yang akan meninggal selanjutnya? Aku tidak mungkin bertanya kepada Ibu, sebab dia sudah mendahului kami menghadap Yang Mahakuasa lima tahun lalu.
“Siapa ya kira-kira?” aku bergumam saat memasak nasi di dandang.
“Siape ape, Rus?”
Aku sampai melompat saat mendengar suara Ayah dari belakang.
“Ayah! Rus pikir siapa tadi.”
“Kuat menung engkau. Sampai tak dengo suara langkah kaki Ayah.”
Aku memindahkan nasi yang telah matang ke dalam kukusan. Kata Ibu memasak nasi dengan cara seperti ini lebih baik daripada memasaknya di penanak nasi elektronik.
“Eh, Ayah dengar tak suara burung gagak tu?” Aku berbalik menghadapnya. Lelaki di ambang enam puluh itu mengernyitkan dahi.
“Dengolah. Ngapo? Macam tak pernah dengo suara gagak saja engkau ni.” Ayah berkata sambil lalu. Dia sibuk melihat lauk apa yang sedang aku masak.
“Ayah, kata Ibu dulu ….”
“Halah!” Ayah mengibaskan tangan ke udara. “Usah percaya takhayul, Rus. Burung gagak bunyi tu biaso. Usah dihubungkan dengan bende-bende tak masuk akal.” Lelaki itu mengambil piring dan mengambil dua centong nasi, lalu dia mengambil sepotong asam pedas patin yang masih panas dari dalam panci. “Jangan banyak pikir, Rus. Elok kau pikir kuliah kau tu. Kejab lagi dah nak masuk, kan?”
Aku hanya mengangguk menanggapi ucapan Ayah. Namun suara burung gagak itu kian kencang terdengar. Aku makin tak tenang. Dengan terburu-buru aku menyalin nasi dan lauk ke dalam mangkok. Lebih baik melaksanakan Salat Zuhur daripada memikirkan hal tak berguna.
Baru saja melipat mukena, aku mendengar teriakan dari rumah sebelah. Tak menunggu lama, aku berlari keluar. Entah siapa yang berteriak tadi, yang jelas pasti dia mengalami musibah, entah apa itu.
Di depan rumah Makcik Husna telah ramai orang berdatangan. Rumah panggung yang terbuat dari kayu itu terletak di sebelah kanan rumahku. Sepasang suami-istri tinggal berdua di sana. Namun sang pemilik rumah, Makcik Husna dan Pakcik Firdaus, malah tak tampak di keramaian.
“Ada apa, Hen?” tanyaku kepada Heni, teman sekolahku dulu yang sedang bergegas berlari ke dalam.
“Pakcik Firdaus jatuh di tangga, Rus. Tak sadar sekarang.”
Patutlah Makcik Husna histeris begitu. Tangga untuk naik ke rumah mereka memang cukup tinggi. Pakcik Firdaus bukanlah sehat betul sekarang ini. Jika asam uratnya kambuh, berjalan pun dia sulit.
Aku melihat Makcik Husna menangis meraung-raung di pintu rumah. Beberapa lelaki paruh baya mengangkat tubuh kurus Pakcik Firdaus. Ayah ada di antara mereka. Tentu saja, Pakcik Firdaus adalah sahabatnya sejak remaja.
Setelah Pakcik dibawa ke puskesmas, aku kembali ke rumah. Dalam hati berdoa semoga Pakcik sehat kembali.
*
Aku sedang membaca puluhan chat yang ada di grup WhatsApp jurusanku. Informasi mengenai jadwal tatap muka terlampir di sana. Aku menghela napas panjang, berat rasanya meninggalkan Ayah seorang diri di rumah. Beliau memang belum terlalu tua, pun masih sibuk di kebun sawit miliknya, tetapi tentulah dia akan kesepian jika aku berangkat kuliah nanti. Entah siapa yang akan memasak untuknya, atau mengingatkannya minum obat jika magnya kambuh.
Suara riuh gagak kembali terdengar. Aku berlari ke depan untuk melihat di mana mereka sekarang. Ternyata mereka berbaris di atas tiang listrik di depan rumah Makcik Husna. Tak lama, suara ambulans terdengar nyaring. Aku mengintip dari balik jendela. Tampak Makcik Husna terisak saat turun dari ambulans. Berarti Pakcik Firdaus telah berpulang. Aku gegas memakai kerudung hitam dan melayat ke rumah duka.
*
Seminggu setelah kepergian Pakcik Firdaus, aku ikut membantu memasak untuk acara kenduri nanti malam. Tradisi kami di kampung adalah gotong royong di rumah keluarga yang sedang berduka.
“Sian betul Husna,” ujar Makcik Tina. “Mendadak saje Bang Firdaus pergi.”
Aku diam saja mendengarkan beliau bercerita.
“Kau tengok, Tin, banyak burung gagak dekat jalan rumah kite dari kemarin. Itulah pertande. Kalau dah ade burung berkeliaran, tu pertande tak elok.” Makcik Nung menyambung.
Aku mengiris bawang dengan perlahan agar tetap bisa mendengar obrolan itu.
“Aku takut betul memang. Kalau dah ada burung gagak dekat sini, cepat aku usir. Aku lempar batu. Tak nak ada hal buruk terjadi pade keluarge aku.”
Aku mengupas wortel dengan benak penuh rencana. Kalau burung gagak itu datang lagi, aku akan melempar mereka dengan batu. Aku tak mau Ayah atau aku mati karena kehadiran gagak. Cukuplah Ibu saja yang jadi korban.
“Rus, ngapa kecil betul kau potong wortel tuh.”
Suara Makcik Tina menyadarkanku. Mataku membesar melihat potongan wortel yang seharusnya petak besar malah dicincang kecil-kecil. Aku terlalu sibuk dengan isi kepalaku sendiri.
“Rus, elok kau balek kalau sakit.” Makcik Peni memegang keningku. “Agak hangat sikit.”
“Tak apa, Makcik?”
“Tak ape. Nanti malam kau datang sama Ayah, ye.”
Aku mengangguk kemudian berlalu setelah mengucapkan salam. Aku memang sedikit pusing, mungkin karena seminggu ini lelah menyiapkan keberangkatan ke kota untuk mengikuti masa orientasi kampus.
Lagi-lagi suara burung gagak terdengar. Suara itu seperti kaset rusak yang terus diulang-ulang. Aku mencari di mana mereka bertengger kali ini. Dan benar saja, mereka bergerombol di atap rumahku. Ucapan Makcik Tina kembali terngiang.
Aku takut betul memang. Kalau dah ada burung gagak dekat sini, cepat aku usir. Aku lempar batu. Tak nak ada hal buruk terjadi pade keluarge aku
Aku mengambil batu kerikil, lalu melemparkannya ke atas. Seketika kawanan burung itu terbang menjauhi atap, tetapi tak lama mereka kembali lagi. Suaranya sahut menyahut tak putus-putus, berpacu dengan embusan angin yang cukup kencang pagi ini.
Aku kembali mengambil kerikil, kali ini yang ukurannya agak besar. Tetap saja mereka tidak membubarkan diri. Ketakutanku semakin menjadi-jadi. Burung gagak adalah pertanda kematian, dan aku tidak mau mati sia-sia sebab kehadiran mereka.
Aku mencari-cari benda apa lagi yang bisa aku lemparkan ke atas. Mataku menangkap ranting kayu yang cukup besar di seberang jalan. Aku berlari untuk mengambil ranting itu, tanpa sempat melihat kanan dan kiri. Di tengah rasa panik yang mendera sebab suara gagak semakin bising, aku melihat sosok perempuan bergaun putih dengan kerudung berwarna sama berdiri di hadapanku. Senyum tipis terukir di bibirnya. Sementara kedua tangannya terulur ke depan seolah hendak memelukku.
“Ibu!”[*]
Padang, 3 Juli 2022
Rinanda Tesniana, seorang ambiver yang sedang belajar menulis.
Gambar : Pinterest