Sup Jamur Spesial
Oleh: Ardhya Rahma
Karin mengaduk panci di atas kompor dengan telaten. Sesekali kepalanya melongok ke dalam panci untuk melihat apakah semua isinya sudah tercampur dengan rata atau belum. Setelah beberapa menit, bau harum masakan pun menguar dari dalam panci. Karin tersenyum sambil mencium bau makanan setengah matang itu. Gadis itu segera mengambil panci kecil dan memindahkan sebagian isi panci besar ke dalam panci kecil dan meletakkan panci kecil itu di tungku sebelahnya yang tidak menyala.
Lalu, Karin meneruskan mengaduk isi panci besar. Sebelum masakannya benar-benar matang gadis itu dengan hati-hati memasukkan bahan tambahan ke dalam panci. Setelah tercampur rata barulah dia memasukkan larutan maizena agar mengental. Bibir gadis itu kembali tersenyum saat menyaksikan letupan-letupan kecil di dalam panci. Lantas, dia mematikan kompor.
Gadis berkulit sawo matang itu, kemudian mencuci tangannya berulang kali dan membuka apron. Lalu, dia ganti menyalakan tungku yang ada panci kecil di atasnya. Dia menimbang sejenak apakah perlu menambahkan larutan maizena atau tidak, dan memutuskan membiarkan isi panci matang tanpa perlu mengental. Setelah itu Karin mengambil piring kecil dan menuangkan beberapa sendok besar isi panci kecil.
Karin membawa piring ke meja makan terdekat dan mulai mencicipi hasil masakannya. Suara sendok beradu dengan piring terdengar berulang kali, ditingkahi suara sesapan dan decapan. Tak lama kemudian suara itu terhenti. Mata Karin menatap piring yang sekarang sudah licin dan menggumam.
“Ternyata enak juga sup jamur tanpa maizena. Sepertinya mulai sekarang aku bisa menyukai sup jamur yang encer.”
Sambil tersenyum, gadis itu berdiri sambil membawa piring kotor ke bak cuci piring. Dia kembali mengenakan apron dan mulai mencuci peralatan makan dan memasak yang sudah digunakan. Namun, dia membiarkan satu mangkuk kecil dan talenan plastik yang sudah dipinggirkannya tetap kotor. Setelah semua peralatan menjadi bersih. Tangannya meraih kantong kresek dan meletakkan mangkuk dan talenan kotor di dalamnya, lalu membuangnya ke tempat sampah.
Beberapa saat kemudian setelah berpakaian rapi, Karin mulai memindahkan sup jamur di panci besar ke dalam rantang yang tadi sudah disiapkannya. Lalu, dia pun menuju pintu depan sambil menenteng rantang dan mencangklong tas. Bibirnya tersenyum kecil saat mengunci pintu sebelum meninggalkan rumah.
***
“Kamu ke mana aja? Kenapa baru datang sekarang? Kamu sengaja, ya, biar nggak ditagih oleh-oleh!” cerocos Bi Imah, saat membuka pintu. Bi Imah adalah satu-satunya keluarga yang dimiliki Karin sejak kedua orang tuanya meninggal sewaktu dia masih berumur enam tahun.
“Bukan begitu, Bi. Pekerjaan kantor memang menumpuk sekembalinya Karin dari dinas. Sabtu dan Minggu pun Karin harus lembur. Jadi, baru sempat sekarang main ke rumah ini.”
“Ya, sudah! Yang penting kamu tidak lupa membelikan oleh-oleh.”
“Pasti, Bi! Malah ada yang spesial, nih,” jawab Karin, sambil mengangkat rantang yang dibawanya.
“Apa itu?” tanya Bi Imah, dengan nada penasaran.
“Karin bawa ke dapur, ya, Bi. Kalau bisa dimakan sekarang mumpung masih hangat. O ya, Wawan ke mana?”
“Ada di kamarnya. Jam sekian dia pasti masih tidur. Apa, sih, itu? Tinggal jawab aja kok kamu malah berbelit-belit.” Bi Imah mengomel sambil mengekoriku menuju dapur.
“Sup jamur, Bi. Makanan favorit keluarga ini,” balas Karin, sambil meletakkan rantang di meja makan.
“Halah sup jamur aja kamu bilang spesial,” sungut Bi Imah.
“Beda, Bi. Jamurnya yang bikin spesial. Kemarin Karin beli waktu ke Jepang.”
Melihat wajah Bi Imah yang masih meremehkan, Karin memanggil, “Sini, deh, Bi. Coba dicicipin. Pasti Bibi suka.”
“Ada apa, sih, ribut-ribut? Bangunin orang tidur aja!” Wawan datang dengan rambut acak-acakan dan wajah khas orang bangun tidur.
“Halah! Palingan kamu bangun karna lapar. Ini tuh dah siang. Sebentar lagi jam makan siang. Cepat cuci muka sana. Ini ada sup jamur dari Jepang.”
Wawan pun bergegas menuju kamar mandi menuruti perintah dari Bi Imas. Namun, sebelum meninggalkan dapur anak satu-satunya Bi Imah itu menoleh ke Karin dan meniupkan ciuman. Wajah Karin membeku sesaat lalu segera berpaling dan pura-pura menata meja.
Tak lama kemudian, mereka bertiga Karin, Bi Imah, dan Wawan duduk di meja makan. Bi Imah dan anaknya tampak lahap menikmati sup jamur buatan Karin.
“Kamu emang jago masak, Rin. Sering-sering, dong, masakin mas kamu ini. Bosen makan warteg murahan terus, kangen masakan rumahan.”
Mendengar perkataan anaknya Bi Imah mendengkus lalu berkata, “Makanya kamu cari kerja yang bener, terus cari istri biar rumah ini keurus dan kamu ada yang masakin. Sejak bapakmu gak ada, kan, hanya ibu yang urus toko di pasar. Jadi, mana sempat urus rumah. Kamu malah seenaknya lontang lantung.”
“Buat apa cari istri kalau ada Karin. Iya, nggak, Rin,” sahut Wawan sambil mengerling ke arah Karin.
Wajah Karin seketika memerah. Bukan karena malu, karena bahasa tubuhnya menunjukkan dia sedang memendam kesal. Tangannya mengepal di bawah meja. Namun, ada yang menghibur hatinya. Bibir gadis itu mengulas senyum puas saat melihat isi rantang yang hampir kosong.
“Jamur apa ini namanya? Enak sekali. Kamu beli banyak, kan, Rin?”
“Tidak, Bi. Cuma sedikit.”
“Kamu gimana, sih. Jamur spesial gini, kok, cuma beli sedikit,” kata Bi Imah dengan geram.
“Karena Jamur Sayap Malaikat dan Jamur Fly Agaric ini cuma dibutuhkan sedikit saja untuk ….”
Belum selesai Karin berbicara, terdengar suara seperti orang tercekik dan disusul benturan cukup keras dari tubuh Wawan yang gempal ke meja makan kayu. Disusul teriakan dari Bi Imah, “Panas … panas. Se-sak da-da-ku.”
Melihat kedua orang itu menggeliat tak karuan dan melenguh kesakitan tidak membuat Karin kebingungan. Sebaliknya dia justru tersenyum. Orang yang selama ini membuatnya menderita sejak kecil sudah menerima balasan. Rumah dan toko di pasar yang selama ini digunakan keluarga bibinya ternyata diwariskan orang tua Karin sebelum meninggal. Sementara sepupu yang sudah melecehkannya juga sudah mendapat balasan. Karin mengamati detik-detik akhir sayap malaikat maut merengkuh dua orang itu dalam kesakitan.
Surabaya, 16 Juni 2022
Ardhya Rahma, penulis berdarah Jawa-Kalimantan yang hobi membaca dan traveling. Merangkai kata untuk berbagi hal yang semoga bisa diambil hikmahnya.
Editor: Lutfi Rosidah