Perempuan yang Bersuara di Kepala
Oleh: Rinanda Tesniana
Sejak kecil, Ayah selalu memenuhi isi kepala Dewi dengan ajaran agama. Terutama mengenai kewajiban istri kepada suami. Dan Ayah mengatakan semua hal itu dengan suara besar, setiap pagi. Seolah dia sengaja melakukannya untuk menyindir Ibu yang sedang siap-siap berangkat bekerja.
“Jadi perempuan itu harus patuh pada suami, Wi. Kau mau menjadi istri durhaka? Untuk apa bekerja hingga larut kalau kewajibanmu pada suami tak terpenuhi. Neraka menunggumu nanti.”
Biasanya Dewi hanya diam jika Ayah sudah berkata begitu. Dia tak ingin membantah sebab biasanya ceramah Ayah semakin panjang.
Lain dengan Ibu, perempuan itu tak pernah mencecar Dewi dengan kewajiban sebagai istri, dia hanya meminta Dewi harus mandiri.
“Kamu lihat Ibu kan, Wi? Ibu bekerja siang-malam demi memenuhi kebutuhan keluarga kita. Kamu pun harus begitu. Bersyukur jika nanti suamimu memiliki pekerjaan yang baik, kalau tidak, jangan sampai anakmu kelaparan jika kau pun tak bekerja.”
Begitu saja. Ibu tak pernah memburuk-burukkan Ayah yang hanya pengajian setiap hari. Lelaki itu menghabiskan waktu untuk berkeliling bersama teman-temannya. Katanya pergi dakwah. Makanya Dewi lebih setuju pada Ibu. Untuk apa pergi dakwah jika anak dan istri di rumah terlantar.
*
Doktrin Ayah mengenai istri yang bekerja itu akan masuk ke neraka, mau tak mau, melekat di kepala Dewi, menyisihkan ajaran Ibu untuk menjadi wanita mandiri. Mungkin karena Ayah selalu mengatakan ajarannya dengan berapi-api. Mungkin juga karena Dewi takut neraka. Ya, Ayah selalu bilang neraka sedang menanti Ibu yang sibuk bekerja di luar rumah. Padahal jika Ibu bersabar, Tuhan pasti akan menurunkan rezeki dari langit untuk keluarga mereka. Ayah sedang berdakwah, dan Tuhan senang dengan orang alim seperti Ayah, pasti Tuhan tak segan memberi rezeki berlimpah nanti. Begitu katanya.
Setelah menikah, Dewi menjadi sosok yang patuh pada suaminya. Meskipun suaminya bukan lelaki yang menyenangkan, dia tak pernah membantah. Saat sang suami meminta dia meninggalkan pekerjaan, Dewi melakukannya walaupun dengan berat hati. Dewi takut masuk neraka. Ucapan Ayah tentang itu melekat di dalam otaknya.
Ibu menunjukkan kekecewaan yang kuat saat tahu Dewi berhenti bekerja. Padahal kariernya sebagai manajer penjualan di perusahaan distributor oli sedang menanjak naik. Namun, Ibu tetaplah Ibu yang tak pernah menunjukkan emosinya secara gamblang.
“Biarlah dia menuruti kemauan suaminya. Dia kan tak mau masuk neraka, sepertimu,” Ayah berkata lantang di depan Ibu yang memilih menutup mulut rapat-rapat.
Kata Ayah, seorang istri harus selalu tersenyum di depan suaminya. Tak boleh menunjukkan wajah masam, tak boleh juga tercium bau tak enak dari tubuhnya. Maka Dewi berusaha sekuat tenaga untuk menjadi istri yang baik agar neraka tak membakarnya nanti di akhirat.
Zul, suami Dewi, seolah tak pernah menghargai usaha istrinya. Dia selalu mengungkapkan ketidakpuasan atas sikap Dewi, riasan Dewi, bentuk tubuh Dewi, masakan Dewi bahkan cara duduk Dewi pun salah di matanya.
“Apa kau lupa memasukkan garam ke sayuran ini?”
“Tidak, Bang.”
“Sayur ini tak ada rasa!”
Zul membanting mangkuk sayur itu hingga pecah berderai di lantai. Dewi mengingat panasnya neraka dan memunguti pecahan piring itu dalam diam. Ucapan Ayah tentang istri yang masuk neraka jika melawan suami terngiang di benaknya.
Dewi bersabar menghadapi sikap kasar sang suami. Semua cercaan dari Zul diterimanya dengan lapang dada. Dia tak mau masuk neraka, jadi tak boleh membantah apa pun kata lelaki itu.
“Apakah kau mandul?” tanyanya pada suatu malam, setelah mereka berhubungan badan.
“Maksud Abang?” tanya Dewi pelan.
“Kita sudah setahun menikah, tapi kau belum hamil juga. Aku rasa kau mandul.”
Bagaimana kalau kau yang mandul, Bangsat! Untuk pertama kalinya Dewi melawan Zul walaupun hanya berupa ucapan dalam kepalanya. Dia merasa sudah cukup sabar mendengar makian ke sekian kali yang diterima dari Zul.
“Aku akan menikah lagi. Tak mungkin aku menunggu kau hamil. Waktuku bisa habis nanti.”
Dewi menatap suaminya dengan kepala penuh sumpah serapah. Baru setahun dan dia memvonis aku mandul. Aku doakan kau yang mandul.
“Terserah Abang saja,” ucapnya pelan, mengingkari isi kepalanya sendiri.
Zul membawa perempuan itu tepat seminggu setelah pembicaraan mereka. Perempuan berwajah cantik dengan perut bagian depan yang menonjol.
Pelacur ini sudah hamil duluan ternyata. Dewi menggeram.
“Kau urus Sinta baik-baik, Wi! Dia mengandung anakku,” titah Zul yang disambut Dewi dengan anggukan samar.
Semakin hari kepala Dewi semakin penuh dengan sumpah serapah untuk Sinta dan Zul. Mereka tak segan bercinta di setiap sudut rumah yang diberikan oleh Ibu untuk Dewi sebagai hadiah pernikahan. Kadang Dewi memergoki mereka bersenggama di depan televisi, di dapur, bahkan di halaman belakang.
Binatang-binatang tak tahu malu! Lagi-lagi Dewi memaki di dalam kepalanya. Sementara pada kenyataannya, Dewi hanya bungkam dan melengos saat memergoki adegan tak senonoh itu.(*)
Padang, 13 Juni 2022
Rinanda Tesniana, seorang penulis yang sedang belajar untuk menulis.
Editor: Zuhliyana