Percakapan di bawah Pohon Mangga
Oleh: Rosna Deli
“Sayuuur … ayaaam, Ibu-ibu.” Suara Bang Deni—langganan ibu-ibu di perumahan Melati—terdengar begitu jelas, hingga hampir semua pintu terbuka lalu para ibu menuju titik yang sama. Tempat mangkalnya Bang Den di bawah pohon manga, di depan rumah Bu Supri.
Lelaki empat puluh tahun itu kemudian memarkirkan becak jualannya lalu mulai menyusun ulang beberapa barang dagangan. Ada kacang panjang, sawi, kangkung, sayur asem, dan masih banyak lagi.
Hari ini dia kesiangan untuk berjualan. Anak bungsunya semalam panas tinggi, sehingga dia harus bergantian dengan istrinya menjaga di rumah sakit. Beruntung saat pagi, panasnya sudah menurun sehingga dia berani meninggalkan anak dan istrinya untuk pergi ke pasar induk membeli barang dagangan.
Sebenarnya, dulu Bang Deni adalah seorang pegawai kantoran. Namun, ketika pandemi terjadi dia harus rela untuk diberhentikan karena alasan penghematan. Tidak hanya dia, ada puluhan pegawai bernasib sama.
Bermodal uang tolak yang tak seberapa, Bang Deni memulai semuanya dari nol. Berjualan sayur mayur keliling. Memang awalnya dia ragu, tetapi karena tak ada keahlian yang lain. Akhirnya dia berusaha untuk bekerja sepenuh hati. Dia yakin semua pekerjaan asal halal akan membawa keberkahan.
“Tumben lama datangnya, Bang Den. Biasanya sebelum ayam berkokok sudah sampai,” ucap Bu Hadi seraya menepuk bahu Bu Supri lalu tersenyum. Keduanya telah lama menunggu kedatangan Bang Deni sambil bercerita.
“Ah, Ibu seperti tak tahu saya saja. Kesibukan saya buaanyaakkk melebihi anggota Dewan. Jadi jangan kaget kalau besok-besok saya ikut rapat, ya,” Bang Den tak mau kalah. Lelaki itu sudah paham betul watak ibu-ibu di perumahan ini, selain suka gosip juga suka mengurus urusan orang. Dia tak suka menjual kesedihan untuk mendapat simpati orang.
“Wah hebat, dong, Bang Den, kalau benar-benar jadi. Jangan lupakan kami, ya, ibu-ibu komplek Melati. Biasanya kalau dah kepilih banyak lupanya daripada ingat,” balas Bu Supri sambil memilih-milih sayur lalu dibalas dengan anggukan oleh Bu Hadi. Keduanya terlihat kompak dengan daster yang berwarna sama: merah jambu.
Sementara Bang Deni duduk di kursi panjang mendengarkan sambil menunggu pelanggan yang lain. Biasanya setelah berhenti di perumahan ini dia akan berkeliling lagi ke tempat langganan yang lain. Namun, dia terlalu letih. Dia berniat untuk segera kembali ke rumah sakit. Pikirannya masih tertinggal pada anak dan istrinya yang masih di rumah sakit.
“Rapat? Siapa yang merapat?” tanya Bu Pandi yang baru tiba dengan sendok nasi di tangan. Napasnya terengah-engah lalu ikut bergabung dengan ibu-ibu yang lain.
Semua menyambut dengan tawa yang lebih keras, lalu Bu Pandi tersenyum malu-malu.
“Rapat minyak goreng, Bu Pan. Biar harganya turun. Saya pusing kalau mesti makan nasi goreng tapi dikukus,” seloroh Bang Den asal. Namun, ada betulnya juga. Sudah dua minggu ini dia tidak menjual minyak goreng kiloan, selain langka juga harganya terlalu mahal. Dia tak punya modal banyak.
Para ibu tampak tertawa bahagia sambil terus bercerita tentang apa saja. Mulai dari anak si A, suami si B, hingga cara diet paling jitu.
Bang Deni lalu berdiri dan mendekat ke arah ibu-ibu yang asyik mengobrol dan lupa untuk membeli. Kemudian, lelaki berkulit gelap itu mengeluarkan buku dari tas yang selalu dibawanya.
“Ayo, dibayar dulu utang yang kemarin. Jangan numpuk-numpuk kayak kain cucian. Bu Supri lima puluh, Bu Hadi tujuh lima, Bu Pandi dua lima … Bu Tomi.” Ucapan Bang Deni disambut keheningan. Ibu-ibu itu tiba-tiba diam saling lirik-melirik.
“Jangan pura-pura lupa. Saya ini adalah pencatat utang yang jujur. Tak ada penambahan, tak ada riba.”
Para ibu itu masih saling lirik dan saling mencolek bahu temannya.
“Saya besok, deh, Bang Den. Ini bapaknya anak-anak belum gajian,” kata Bu Pandi pelan.
Bang Deni pura-pura melihat kendaraan yang melintas, sudah hapal dengan ucapan Bu Pandi.
“Saya juga, Bang Den. Besok suami saya baru dapat uang,” kata Bu Supri.
“Wah … jangan takut Bang Deni, kalau saya pasti bayar tapi setengah dulu, ya.” Bu Hadi membuka dompetnya dan mengeluarkan uang lima puluh ribu.
Senyum di wajah Bang Deni hadir. Setidaknya ada yang bisa dibawa pulang.
“Ya … harusnya begini, dong, Ibu-ibu. Dibayar dulu meski tak lunas. Saya juga butuh uang. Anak saya sakit,” ucap Bang Deni.
“Lihat ya, Bu Hadi. Ini utang lamanya saya coret. Jadi sisa dua puluh lima ditambah belanjaan hari ini sama dengan lima puluh. Oke?”
Bu Hadi memperhatikan tulisan Bang Deni dengan cermat, lalu mengangguk.
“Jadi bagaimana, Ibu-ibu … besok dibayar utang sesuai janji, ya, sekalian bantu anggota Dewan yang lagi miskin ini.”
Para ibu mengaruk kepala, lalu Bu Supri berkata, “Yaaa … kalau anggota dewannya miskin, anak buahnya melarat, dong.”
Bang Deni akhirnya tersenyum juga walau hatinya kecewa. Ah, cobaan orang beriman itu berat. Biar Bang Deni saja, kamu enggak kuat.(*)
Dumai, 15 Juni 2022
Rosna Deli seorang perempuan penyuka aksara.
Editor: Zuhliyana