Barnabas yang Menombak Ikan
Oleh : Fitri Hana
Barnabas mulai menyelam tepat ketika langit bersemu keungu-unguan, saat angin dingin menyapu permukaan danau sehingga air berdesis pelan, sangat amat pelan, nyaris seperti berbisik, menyampaikan segenap rahasia yang bagai tidak akan pernah terungkapkan. Tangan kanannya memegang tombak. Dengan berbekal kacamata selam yang telah usang, Barnabas menanti ikan-ikan calon mangsanya berenang mendekat. Mereka seperti mengendus aroma kematian, sampai beberapa menit tidak ada satu ikan pun yang lewat di dekat Barnabas. Ia lalu menyembul ke permukaan, meraup oksigen sebanyak-banyaknya lalu kembali menyusup dalam tenangnya air danau.
Barnabas satu-satunya orang yang memburu ikan sebelum fajar datang. Barnabas pula satu-satunya orang yang masih menombak ikan. Nelayan lain sudah menggunakan jala maupun pancing. Baginya menombak ikan adalah jati diri. Menombak ikan adalah menahan diri untuk menyisakan anak-anak ikan untuk anak cucunya kelak. Ia tidak mau serakah, begitu pemikirannya. Toh, kebutuhan makannya tidak banyak.
“Sudahlah, Bang. Libur barang sehari dulu mencari ikannya. Aku mau ditemani malam ini,” pinta istrinya yang terbaring di lantai kayu beralaskan kasur tipis. Ia demam dari pagi. Sudah minum air kelapa muda seperti biasanya ketika sakit, tetapi demamnya tidak kunjung turun.
“Tidak bisa, Adinda. Perkiraan Abang nanti akan dapat banyak ikan. Lihatlah! Langit begitu cerah. Nanti bisa dipakai untuk memperbaiki rumah kita, ya.” Barnabas menatap langit-langit rumahnya, melihat genteng-genteng yang sudah retak dan bocor, lalu pandangannya mengarah ke dinding kayu di dekat pintu yang sudah mulai keropos.
Mengerti arah pandangan suaminya, istri Barnabas pun luruh. “Baiklah, Bang. Tapi temani aku barang lima menit saja. Rasanya malam ini lebih dingin dari biasanya.”
Barnabas mengangguk, ia mendekati istrinya lalu menaikkan selimut bermotif lurik—yang dulu ia peroleh dari bantuan desa—sampai ke bawah dagu istrinya. Barnabas duduk berselonjor di samping istrinya. Ia belai rambutnya, lalu dikecupnya kening perempuan itu. Sejenak kemudian ia menyenandungkan lagu perlahan. Barnabas tersenyum, ia bersyukur mengingat dua tahun lalu, kembang desa yang jadi incaran banyak pemuda itu memilihnya menjadi suami.
Melihat istrinya sudah tertidur, Barnabas bersiap. Ia menyiapkan lampu minyak, jala, air minum, dan lain sebagainya. Barnabas pergi menjala ikan.
Perkiraan Barnabas rupanya tepat, tangkapan ikannya melimpah melebihi hari-hari biasanya. Barnabas bersorak dalam hati. Sebentar lagi, ia tidak perlu risau ketika hujan. Sebentar lagi ia bisa memperbaiki rumahnya.
Sepulang dari pasar untuk menjual ikan hasil tangkapan, Barnabas mempercepat langkah. Ia bahkan sedikit berlari ketika sudah melihat rumahnya. Ia naiki tangga dengan tergesa-gesa, “Adinda … Adinda ….”
Sampai di depan pintu yang sudah terbuka, langkahnya terhenti. Adindanya tergeletak di lantai dengan baju terkoyak. Kain yang biasanya dikenakan sebagai bawahan teronggok di pojok rumah. Satir pembatas antara ruang depan dengan kamar pun telah copot. Darah memenuhi selangkangannya. Barnabas luruh ke lantai, ia berteriak memanggil nama istrinya dengan bercucuran air mata.
Sejak itu pula Barnabas menyalahkan kerakusannya. Mulai hai itu, Barnabas kembali meraih tombaknya. “Begitulah, Bang. Abang berdiri dengan tombak, gagah sekali dilihatnya. Membuatku makin cinta.” Kalimat istrinya terngiang setiap Barnabas hendak pergi memburu ikan.
Barnabas kembali menyelam lebih dalam, di balik bebatuan ia arahkan tombak ke sana. Kena! Segera ia menyembul ke permukaan, lalu memasukkan ikannya ke dalam wadah yang ia gantung di pinggir perahu.
Fajar hampir memudar ketika Barnabas membawa tangkapannya ke pasar. Di sebuah kedai kopi yang belum buka, sebelum ia sampai pasar, ia mendengar seseorang berseloroh, “Tetap aku yang jadi pemilik Ayu.” Nama istrinya disebut seseorang. Barnabas menghentikan langkah.
Seorang lelaki memegang botol tuak dengan tertawa-tawa. “Ayu … Ayu …,” lelaki itu meneguk tuak lagi. “Bahagia, kan, kau di dalam tanah, setelah mencudangiku.” Lelaki itu tertawa. Ia hanya seorang diri di sana.
Barnabas mengamati dari luar kedai dengan tangan mengepal.
“Tidak apa-apa. Aku tetap bisa mencicipimu. Ayu … Ayu …” ia tertawa lagi.
Sedetik kemudian tawanya terhenti, ketika sebuah tombak menancap di punggung kirinya. [*]
Klaten, 25 Mei ’22
Catatan:
Pembuka cerpen ini diambil dari cerpen “Mayat yang Mengambang di Tepi Danau” karya Sena Gumira Adjidarma sebagai latihan menulis.
Fitri Hana, ibu rumah tangga yang memaksakan diri untuk menulis. Ia menyukai kopi. Ia juga menyukai cokelat panas. Terkadang, ia tidak menyukai keduanya.
Editor : Rinanda Tesniana
Gambar : https://pin.it/67mBNxA