Tentang Naya

Tentang Naya

Oleh: Davina Arashi

 

Hari ini adalah hari ulang tahunku yang ketujuh belas. Aku menyanyi dengan riang gembira di sepanjang perjalanan menuju rumah. Tak sabar ingin memberikan kejutan untuk ayah dan ibu karena aku pulang dari asrama SMA. Tak lupa aku mampir ke toko kue. Memilih sebuah kue berbentuk bundar dengan olesan krim cokelat untuk merayakan hari kelahiranku bersama ibu dan ayah.

Aku naik bus. Dengan senyum terukir aku melihat ke luar jendela. Kendaraan berlalu lalang, ada juga para pejalan kaki. Sore ini begitu indah. Langit senja seakan menggambarkan kebahagiaanku.

Setelah perjalanan selama kurang lebih satu jam, akhirnya aku turun dari bus lalu berjalan menuju rumah.

Saat hendak mengucapkan salam, aku mendengar suara ibu dan ayah dari dalam. Bukan obrolan hangat seperti biasa. Maka aku mengurungkan niat untuk mengetuk pintu dan memilih berdiri di teras agar bisa mendengar pembicaraan mereka.

“Usianya sudah tujuh belas tahun, loh, Pak. Saatnya kita ngasih tau dia.” Aku melihat Ibu duduk di sebelah Ayah. Wajah lelaki yang mengenakan batik warna hitam itu digelayuti mendung.

Aku mengintip di sela-sela kaca nako bening. Wajah mereka terlihat jelas dari sini.

Ayah tampak terdiam. Dia menatap Ibu lama sebelum berkata, “Gimana kalo nunggu dia berusia dua puluh lima saja, Bu?” tanyanya, menghela napas panjang.

“Maksudnya apa?” Aku mencoba menerka-nerka arah pembicaraan mereka.

“Pak, cepat atau lambat, kita harus ngasih tau kalo Naya bukan anak kandung kita.”

Hancur? Sangat. Tak terasa air mata jatuh membasahi pipi. Dadaku sesak dengan rasa kecewa. Lalu aku memutuskan untuk berlari sekencang mungkin menjauhi rumah ini. Dalam hati bertanya, aku ini anak siapa? Anak pungut? Anak haram? Atau apa?

Ya, Tuhan ….

Saat aku berlari, aku hampir saja tertabrak mobil. Untung saja aku masih selamat. Aku mencoba mengatur emosi yang rasanya tak karuan. Aku butuh jeda untuk menerima kenyataan pahit yang mendadak harus aku terima.

*

Seminggu kemudian tiba-tiba Ibu datang menjengukku saat jam istirahat siang di asrama.

“Assalamualaikum,” ucapnya saat melihatku datang.

“Wa‘alaikumsalam,” jawabku sambil mencium punggung tangan Ibu.

Kami duduk di kursi yang memang disediakan untuk keluarga siswa. Sebuah sofa panjang berwarna hitam yang biasanya menjadi tempat favoritku saat ibu dan ayah berkunjung.

“Nak. Kemarin pas hari ulang tahunmu, kok, nggak pulang? Kenapa?” Tangan Ibu memegang kedua tanganku. Sorot matanya yang penuh kasih sayang membuat kemarahanku hilang setengahnya.

“Maaf, Bu. Aku ada kegiatan ekskul.” Aku mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Sakit hati ini belum hilang sepenuhnya. Namun, aku tidak ingin bersikap tidak baik kepada Ibu.

Ibu mengeluarkan sebuah wadah makan dari tas yang dibawanya dari rumah.

“Ini nasi kuning kesukaanmu. Mau Ibu suapin?” Ia tersenyum menatapku dengan penuh kasih sayang.

Aku melengos, tak mau menatap wajah Ibu. Aku yakin dia tidak tulus sayang padaku.

*

Kini hari-hariku terasa hambar. Mau melakukan apa pun terkenang obrolan kedua orangtuaku yang mengatakan bahwa aku bukan anak mereka. Sakitnya mengalahkan ditusuk oleh pedang. Hancur lebur segala rasa.

“Kamu?” Suara wanita yang mengenakan seragam cokelat itu membuyarkan lamunanku.

“I-iya, Bu. Saya.” Aku menjawab takut. Bu Elsa terkenal galak. Ketahuan bengong saat pelajarannya jelas bukan hal yang baik.

“Melamun aja. Paham atau tidak dengan materi yang saya jelaskan?”

Aku menggeleng kepala, pasrah.

“Keluar dari kelas saya. Lalu, berdiri dengan satu kaki di depan kelas!”

Aku melaksanakan hukuman dari Bu Elsa. Huft. Terserah mau dihukum apa saja. Pikiranku tidak fokus dan belum bisa menerima kenyataan ini.

Ayah, Ibu, skenario apa yang sedang kalian rancang untukku? Kenapa rasanya begitu menyesakkan dada sehingga membuatku sulit bernapas dan mencerna ini semua?

*

Sebulan kemudian aku melakukan perjalanan lagi. Kali ini masih tetap sama, yaitu perjalanan pulang ke rumah. Namun aku merasa kalau rumahku sekarang tak lagi sama seperti dulu. Hangatnya sudah berkurang.

Entah kenapa firasatku hari ini tidak enak. Aku membetulkan tempat dudukku. Memandang ke kiri dan kanan.

Bus yang kunaiki menyalip mobil hitam. Namun saat itu ternyata lampu perlintasan kereta api berubah jadi merah.

Brak!

Secepat kilat kejadian tragedi yang kami alami. Aku dan para penumpang terlempar keluar dari bus. Tubuh kami berserakan di jalanan. Bunyi ambulans bersahut-sahutan. Para polisi datang melihat TKP. Beberapa wartawan meliput kejadian ini mengabadikan tubuh penuh darah yang berserakan di jalan.

Aku ketakutan mendapati diri ini terombang-ambing sendirian. Mendadak aku ingin memeluk Ibu. Pelukannya pasti hangat. Sayup-sayup aku mendengar suara itu, suara perempuan yang sangat aku rindukan. Suara itu berteriak memanggil namaku dengan pilu.

“Naya. Bangun, Nak. Kenapa kamu secepat ini meninggalkan Ibu?” Ibu menangis sesenggukan.

Aku memegang pundak Ibu. Rasanya aku ingin memeluk tubuh perempuan yang sedang menangisi tubuh kakuku. Namun, aku tak bisa melakukan itu. Aku hanya berbisik lirih, “Maaf, Ibu. Sepertinya waktuku denganmu sudah habis di dunia ini. Terima kasih sudah merawatku seperti putri kandungmu meski aku bukan anakmu.”[*]

Jakarta, 17 Mei 2022

Davina Arashi, gadis manis yang hobi membaca buku ini, juga suka sekali menonton film dan minum teh melati. Salam literasi.

Editor : Rinanda Tesniana

Gambar : https://pin.it/5r2JoBa

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply