Jenuh

Jenuh

Jenuh

Oleh: Renata Anisa Santoso

 

Langit yang cerah tiba-tiba berubah menjadi suram, bulan yang bercahaya tak lagi tampak indah di mata gadis bernama Sari. Dunianya serasa runtuh mendengar penuturan lelaki tampan yang berjanji akhir tahun ini akan menikahinya. Pertemuan malam ini dengan Gio yang ia bayangkan indah ternyata berakhir duka. Gio memutuskan ikatan pertunangan dengannya secara sepihak tanpa mengatakan alasannya.

 

“Aku jenuh dengan hubungan kita, mari kita akhiri.”

 

Sari tidak ada tenaga untuk berkata, mulutnya terkunci rapat diikuti air mata yang mengalir perlahan di pipinya. Keputusan Gio sudah bulat.  Lelaki itu beranjak dari kursi usai mengakhiri panggilan teleponnya. “Aku sudah menghubungi Ajeng, dia sudah jalan kemari menjemputmu, tunggulah!” Gio meninggalkan Sari, tak peduli tangis kekasihnya yang belum usai.

 

Sesampainya di rumah, Sari meluapkan tangisnya di pelukan Ajeng, sahabatnya. Benaknya dipenuhi penyesalan. Kebodohan sudah memberikan semua yang berharga untuk lelaki itu. Hidupnya sudah hancur tanpa masa depan, lelaki mana yang mau menerima dirinya kini?

 

Ajeng yang duduk di sampingnya tak henti-henti menasihatinya untuk bisa menerima kenyataan pahit ini. Ajeng menarik napas, memperlihatkan sesak yang ia rasa melihat sahabatnya begitu hancur dan terpuruk. “Aku akan mengurus cutimu. Istirahatlah beberapa hari di rumah dan tenangkan dirimu,” tutur Ajeng mengusap bahu Sari, mencoba menenangkan.

 

“Bagaimana kalau orang kantor mengetahui ini? Pasti mereka akan membicarakan aku dan Gio. Bagaimana aku harus menjelaskan dengan keluargaku? Mereka sudah menyiapkan semuanya,” rintih Sari, mengangkat pandangannya menatap wajah sahabatnya yang turut merasakan kesedihannya.

 

“Jangan pedulikan pendapat orang, fokuslah menenangkan dirimu. Aku akan membantu menjelaskan pada orang tuamu.”

 

Sari masih saja terisak dengan penyesalan, jemarinya meremas rambutnya sambil berteriak histeris.

 

“Kamu lebih beruntung dari pada aku, Sari,” tutur Ajeng, menunduk mengusap perutnya.

 

Sari menggenggam jemari Ajeng. Memang benar yang dikatakan Ajeng, ia lebih beruntung ditinggalkan Gio tidak dalam kondisi hamil. “Maafkan aku, aku tidak mengira Arifin akan berbuat sejauh itu. Maafkan aku, aku salah mengenalkan Arifin sama kamu,” ujar Sari memeluk sahabatnya.

 

***

“Masuk!” Suara Ajeng menjawab dari balik pintu yang diketuk Sari. Dengan langkah lunglai Sari memasuki ruangan kaca tempat bos sekaligus sahabatnya.

 

Senyuman kecil terbit dari bibir mungil Ajeng menyapa Sari yang duduk di depannya. “Aku senang kamu sudah kembali.” Ajeng memulai membuka keheningan melihat Sari yang masih tertunduk sedih.

 

Hening dan sepi, Ajeng terdiam menatap sahabatnya yang duduk termenung di depannya. “Kamu masih butuh cuti lagi?” tanyanya memecah keheningan.

 

Usai menarik napas, Sari menyodorkan amplop putih yang sudah disiapkan tepat di depan Ajeng tanpa bicara sepatah kata.

 

“Kamu yakin dengan keputusanmu?” tanya Ajeng usai membaca surat resign Sari.

 

Lagi-lagi Sari menarik napas sebelum memulai bicara, “Aku tidak bisa melihatnya setiap hari di sini. Sakit! Sangat menyakitkan,” jelas Sari menepuk dadanya di sela isak tangis. “Pagi tadi kami berpapasan, aku bisa mengalihkan pandanganku, tapi aroma parfumnya yang tercium hidungku membuat luka itu kembali perih.” Sari mengusap pipinya yang basah.

 

“Lalu, apa rencanamu selanjutnya?”

***

Kembali ke kota kelahiran adalah tujuan yang tepat melupakan kesedihan. Rencana yang tersusun rapi satu demi satu Sari jalani setelah beberapa hari merenungkan jalan hidupnya.

 

Klakson mobil yang terdengar panjang menandakan Sari harus secepatnya keluar dari rumah. Dua koper besar ia keluarkan dari rumah kecil yang selama ini ditempati dengan Gio. Sari tersenyum menatap rumah yang penuh kenangan setelah mengunci pagarnya dari luar. Lagi-lagi suara klakson membuatnya tersadar dari lamunan untuk segera memasuki mobil yang sudah siap mengantarnya ke bandara.

 

“Apa nggak sebaiknya kamu serahkan sendiri dan berpamitan. Masih ada waktu untuk mampir menemuinya,” bujuk Ajeng saat menerima kunci rumah yang Sari serahkan.

 

“Tidak! Aku tidak ingin bertemu lagi dengannya.”

 

Sari melamun menatap jalanan dari balik jendela, pikirannya dipenuhi kenangan saat ia tinggal di rumah itu. seharusnya ia tidak begitu saja menyetujui saat Gio mengajaknya tinggal di rumahnya.

 

“Terus apa yang mau kamu lakukan sekarang di kotamu itu.”

 

“Kamu jangan khawatirkan aku,” Sari menoleh mengedikkan dagu ke arah perut Ajeng, “Bagaimana kondisinya?”

 

“Baik, sehat, itu yang dokter katakan semalam.”

 

“Sendirian? Kenapa gak ngajak aku untuk menemani?”

 

“Enggak, ada bapaknya yang mengantar. Aku nggak tega mau minta tolong kamu menemani.”

 

Sari terperanjat mendengar pernyataan Ajeng. Wajah murungnya berubah tersenyum ceria mendengar jawaban temannya itu.

 

“Arifin? Dia menemani kamu?”

 

Ajeng tersenyum tak mengalihkan pandangannya menatap lurus jalanan.

 

“Hai, baby, selamat! Akhirnya kamu sudah diakui sama bapakmu,” Sari tertawa bahagia mengelus perut Ajeng.

 

Kedua sahabat itu berpelukan erat di depan pintu keberangkatan. Ajeng terisak sedih seakan merasa begitu berat untuk berpisah. “Maafkan aku, Jeng, aku harus meninggalkanmu dan nggak bisa menemani kesibukanmu menyiapkan pernikahanmu.”

 

“Aku yang seharusnya minta maaf. Maafkan aku, maaf … aku bukan sahabat yang baik buat kamu, Sari.”

 

“Hei, kamu tetap sahabatku yang baik. Jangan membuatku semakin bersedih! Kita masih bisa saling memberi kabar. Aku janji akan menemuimu saat hatiku sudah pulih.” Sari mengurai pelukan lalu membingkai wajah Ajeng yang memerah karena menangis. Ajeng pun mengangguk seraya mengusap air matanya dan tersenyum menatap Sari.

 

“Aku bahagia mendengar Arifin akan menikahimu,” lanjut Sari memeluk Ajeng untuk terakhir kalinya.

 

Di dalam pesawat, Sari merenungi perjalanan hidupnya selama tinggal di kota yang baru saja ia tinggalkan. Perpisahan dengan kekasih dan sahabatnya membuatnya menjadi sendiri lagi. Ajeng adalah sahabat yang baik, selama ini dia yang selalu menjadi tempat cerita Sari tentang Gio. Bahkan karena kebaikan Ajeng, Gio bisa bekerja di perusahaan itu. Sepertinya kita memang berjodoh menjadi sahabat, selalu saja kita bisa bertemu bertiga meskipun tanpa janjian. Penyesalan mengenalkan Arifin, teman Gio, pada Sari sedikit terkikis karena pada akhirnya Arifin mau bertanggung jawab menikahinya.

***

Di kota yang baru Sari memulai hidupnya sekalipun bayang-bayang lelaki itu masih memenuhi pikiran dan hatinya. Hari yang berat itu terlewati tanpa pengganti Gio. Hidupnya lebih tenang setelah menghapus semua kontak dan mengganti nomor ponsel juga menutup semua akun media sosial yang berisi kenangan dengan Gio. Hanya Ajeng satu-satunya orang di kota itu yang tau nomornya kini.

 

Kereta malam membawanya menuju ke kota hujan, kota penuh kenangan dengan sahabat dan mantan kekasihnya. Kesibukan pekerjaan mengharuskan ia keliling kota memantau display baju dari mal ke mal. Ada rasa rindu dengan sahabatnya yang sudah lama tidak berkabar. Entah seperti apa kabarnya sekarang? Lebih dari satu tahun Sari tidak bisa menghubungi nomor Ajeng. Nomor kantor pun sama saja, selalu ada alasan Ajeng sedang tidak ada di tempat.

 

Sari mulai memberi pengarahan pada beberapa SPG yang bertugas mengatur baju yang tertata di gantungan. Perempuan itu mengarahkan letak manekin yang sudah diganti dengan produk baju yang terbaru. Sari mundur beberapa langkah memperhatikan patung manekin dan sesekali mengarahkan seseorang untuk memutar sorot lampu pada titik produk. Tiba-tiba pandangannya beralih tertuju pada deretan rak baju di ujung. Pria yang sedang memilih jas menghentikan pekerjaannya.

 

“Arifin? Mana Ajeng?” Sari menghampiri pria yang sudah lama ia kenal.

 

“Sari? Kamu… kamu ada di kota ini?”

 

“Iya, mana Ajeng?” Lagi-lagi Sari menanyakan sahabatnya. Kepalanya mendongak mencari keberadaan Ajeng.

 

“Kamu, kamu putus dengan Gio?”

 

Sari mengangguk, menyudutkan bibir dan mengulang pertanyaan yang sama menanyakan keberadaan ajeng.

 

“Jadi, sampai sekarang kamu tidak tau mengapa aku meninggalkan sahabatmu itu?”

 

Sari terkejut membulatkan mata mendengar penuturan Arifin, “Apa yang terjadi? Serius, kalian sudah berpisah?”

 

“Kamu benar-benar nggak tau apa pura-pura nggak tau?” sahut Arifin menatap serius wajah Sari yang bingung.

 

Sari mengangkat bahunya tak mengerti maksud Arifin.

 

“Jangan bahas wanita itu, aku sedang bersama istriku yang sangat pencemburu,” jawab Arifin lirih seraya melambaikan tangan tersenyum pada seorang wanita yang berjalan menghampirinya.

 

Sari membulatkan mata melihat kemesraan sepasang insan yang menghilang dari pandangan mata. Bingung, bagaimana kabar sahabatnya sekarang. Apakah Ajeng tidak jadi menikah? Atau mereka bercerai? Istri? Jadi, Arifin menikah dengan wanita itu?

 

Ini malam terakhir Sari merampungkan pekerjaannya di kota ini. Sebelum pulang, ia berencana besok hendak menemui Ajeng di kantor. Rasa lapar membuat Ajeng mempercepat langkah dan menunda kembali ke hotel tempatnya menginap. Dengan langkah lelah ia memasuki restoran yang dulu sering ia kunjungi dengan Gio dan Ajeng. Ada rasa rindu dengan makanan kesukaannya di tempat itu.

 

Sari menghentikan kakinya melihat sosok pria yang ia kenali keluar dari restoran menuju mobil di parkiran. Gio, lelaki berpostur tinggi itu menggendong anak kecil yang terlelap di pundaknya. Gio berdiri di samping pintu mobil yang terbuka menunggu seorang wanita yang  membungkuk memasukkan tas di kursi belakang. “Tidak ada yang tertinggal, Sayang?” Suara Gio berbicara pada wanita itu.

 

Tak dipungkiri jantungnya berdebar sangat kencang melihat pria itu. Sari menghela napas mengumpulkan keberanian menghampiri Gio berharap ia mendapat kabar tentang Ajeng dari pria itu.

 

“Gio,” Sari memanggil nama lelaki itu sesampainya di depan mobil. Tak kalah terkejut dengan Gio, mata Sari membulat melihat Ajeng mendongakkan tubuhnya usai meletakkan barangnya di kursi belakang. Ajeng pun terperanjat kaget melihat sosok Sari di depan mata.

 

“Ajeng!” Sari berteriak menahan detak jantungnya yang berpacu lebih cepat. Tak mampu berkata-kata Sari hanya menggeleng menatap mereka bergantian dengan mata mengembun. “Coba jelaskan apa yang aku lihat ini?” kata Sari terbata sambil mengusap air matanya.

 

Ajeng tertunduk menyembunyikan wajahnya, sesekali ia menyeka bulir-bulir air bening yang melewati pipinya.

 

“Jadi, kalian berkhianat di belakangku?” tanya Sari terisak.

 

“Maafkan a–ku, Sari, maafkan.” Tamparan keras mendarat di pipi Ajeng menghentikan permintaan maafnya.

 

“Ternyata kamu! Sahabat aku sendiri yang menjadi duri dalam hubunganku.” Tamparan kedua melesat di pipi Ajeng yang menunduk terisak.

 

“Hentikan!” Gio membentak Sari lalu menyerahkan anak yang di gendongnya pada Ajeng. Dengan kasar Gio menarik tangan Sari menjauh. “Jangan salahkan Ajeng, aku yang salah! Aku mencintainya di saat aku jenuh dengan kamu. Ajeng hadir mengisi kejenuhanku!”

 

“Bajingan kamu!” teriak Sari melayangkan tangannya.

 

Lelaki itu lebih cepat menangkap tangan Sari lalu menghempaskannya dengan kasar. “Iya, aku memang selingkuh di belakangmu! Arifin hanya sebuah alasan untuk menutupi hubunganku dengan Ajeng!” Gio berjalan meninggalkan Sari tanpa peduli.

 

Pengakuan Gio bagaikan seribu belati yang tertancap di hati Sari secara bersamaan. Sari membekap mulutnya dengan kedua tangan menahan tangis. Tak kuasa menahan sakit, kakinya lemas serasa tanpa tulang hingga membuatnya duduk berlutut di atas aspal tanpa peduli banyak mata melihatnya.

 

Deru mobil yang Gio dan Ajeng tumpangi melintas di depan Sari, melewati kubangan air hujan yang menggenang. Secepat kilat air itu mengenai wajahnya, meninggalkan perih yang semakin dalam mengingat pengkhianatan sahabatnya.(*)

 

Surakarta, 11 Mei 2022.

 

Safira Ristanti Santosa, Seorang Ibu dari dua anak yang terlahir di Surakarta 5 Februari memiliki nama pena Renata Anisa Santosa. Ia memiliki hobi membaca dan menulis disela mengelola usaha di bidang kuliner. Pemilik motto Hidup adalah kesempatan berkarya dan bermanfaat bagi banyak orang memulai menulis tahun 2019 di grup kepenulisan facebook.

 

Editor: Inu Yana

Sumber gambar: https://images.app.goo.gl/s3JhQakkZZcw7L8v7

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply