Bulan di Wajahnya
Oleh: Aryati
Pertama melihatnya, dia sedang tersenyum sambil membaca buku di perpustakaan sekolah kami. Ia senyum-senyum seperti orang yang tengah kasmaran. Ah iya, persis sepertiku waktu pertama kali jatuh hati pada Laura, pacar pertamaku setahun lalu. Waktu masih dalam tahap pendekatan, aku juga sering senyum-senyum sendiri. Saat jam pelajaran kosong, jam istirahat, bahkan saat guru di kelas maupun di waktu-waktu lain, pokoknya hampir di setiap waktu aku sering membayangkannya sambil senyum-senyum. Teman-teman akan mengataiku ‘sinting’ sambil tertawa-tawa. Tapi sungguh, aku tak begitu memedulikan mereka. Aku masih saja sibuk dengan angan-anganku. Begitu juga dengan dia saat ini. Ia tampak asyik sendiri; duduk, membaca buku sambil senyum-senyum.
Dia duduk di bangku dekat dengan jendela yang langsung terkena sinar matahari pagi. Wajahnya bersinar diterpa bias cahaya. Berkas sinarnya seolah keluar, terpancar dari wajahnya yang bulat, seperti cahaya bulan purnama. Dan bagiku, itu manis. Sangat manis. Aku belum pernah menyaksikan pemandangan semanis ini sebelumnya. Bahkan, Laura yang memiliki kulit seputih pualam pun, tak pernah kulihat wajahnya semanis gadis itu.
Aku berjalan mendekatinya. Baru dua langkah, aku merasa suara genderang bertalu-talu di dalam sini. Badanku gemetar, keringat dingin mulai berdatangan. Aku segera menarik napas panjang dan mengeluarkannya perlahan. Tarik napas, keluarkan. Tarik, buang. Hingga berkali-kali aku melakukannya sampai suara genderang itu melemah. Berjalan lagi tiga langkah ke arahnya, lalu aku berbelok ke rak-rak buku. Mengambil salah satu buku sembarang. Membuka tanpa membacanya. Mataku masih terus saja bertumpu pada wajahnya. Wajah yang sebenarnya biasa-biasa saja. Kulitnya pun cenderung sawo matang. Ia juga tak pernah berhias diri. Penampilan begitu sederhana.
Sejak itu, aku mulai sering mengikutinya ke mana pun. Seperti bayangan. Saat di perpustakaan, di kelas—sebelumnya aku tak tahu kalau ia satu kelas denganku—di jalan pulang, di dalam bus, di swalayan, toko buku, dan hampir semua tempat. Di mana ada dia, aku pun di sana. Walau aku hanya mengamatinya dari jarak yang tak terlalu dekat. Kecuali saat dia di dalam rumah, tentu saja. Aku tak mau membuat heboh seluruh keluarganya.
Selama itu, dia tak mengetahui keberadaanku. Mungkin karena dia tipe gadis yang cuek, yang bahkan jarang ikut kumpul-kumpul dengan yang lain. Dia juga tak sama dengan gadis-gadis lain yang berusaha mendapatkan perhatianku. Dia selalu sibuk dengan buku-buku. Selama hampir sebulan menjadi bayangannya, aku sudah hafal semua kebiasaannya. Pernah terpikir untuk mendekatinya, tapi belum cukup memiliki keberanian. Tak seperti ketika gadis lain mendekat, aku akan langsung memberi lampu hijau. Walau itu juga tak bertahan lama. Dia juga terlihat lebih sibuk. Aku sering melihat lampu kamarnya menyala hingga larut malam.
Di hari keempat puluh, untuk kali pertama aku berniat menyapanya. Saat itu, dia sedang makan di kantin. Kebetulan siang itu suasana sepi.
“Maaf, boleh gabung?”
Dia menoleh ke arahku. Matanya menyipit, alisnya hampir menyatu. Lalu dia mengangguk pelan, meneruskan makan siang.
“Kita satu kelas, kan?” Aku berusaha mencairkan kebekuan kami. Dan dia tampak mengingat-ingat sesuatu kemudian mengangguk lagi sambil tersenyum dipaksakan. Makanan pesananku datang dan kami menikmati makan siang dalam kekakuan.
Esoknya, aku melakukan hal yang sama. Saat di perpustakaan aku duduk sambil membaca di dekatnya. Dia masih cuek, hanya menjawab pertanyaanku dengan anggukan dan gelengan. Esoknya lagi, aku semakin gencar mendekatinya. Hingga hampir tiga minggu, dia mulai tersenyum padaku. Terkadang, beberapa patah kata mulai kudengar dari bibirnya. Bagiku itu sebuah kemajuan. Aku banyak menceritakan buku-buku yang pernah kubaca dan dia tampak tertarik. Dia selalu menatapku saat aku bercerita. Seperti anak-anak yang sedang mendengarkan dongeng.
Aku mulai meniru kebiasaannya. Membeli buku-buku dan membacanya tiap malam. Jika uang saku habis aku akan meminjam buku dari perpustakaan. Dia menyukai buku-buku filsafat. Aku pun lebih banyak menghabiskan malamku dengan membaca buku-buku yang sama. Dia semakin tertarik dan antusias saat aku menceritakan isi buku itu. Bahkan dia mulai mau menceritakan buku-buku yang dibacanya. Terkadang kami mendebatkan isi sebuah buku yang baru selesai kami baca. Dia bilang, dia tak menyukai buku itu karena terlalu tendensius.
Tepat di hari keseratus aku menyatakan perasaanku padanya. “Aku menyukaimu.”
“Aku juga menyukaimu.”
Begitu mendengar jawabannya aku girang bukan main. Ia melanjutkan, “Aku begitu suka dengan caramu memandang buku-buku yang pernah kamu baca dari sisi yang lain. Hal yang sama sekali belum sempat terpikirkan .”
Wajahku berubah pucat. Tulang-tulang serasa ditarik dari tubuhku. Tapi kulihat wajahnya semakin bersinar. Dia berbicara begitu banyak—hal yang belum pernah dilakukan sebelumnya selama dekat denganku—tentang buku-buku yang pernah kami baca, tentang pendapatku dan pendapatnya.
Aku melihat bulan di wajahnya bersinar semakin terang.(*)
Banjarnegara, 3 Februari 2022
Aryati, wanita dengan dua anak. Mengajar di SD negeri wilayah Banjarnegara, Jawa Tengah.
Editor: Inu Yana
Sumber gambar: https://images.app.goo.gl/4wn8RiqGSb9iG8oZ9