HP untuk Bapak
Oleh: Whed
Setelah sampai di rumah, aku mengunci pintu kamar, memutar lagu di ponsel keras-keras hingga suaranya mampu mengalahkan kumandang takbir yang berisik itu. Suara-suara takbir itu benar-benar memekakkan telinga.
Kupandangi ponsel yang baru saja kubeli, yang sengaja kuletakkan di samping ponsel lamaku. Sebenarnya, ponsel baru itu akan kuberikan untuk Bapak. Aku juga sudah membelikan kartunya sekaligus, mendaftarkan dan mengisinya dengan kuota internet.
Aku pun memilih duduk di kasur, menyandarkan punggung pada dinding kayu yang berdebu. Aku menekan angka-angka di ponsel secara acak setelah mematikan musik. Kemudian aku menelepon nomor-nomor itu satu per satu. Namun, tak ada satu pun suara yang kukenal yang menjawabnya, bahkan terkadang terdengar jawaban bahwa nomor yang dituju tidak terdaftar.
Tangan kiriku menggenggam ponsel Nokia 105 yang kudapatkan dari Bapak. Saat itu lima hari sebelum tahun baru, aku meminta Bapak membelikanku ponsel seperti milik Ratih, temanku, yang bapaknya seorang pegawai kantoran. Bapak Ratih, selain pakaiannya selalu necis, lelaki berkumis itu juga punya banyak uang. Sangat berbeda dengan bapakku yang mau merokok saja harus menggulung garet atau kertas rokok yang sudah diisi tembakau dan cengkeh yang digunting kecil-kecil.
Ponsel jadul yang saat ini kugenggam pernah kubanting, tetapi masih awet sampai sekarang. Aku masih ingat, saat itu pulang sekolah, Bapak memberikan sebuah kardus kecil berwarna biru.
“Lemari ibumu sudah laku, Mir. Jadi, Bapak bisa membelikan HP untukmu.”
Ah, betapa saat itu kupikir Bapak adalah lelaki paling bodoh sedunia. Aku lantas melempar isi dari kardus yang diberikannya. Ponsel kecil itu tak sesuai permintaan. Aku menginginkan ponsel pintar seperti milik Ratih supaya bisa membuat Facebook. Bapak memang tak tahu mauku.
Selanjutnya, malam itu kulihat Ibu menangis. Saat itu kupikir karena baju-bajunya dipindahkan ke keranjang plastik setelah lemarinya dijual Bapak. Namun, ternyata karena aku melempar HP yang katanya harganya ratusan ribu itu.
Sudah kelima kalinya aku menghubungi nomor yang kuacak. Namun, lagi-lagi bukan suara Bapak yang menjawab. Seringnya, suara perempuan yang menyahut panggilanku.
Suara takbir masih terdengar. Bahkan, makin malam, suaranya makin jelas terdengar dari berbagai arah. Suara-suara itu benar-benar membuat kepalaku ingin meledak.
Aku kembali memutar lagu sambil membuka ponsel baru milik Bapak, maksudku, seharusnya benda itu memang menjadi miliknya. Ya, seharusnya.
Dengan ponsel baru itu, aku memilih membuat akun Facebook bernama Mardiyanto dengan foto profil seorang laki-laki yang memakai kemeja biru muda. Aku ingat, kemeja itu kujahit sendiri saat belajar praktik menjahit di tempat kursus.
Suara musik masih bersahut-sahutan dengan kumandang takbir. Di dapur, mungkin saat ini Ibu sedang membuatkan kopi, lengkap dengan roti berbentuk huruf S kesukaan Bapak. Katanya, berjaga-jaga jika sewaktu-waktu Bapak pulang.
Sementara itu, aku membuka Facebook-ku sendiri, lalu menambahkan akun Mardiyanto sebagai teman. Selanjutnya, aku mengiriminya pesan, “Pak, Mirna kangen.”
Pesan itu lekas kubuka. Aku segera membalasnya, tanpa harus menunggu si pemilik akun.
“Bapak juga kangen kamu, Nduk.”
Ah, Bapak yang katrok sudah bisa Facebook-an. Akhirnya, kini aku bisa membelikan HP canggih untuk Bapak, bukan HP jadul seperti yang dibelikannya kepadaku.
Sialnya, kumandang takbir kembali mengganggu kesenanganku. Karena malam makin larut, gambaran saat Bapak mengembuskan napas terakhir di malam takbir tiga tahun lalu pun tampak makin jelas. [*]
Ruang Kecil, 07 Februari 2022
Whed adalah nama pena dari seseorang yang lahir di bulan Maret. Hobinya membaca, membuatnya ingin bisa menulis. Beberapa cerpennya sudah terbit dalam buku antologi.
Editor: Vianda Alshafaq