Oleh: Sri Wahyuni
Marta tidak pernah bermimpi dirinya akan mengenakan gaun yang indah dan dibuatkan sebuah pesta yang mewah pada hari ulang tahunnya yang ke-17. Jalan takdirnya yang berliku telah membawanya ke rumah keluarga Hartono yang kaya raya.
Marta kecil telah kehilangan kedua orang tuanya kini hidup bak seorang putri. Semua apa yang dia butuhkan akan dilayani. Tentu saja awalnya ia tidak terbiasa, tapi Nyonya Hartono membuatnya merasa nyaman dengan semua perlakuan yang ia terima.
“Marta, maukah kau menjadi putriku?”
Marta kecil mengangguk dengan senyum terkembang di kedua sudut bibirnya. Nyonya Hartono merentangkan tangannya lebar menyambut Marta kecil kedalam pelukannya, sementara Tuan Hartono menatap dengan tatapan dinginnya tanpa ekspresi.
Berawal dari sebuah hari turun hujan tanpa henti dari pagi sampai sore, membuat bendungan Jatiluhur tidak mampu lagi menampung debit air hingga akhirnya jebol. Perkampungan di sekitarnya hanyut, termasuk kampung Marta. Dalam sekejap Marta menjadi yatim piatu. Kehilangan kehidupannya yang damai di kampung, kehilangan senyum ibunya dan kehangatan yang selama ini keluarganya berikan.
Di pagi yang dingin itu, seorang gadis kecil tergeletak di pinggir jalan raya, tidak sadarkan diri dengan baju yang sebagian koyak dan luka-luka di sekujur badannya. Tim SAR yang menemukannya membawanya ke tenda darurat. Saat itu juga, di tempat yang tidak begitu jauh, keluarga Hartono sedang dalam duka yang mendalam karena baru saja kehilangan putri satu-satunya karena kecelakaan yang mengerikan.
Nyonya Hartono wanita yang anggun dan berwibawa, hari itu terkulai lemas. Dia begitu terguncang karena kehilangan yang amat sangat. Kepergian putrinya yang tiba-tiba, tidak hanya membawa pergi kebahagiaannya tapi juga cahaya di kediaman Hartono. Rumah mewah itu seperti turut kehilangan nyawanya.
Tuan Hartono meskipun tampak dingin, tapi dia adalah sosok suami yang sangat menyayangi istrinya. Tidak tega melihat istrinya yang terpuruk, dia selalu meluangkan waktu untuk menghibur istrinya di sela kesibukan mengurus bisnis. Semua rekomendasi dari rekan dan keluarganya dia coba lakukan agar suasana hati istrinya membaik. Hingga mereka bertemu Marta kecil yang mirip dengan putri mereka yang telah meninggal.
Kehadiran Marta membuat cahaya di kediaman Hartono perlahan kembali.
Marta masih mematut dirinya, berdiri, kemudian memutar badannya di depan cermin, senyum manisnya tidak pernah lepas. Nyonya Hartono mengetuk pintu kamar yang separuh terbuka, menggoda Marta dengan memanggilnya nona.
“Sudah siap, Nona Marta?”
Marta menoleh dan tersenyum. “Sudah, Nyonya.” Sambil membungkukkan badan ala putri di film Disney. Lalu mereka tersenyum dan kemudian bergandengan tangan keluar menuju tangga yang penuh dengan hiasan pita dan bunga-bunga, yang akan membawa mereka ke lantai satu.
Semua orang di lantai satu bertepuk tangan menyambut kedatangan Marta dan Nyonya Hartono. Namun, tidak semua orang yang berkumpul di pesta itu tersenyum karena menyukai marta, ada juga yang saling berbisik dengan tatapan yang sulit diartikan.
Pesta ulang tahun Marta mengundang decak kagum siapapun yang hadir termasuk teman-teman sekolahnya. Mereka mengelilingi Marta yang malam ini menjelma menjadi ratu pesta. Marta menyapa dengan ramah setiap tamu yang hadir. Nyonya Hartono berkeliling memperkenalkan Marta kepada teman-teman sosialitanya yang sengaja ia undang bersama anak mereka. Banyak wajah yang belum pernah ditemui Marta sebelumnya, tapi ada sesosok wajah yang tidak asing mencuri perhatiannya.
“Selamat ulang tahun, Marta. Cantik sekali kamu malam ini,” sapa Tante Amel, sahabat Nyonya Hartono.
“Terima kasih, Tante Amel. Tante juga cantik sekali malam ini.”
Pemuda tampan yang mencuri perhatian Marta berjalan mendekat.
“Kenalkan, ini anak tante, Juna. Ngobrol saja sana biar tambah kenal, kalau tidak salah kalian satu sekolah kan?”
“Gue, Juna.”
“Marta.”
“Kita ke sana yuk! Disini banyak tante-tante.”
Tante Amel mencubit pinggang Juna, sambil tertawa.
“Iya, pergi sana! Di sini memang generasi 70-an.”
“Permisi, Tante ….”
“Titip anak gadis tante, ya, Jun.”
“Siap, 86.”
Juna menarik tangan Marta, ke taman di luar rumah. Marta hanya menurut, sambil otaknya mengaduk memorinya, dimana dan kapan pernah melihat wajah Juna. Kepribadian Marta yang cenderung pemalu dan pendiam, membuatnya tidak banyak kenal teman sekolahnya, pun tidak pernah tertarik dengan cowok-cowok yang menjadi idola dan sering dibicarakan teman-temannya.
Marta agak kewalahan mengikuti langkah Juna yang lebar. Marta tiba-tiba teringat, kapan ia melihat Juna.
“Kamu main basket ya, Jun?”
“Iya, kok kamu tahu?”
“Kayaknya, pernah lihat kamu di lapangan basket.”
“Padahal aku sering lewat depan kelasmu, tapi kamunya nunduk terus di kelas.”
“Iyalah, kan lagi baca buku makanya nunduk, kalau ngitung cicak ya ndongak dong.”
“Ha-ha-ha, bisa ngelucu juga kamu ternyata.”
Marta terkikik geli mendengar penuturan Juna. Memang dia secuek itu dengan keadaan sekitar kalau sedang baca buku.
“Tau gak? Kamu cantik banget kalau lagi baca buku. Swear! Kamu, mau gak, jadi pacarku?”
Ditembak tanpa aba-aba membuat Marta kehilangan kata-kata. Dalam sekejap suasana berubah hening.
“Hei! Anak pungut!”
Marta menoleh, ternyata Riko, anak Tante Yuni.
“Ternyata, kamu kalau didandani lumayan juga ya, tapi tetap saja kamu anak pungut.”
Marta cuma diam, percuma meladeni omongan Riko, tidak ada gunanya.
“Ngajak berantem ya? Kalau ngomong yang sopan dong!”
Juna terlihat emosi mendengar ucapan Riko. Marta menarik tangan Juna menjauh, tapi Juna menghentikan langkahnya. Mau tidak mau Marta berhenti, menoleh pada Juna yang sedang tersenyum menatapnya. Juna melepas jemari Marta yang memegang pergelangan tangannya, kemudian menggenggamnya. Mereka berjalan sambil bergandengan tangan masuk kedalam ruang pesta dengan senyum yang mengembang seperti bunga yang sedang mekar.
“Sudah, masuk, yuk!”
Tepat ketika mereka memasuki ruangan pesta, terdengar bunyi dentingan gelas yang diketuk oleh MC.
“Mohon perhatian hadirin sekalian, di malam yang istimewa ini tuan rumah ingin menyampaikan pengumuman penting.”
Pembawa acara menyilakan Tuan dan Nyonya Hartono maju ke depan, diikuti kedua orang tua Riko. Di belakang sana jantung Marta berdetak tak beraturan menunggu pengumuman apa yang akan disampaikan kedua orang tua angkatnya. Para orang tua di depan sana semuanya tersenyum bahagia, mengabarkan pertunangan anak mereka, bertolak belakang dengan Marta, bunga yang baru saja bermekaran di hatinya dalam sekejap berguguran dan porak poranda dilanda topan yang bernama kenyataan.
Magetan, 25 Mei 2022
Sri Wahyuni, hanya seorang ibu biasa yang ingin semangat belajarnya menjadi uswah bagi anak-anaknya.
Editor: Nuke Soeprijono