Saksi

Saksi

 

Oleh: Syifa Aimbine 

Polisi belum memeriksaku sampai saat ini. Ah, pasti mereka pikir aku hanyalah bola lampu biasa. Padahal aku dilengkapi kamera dan perekam suara yang juga memiliki fungsi yang hampir sama dengan cctv. Akulah sebenarnya saksi kunci atas peristiwa yang terjadi di ruangan ini.

 

24 jam sebelumnya.

 

Wanita itu–Katia–masih sibuk dengan ponsel pintarnya. Secangkir hot chocolate yang masih mengepulkan asap tipis, tidak menjadi prioritasnya saat ini. Suara dering benda pipih itu membuatnya terlihat ceria.

 

“Hai, Mit. Yaelah, video call segala. Tenang ajalah, Mas Reno pasti gak bakal marah. Apalagi setelah itu ada kejutan dari gue, pasti dia terharu, hihi.”

 

“Gila lo, ya. Eh, lo itu hamil muda, Jeng. Jangan aneh-aneh lah. Masak nge-prank jadi kunti gitu, yang lain ajalah. Jadi badut kek, boneka kek, banyak yang lebih imut, Kat.” Suara perempuan di panggilan ponsel Katia terdengar cukup keras.

 

“Hahaha, lu penakut banget emang. Udah, lo tunggu aja entar rekamannya gue kirimin. Pasti pada ngakak,” jawabnya sambil melirik ke arahku. 

 

“Yah, terserah lo deh. Bawaan orok lo kali ni, iseng. Yang penting hati-hati, ya. Gue gak mau terjadi sesuatu sama lo maupun abang gue.”

 

“Iya, adik iparku tersayang. Dah, gue tutup ye, bye.” 

 

Katia menekan layar ponselnya setelah mendapat jawaban yang sama. Senyum merekah dari bibirnya yang tipis. 

 

Setelahnya, kulihat ia sibuk mondar-mandir menata rumahnya. Beberapa kali bel berbunyi, dan ia kembali dengan membawa beberapa barang. Salah satunya adalah kotak kue bergambar bayi dengan tulisan yang mencolok. Sebuah boneka bayi dibuat sebagai hiasan di atasnya. 

 

Setelahnya, ia sibuk menutupi sofa dan meja dengan kain putih yang sudah tampak kusam. Beberapa ornamen aneh dan menyeramkan ia letakkan di beberapa tempat. Ia sendiri kemudian keluar dari kamarnya dengan menggunakan gaun putih panjang dan dandanan yang aneh. Katia kemudian membuka ponselnya, lalu menatapku. Terlihat pantulan wajahnya di layar ponsel. Ia memberikan ancungan jempol ke arahku. 

 

Sekitar setengah jam kemudian, lampu ia matikan ketika terdengar suara bel berbunyi. Setelah terdengar suara pintu terbuka, lampu pun kemudian dinyalakan. 

 

“Hua!” Terdengar suara Katia yang sebelumnya bersembunyi di balik dinding. 

 

“Hihihi,” tawa aneh Katia terdengar seiring lampu utama yang berkedip-kedip. 

 

Pria bertopi hitam itu masuk, tidak ada reaksi apapun darinya. Ia hanya menatap Katia dengan kaku. 

 

Katia kemudian tertawa. Lalu mendekati suaminya itu, dan menyentuh pundaknya. 

 

“Kamu kok gitu sih, Mas, eskpresinya? Yah, gagal deh ngepranknya. Gak tahan aku lihat ekspresi kamu,” ujarnya. 

 

Namun, pria itu bergeming. Pandangannya kosong. Lampu utama masih berkedip-kedip. Katia makin heran dengan suaminya. Ia kemudian mendekat, dan menyentuh pipinya lembut. 

 

“Selamat ulang tahun, ya, Sayang. Aku punya kejutan besar lagi untuk ….” 

 

Belum sempat Katia menyelesaikan kata-katanya, pria itu meraih lehernya. Dengan sekali gerakan, bunyi gemeletak terdengar dari leher Katia. Wanita itu terkejut dan panik. Ia berusaha melepaskan diri. Namun, belum sempat suaranya keluar, pria tadi kemudian menariknya. Masih dengan ekspresi datar, ia mengangkat tubuh Katia, lalu membantingnya begitu saja. 

 

Katia bahkan tak sempat berteriak, ketika bunyi tulang berderak keluar dari tubuhnya yang menghantam lutut Reno. Setelahnya, pria itu hanya terdiam menyaksikan tubuh Katia jatuh terkulai menghantam lantai. 

 

Suasana berubah hening. Reno masih mematung memandangi Katia. Sesaat kemudian, tubuh Katia bergerak, menggelepar. Darah tersembur dari mulutnya, lalu kembali kaku. Tak ada gerakan berikutnya, tubuh itu sudah ditinggal pemiliknya. 

 

Tubuh Reno kemudian terkulai begitu saja. Ia meringkuk di samping tubuh istrinya. Suara ponsel Katia berdering berkali-kali, tapi kedua tubuh itu tidak bergerak sama sekali. 

 

Suara ketukan sangat keras muncul beberapa jam kemudian. Pintu kemudian dipukul dengan keras. Beberapa orang masuk dengan berlari. Lalu, ruangan yang tadi sunyi ini berubah hiruk pikuk dengan suara teriakan dan tangisan. 

 

Tubuh Reno ikut diguncang. Pria itu kemudian menggeliat, lalu terlihat terkejut dengan keriuhan yang terjadi. Ia terlihat bingung, sampai menyadari sosok di sampingnya terbaring kaku dengan kondisi mengenaskan. Reno pun berteriak dan meraung sejadinya. 

 

Jenazah Katia sudah dibawa beberapa orang yang memakai baju seragam putih. Beberapa orang polisi mengamankan lokasi. Reno diborgol dan dibawa pergi. Tempat terbaringnya Katia ditandai seorang petugas dengan kapur putih. Darah masih meninggalkan jejak di karpet itu. 

 

Beberapa tempat diambil gambarnya. Barang-barang yang terkait, ikut diangkut dan dimasukkan ke dalam plastik. Semua, kecuali aku. Ah, seandainya mereka tahu kalau aku bukan lampu biasa. 

 

***

“Bukan saya pelakunya, Pak, sungguh,” raung Reno di ruang penyidik. 

 

Sudah seratus kali pria ini mengelak dari tuduhan. Meski aku kini berada di dalam sebuah plastik, tapi aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. 

 

“Anda tidak bisa menghindar, rekaman kejadian sudah kami dapatkan. Mau bilang apa lagi? Kalau anda kesurupan, begitu?” 

 

Petugas penyidik menyentuhku, mereka akhirnya menemukanku setelah membuka ponsel pintar milik Katia. Setidaknya itulah yang kudengar sejak tadi. Meski sudah dijelaskan berkali-kali, Reno tidak menerima. Ia terlihat mulai frustasi. 

 

Polisi seharusnya memutarku lebih awal lagi, sekitar dua hari sebelum kejadian. Dimana Reno berdiri terpaku seperti malam itu. Tangannya bergetar saat membaca pesan di ponselnya. Rahangnya mengeras, ia terlihat sangat marah. 

 

“Bayi itu bukan anakku!” 

 

Depok, 23 Mei 2022 

 

Syifa Aimbine, film horor dan thiller adalah hiburannya di kala suntuk.

 

Editor: Nuke Soeprijono

Leave a Reply