Oleh: Arya Kusuma Mayangkara
Hari ini tubuhku lelah sekali. Kupandangi bayangan menyeramkan di cermin. Wajah pucat dengan dua kantong mata yang menghitam. Rambut kusam tak terurus. Sweater cokelat kumal dipadu celana jin belel membungkus tubuhku yang semakin kurus. Sangat jauh dari kata cantik yang sering dibisikkan suami di telingaku saat awal menikah dulu.
Sejak Subuh, antrean pekerjaan rumah bagai rangkaian gerbong kereta api yang tiada habisnya melindas tanganku. Belum lagi polah si Kembar, anak sambungku yang selalu riang saat bermain di dalam rumah. Setiap saat mereka siap membuat lantai setiap ruangan di rumahku menjadi berantakan.
Aku menatap nanar tumpukan mainan, serpihan makanan ringan yang berceceran, tumpahan susu, serta aneka crayon dan kertas gambar yang berserakan. Suaraku yang mengingatkan mereka agar merapikan mainannya tenggelam oleh suara tawa tokoh kartun Spongebob dan Patrick yang sedang mereka tonton di televisi. Aku menyeka peluh di dahi dengan ujung celemek koki berwarna kuning yang sedang kupakai. Kutinggalkan sejenak masakanku di dapur untuk memeriksa kenakalan apa lagi yang sedang mereka kerjakan di belakangku.
Aku berlutut di belakang mereka, lalu mengelus dua punggung mungil itu. Seketika mereka menoleh kepadaku lalu tersenyum. Wajah dua malaikat kecil berambut ikal yang dikirim Tuhan sebagai paket bonus saat aku bersedia menikahi ayahnya, terlihat begitu lucu dan menggemaskan. Amarahku seketika menurun. Aku membelai rambut mereka yang kemerahan.
“Nak, tolong bereskan dulu mainan kalian. Ibu sedang masak sup ayam kesukaanmu,” ujarku lembut.
“Ya, Bu,” jawab si Sulung.
“Bu, adek lapar,” kata si Bungsu.
“Ayo bereskan dulu mainannya, Sayang. Sebentar lagi supnya matang. Nanti ibu suapi ya!”
“Asyiiik!” seru mereka bersamaan.
Tak lama kemudian, dua mulut berwarna semerah buah cherry itu berebut menyambut suapan demi suapan sup ayam yang kuombang-ambingkan di udara meniru gerakan pesawat terbang. Sesekali mereka tergelak jika aku sengaja membatalkan suapan ke mulut yang satu dan beralih menyuapi mulut yang lain.
“Ibu curaaang!” gelak si Sulung.
Si Bungsu terkekeh sambil mengunyah suapan berisi suwiran ayam, kuah sup dan nasi.
“Hayo habiskan dulu makannya, Nak. Habis ini kita mandi, oke?”
“Yeaaay!”
Mereka mengangkat kedua kepalan tangannya ke udara bersorak gembira. Main air saat mandi adalah momen yang sangat mereka tunggu setiap hari. Tak sampai sepuluh menit, isi mangkok sup pun tandas, berpindah ke dalam perut keduanya.
Selesai menyuapi si Kembar, aku mengisi air di bathtub setinggi 3/4 penuh dengan air hangat. Kutuangkan sabun cair kesukaan anak-anak agar busa di dalamnya melimpah. Lalu kupanggil keduanya untuk menyusulku ke kamar mandi.
Mereka masuk ke dalam bathtub sambil membawa mainan kesukaannya masing-masing. Si Sulung membawa boneka karet berbentuk ikan paus. Sementara si Bungsu masih setia dengan boneka bebek karet berwarna kuning favoritnya. Suara kecipak air berpadu dengan celoteh riang si Kembar yang saling bersahutan.
Pelan-pelan kusabuni tubuh mungil keduanya. Tak lupa aku mengulaskan sampo bayi yang tak perih di mata. Setelah mereka selesai menyikat gigi, aku biarkan mereka tetap berendam menyelesaikan permainannya. Sementara aku duduk di atas bangku kecil di samping bathtub, menunggui si Kembar bermain, sambil membaca majalah wanita edisi terbaru.
Kupandangi lembar demi lembar foto wanita karir dengan berbagai model baju kerja yang keren rancangan desainer terkenal Indonesia. Ada yang sedang duduk menghadap laptop. Ada yang sedang menyesap secangkir kopi latte. Ada pula yang berpose cantik di balik kemudi mobil mewah.
Aku menarik napas dalam. Mereka adalah aku, enam bulan yang lalu. Sebelum kuputuskan melepas semuanya lalu mengabdi pada suami dan anak-anak sambungku sebagai ibu rumah tangga. Ada rasa penyesalan yang menyesakkan dadaku. Aku merasa telah salah mengambil keputusan menikahi suamiku.
“Ibu, adek ngantuk,” ujar si Bungsu.
“Kakak juga,” kata si Sulung.
“Bermainlah dulu, Ibu belum selesai membaca, Nak.” Aku memandang keduanya sekilas sambil tersenyum.
Tak lama kemudian, kulihat satu persatu tubuh anak kembarku melorot ke dalam air. Kepalanya perlahan-lahan menghilang di balik gumpalan busa sabun di permukaan air bathtub. Mereka tenggelam dalam kantuk yang dalam. Efek bubuk obat tidur yang kutaburkan di dalam kuah sup ayam mereka tadi, tampaknya sudah mulai bereaksi.
Aku menyaksikan kejadian itu dengan berlinang air mata. Teringat sudah tiga bulan lamanya aku memendam rasa marah yang tak terkira. Di saat aku di sini mengabdi penuh bak seorang pembantu, ayah mereka malah semakin asyik beradu peluh di rumah kontrakan dengan sekretarisnya.
“Maafkan aku, Mas. Aku lelah,” ujarku lirih.
Semarang, 14 Mei 2022.
Bionarasi:
Arya Kusuma Mayangkara
adalah nama pena seorang
nakes yang sedang menyamar
menjadi penulis. Dia lahir dan
dibesarkan di kota Surabaya
hampir setengah abad yang
lalu. Kegemarannya membaca buku
membuat bapak dua anak ini
tertarik untuk menulis naskah
dalam bentuk cerita pendek di
sela-sela kesibukan profesinya
sebagai nakes. Dia menjadikan
aktivitas menulis untuk menjaga
kewarasan dan mencegah
kepikunan.
Editor: Nuke Soeprijono