Hujan, Aku, dan Saryono

Hujan, Aku, dan Saryono

Hujan, Aku, dan Saryono

Oleh: Erien

Kopi yang dipesan Saryono masih mengepul. Aromanya membuatku ingin sekali ikut merasakan meski hanya satu sesap. Sayang, aku tak punya uang sepeser pun di kantong untuk membeli secangkir kopi seperti Saryono. Hanya ada korek api yang kemudian kunyalakan atas permintaan Saryono. Ia menyodorkan rokoknya setelah lebih dahulu menyeruput kopi panas itu. Aku berliur seketika dengan mata lekat pada cangkir putih itu.

“Jangan!” Saryono menggeser cangkir kopi itu lebih dekat padanya. Sepertinya ia tahu aku berencana minta sedikit kopi miliknya. Ah, hebat sekali ia bisa tahu pikiranku. “Hanya kehangatan ini yang aku punya. Kau masih ada istri di rumah, ‘kan?”

Aku tertawa getir. Benar juga. Aku masih punya istri di rumah. Juga ada dua bocah lucu kesayangan kami. Mereka matahari di rumahku. Tawa dan senyum mereka selalu menghangatkan rumah kecil kami. Meski kadang hanya makan seadanya, kami masih beruntung karena selalu bersama.

Saryono hidup hanya sendiri setelah ibunya meninggal tujuh tahun lalu. Pekerjaannya sebagai ojek mangkal dengan hasil yang tidak pasti, membuatnya tak berani beristri. Namun, ia tak peduli, selama masih bisa membeli secangkir kopi dan sebatang rokok murah di warung ujung gang rumah kami ini.

Tetes hujan masih deras menabuh seng yang menaungi kami. Meski berisik, aku menikmatinya. Sudah hampir seminggu hujan mengunjungi kota ini. Hanya sesekali hujan berhenti selama beberapa menit, seakan-akan beristirahat karena lelah berkali-kali jatuh tanpa bisa naik lagi. Drum air di dekat warung sudah lama luber. Tak ada yang mengambil, bahkan hanya sekadar untuk menyiram ban motor yang belepotan tanah liat atau mencuci kaki yang tak sengaja menginjak tahi.

“Hujan awet banget ….” Aku bergumam. Kurapatkan jaket dan melipat tangan di dada. Percuma. Dinginnya udara yang bercampur angin dan percik air tak mampu kuhindari. Bahkan, bagian bawah celanaku sudah basah sedari tadi.

Saryono asik dengan rokok dan kopinya, tidak menanggapi ucapanku. Posisinya berjongkok di kursi panjang, macam orang hendak buang air besar. Tentu saja ia begitu karena menghindari percikan air hujan yang jatuh ke tanah tak jauh dari kursi yang kududuki.

Aku mulai menjulurkan tangan, menangkap tetes hujan yang jatuh melewati atap seng dan membentuk tirai air sepanjang atap. Dingin. Aku menarik tangan dan mengibaskan jemari, lalu menyembunyikannya di ketiak.

“Kamu tahu kenapa beberapa hari ini sering hujan?”

Kulirik sahabatku itu. “Entah.” Singkat saja jawabanku, karena aku tahu ia akan melanjutkan pertanyaannya dengan sesuatu.

“Ya … karena sekarang ini memang musim hujan.” Saryono terkekeh. Mulut dan hidungnya mengeluarkan asap rokok seiring kekehannya itu.

Aku ikut tertawa. Ekspektasiku terlalu tinggi. Kupikir ia akan membahas hujan dengan segala filosofinya. Sejenak, udara seolah-olah menghangat karena tawa kami.

“Coba hujan itu nurunin uang, ya, Sar. Mungkin banyak orang hujan-hujanan. Aku juga nggak pusing mikir tunggakan uang gedung sekolah anakku.”
Asal saja aku berceletuk ketika membersihkan percikan tanah basah di celana dan teringat uang gedung anakku yang belum lunas. Sementara, lunas adalah syarat ujian tengah semesternya.

Saryono menghela napas. “Kau ini …. Jangan rusak makna hujan dengan pengandaianmu. Itu tanda kau tak bersyukur.”

Aku melirik Saryono. “Bingung aku, Sar. Kalo hujan terus, aku nggak bisa cari uang. Kapanlah hujan ini berhenti?”

Kembali Saryono menghela napas. Ia menjulurkan tangan kiri dan memainkan tirai air sepertiku tadi. Bedanya, ia tidak mengibaskan tangan, tetapi meraupkan tetes air hujan itu ke wajahnya.

“Kamu tau kenapa hujan nggak berhenti?”

Aku malas menjawab pertanyaan Saryono.

“Karena negara ini butuh lebih banyak waktu mustajab untuk berdoa.” Saryono menyesap kopinya. “Sayangnya, banyak yang lupa. Kalau nggak mengeluh, malah mempertanyakan kapan hujan berhenti. Siapalah kita hendak mengatur hujan?”

Asap rokok Saryono menyebar di sekitarku. Namun, kata-katanya meresap ke dalam otakku. Kami kembali terdiam dengan pikiran masing-masing. Sementara, air masih turun deras dan percikannya terus membasahi bagian bawah celanaku, seolah-olah mengejek.

Hujan masih belum berhenti. (*)

Kotabaru, 08022022

Erien. Menyukai hujan seperti seorang anak menyukai gurunya.

Editor: Imas HN

Gambar: Pixabay

Leave a Reply