Euforia
Oleh: Muhammad Irfan Ayubi
Itu adalah ketika malam dan siang tak ada bedanya lagi. Waktu tak berjalan, di dalam sana, semua orang tidak ingin tertidur. Sepanjang malam menuju pagi akan dilewati orang-orang dengan tawa dalam sepenggal perbincangan di meja-meja, atau memilih menyembah panggung juga kelompok musik yang dibayar untuk memeriahkan suasana, tubuh-tubuh mereka berdansa dan menggelinjang di lantainya, di sudut dan sepanjang lorong menuju toilet, berpasang-pasang laki-perempuan bercumbu-rayu, mengusap dada dan paha, sambil melumat apa yang bisa mereka lumat. Beberapa orang-orang tolol melampiaskan kemuakan dengan saling tonjok, dan yang memicu semua kemeriahan itu adalah tegukan bersloki-sloki alkohol; asap ganja atau pun sekadar rokok. Orang-orang di sana mencari sesuatu yang dapat digunakan untuk sekedar pelampiasan, dan ketika itu, seorang perempuan dengan gaun hitamnya, menjadi pelampiasan juga kiranya, ia baru saja ditinju oleh seorang lelaki setelah permintaan yang meluncur dari mulutnya.
“Nikahi saya, jika kau memang mencintai saya!”
Ia tersungkur di lantai, dicampakan si lelaki yang tadi meninjunya. Si lelaki bergegas berjalan, dengan derap sepatu yang tersamar oleh suara musik yang begitu keras, ia berjalan, sambil membenahi dasi dan jasnya yang tadi ditarik-tarik oleh si perempuan, ia terus berjalan, melewati berpasang-pasang mata pada sepanjang lorong yang menatap tanpa berkata apa-apa. Sementara si perempuan meringkuk dan menangis, tanpa isak. Seorang pelayan yang keluar dari toilet selepas baru saja buang hajat melihat si perempuan dan merasa iba. Dibantunya si perempuan bergaun hitam berdiri. Awalnya ia enggan, namun si pelayan telah meraih tangannya untuk dipapah, dan begitulah kemudian, si perempuan minta diantar ke sudut ruangan di mana ada sofa-sofa nyaman tempat kawan-kawan perempuannya telah menunggu, menanyakan pula lebam di kelopak matanya, juga menanyakan perihal maskara yang luntur karena air mata. Si perempuan duduk dan berusaha untuk tenang, kemudian pada pelayan ia memesan tequilla.
Jam empat pagi. Pesta telah usai, kawan-kawannya satu per satu pergi. Beberapa kawan atau pria tak dikenal menawarinya tumpangan, tapi ditolaknya. Ia ingin pulang sendiri. Tepatnya ia ingin sendiri. Kemudian ia bangkit dan melangkah, mencari pintu keluar, meronta dari tatapan mata pria-pria nakal yang mengarah pada belahan dadanya atau paha mulus yang terbuka, tubuhnya hanya dilapisi gaun tipis hitam yang tiada berdaya melawan mata nakal mereka. Dengan amat payah si perempuan berusaha keluar dari tempat hiburan malam itu, dipaksanya kaki berjalan, sementara salah satu tangan menjinjing sepatu hak tinggi, satu yang lain menjinjing tas kecil.
Akhirnya dapat juga ia keluar, menghirup dalam-dalam udara malam yang bebas. Tiada lagi kepulan asap rokok yang menyesakkan dadanya. Ia terus berjalan dengan payah. Dinikmatinya hening dan sunyi. Ia ingin dipeluk sepi. Dirasakannya kaki tanpa alas itu bersentuhan dengan trotoar jalan yang dingin, sementara masih terasa tegukan tequila membakar kerongkongan dan perutnya. Terhuyung ia berjalan tanpa arah dan tuju. Sesekali terjatuh dan bangkit kembali, ia terus berjalan, kepalanya berat, dimuntahkannya cairan ke selokan. Tubuhnya semakin lemas.
Dari dalam tas, gawainya terus bergetar. Tiada dihiraukannya. Duduk ia di trotoar tepat dibawah remang lampu jalanan, merenungi segalanya. Di antara kegelapan yang semakin pekat ia bertahan. Jemarinya mengusap perutnya yang semakin membesar dari bulan ke bulan. Di antara isak tertahan ia bergumam.
“Nak, baik-baik sajakah kau?”
Dari bocah dia sama sekali tiada kenal siapa Bapaknya. Bertanya pun tiada pernah. Yang perempuan itu tahu, orang tuanya adalah Bude dan Pakde. Selebihnya masa bodoh. Ibunya sendiri pun hanya tahu mencari kesenangan dengan pria lain. Dibodohi berkali-kali dengan tumpangan mobil, pergi jalan ke pusat perbelanjaan dengan tentengan barang bermerek, lalu digoda tegukan anggur saja leleh. Demikianlah cara berkali-kali pria-pria silih-berganti menidurinya. Dan tiada ibunya itu punya sedikit rasa malu. Barangkali ia juga tidak ingat punya dua anak dengan berlainan penanam saham.
Sekarang ibunya hanya bisa meratap. Semenjak si laki-laki kaya yang menikahinya terakhir juga mangkat. Setelah kawin-cerai hampir sepuluh kali. Hartanya juga jadi rebutan anak-anak tirinya. Tiada lagi yang dibanggakan. Satu-satunya kebanggaan hanyalah sebuah rumah sederhana, juga sedan mulus yang baru saja lunas. Itu juga jarang dipakainya. Satu lagi, yang masih membuat dirinya memiliki wajah di depan orang-orang adalah masih bekerja jadi atasan, perintah sana-sini, selain itu barangkali tidak ada lagi. Tabungan kian menipis. Sementara wajah dan molek tubuhnya telah hampir habis dimakan usia. Beberapa bulan lagi ia akan pensiun, dan dapat pesangon yang entah jumlahnya berapa, tapi masih dirasanya lumayan, mungkin kelak mobil mewah itu akan dijual ibunya pula, entah mungkin hendak membuka usaha apa.
Sementara dari sebuah rumah, seorang perempuan yang berkali-kali minta dipanggil ibu itu berulang-ulang menelepon si perempuan, yang membuat gawainya bergetar sedari tadi. Perempuan itu sama sekali tak ingin mengangkatnya. Ia masih mengelus perutnya yang semakin membesar, dan memandang kegelapan di depan matanya, remang lampu jalanan dirasanya tak dapat lagi menyinari apa pun.
“Nak, aku benar-benar tak tahu, mengapa aku juga bisa terperosok ke lubang yang sama?” kesah si perempuan sambil memandang pada langit kelam. Hitam. Sekelam dan hitam apa yang ada dalam dadanya.
“Oh Tuhan. Tuhan, apakah Engkau masih memandang manusia hina ini?”
Ia menyesali diri, jika saja, seusai tamat sekolah menengah atas, dirinya tidak pernah melamar pada sebuah perusahaan maskapai penerbangan. Jika saja, dirinya mengikuti kata Bude-Pakdenya. Jika saja, mendengar kata-kata mereka untuk meneruskan sekolah di pesantren. Tidak terjebak dalam keadaan yang nista ini.
Dirabanya perut yang semakin besar dari hari ke hari itu. Pikirannya melayang-layang. Mengira-ngira. Entah siapa bapaknya ia tak tahu persis. Kapten Johan kah? Kapten Margo kah? Dimas kah? Anto kah? Atau diingatnya lagi nama-nama pria yang pernah tidur bersamanya.
“Maafkanlah ibumu ini, Nak, engkau tidak salah, tidak akan kubiarkan siapa pun mengganggumu, memintamu untuk gugur dari rahimku. Tidak! Kau akan kubesarkan dengan tanganku sendiri.”
Sayup-sayup di angkasa, didengarnya suara panggilan Tuhan menggema, didengarnya dengan penuh sungguh. Rasanya begitu menyejukkan hatinya yang telah lama kering tanpa disirami hujan. Suara gema yang bersaut-sahutan itu layaknya gerimis yang begitu dinantikan rekah tanah usai dijamah kemarau panjang. Pecahlah tangisnya kemudian.
“Apakah hamba layak singgah di rumahmu kembali, Tuhan? Tuhan? Aku ingat kata Pakde dahulu, bila aku berjalan menuju-Mu, Engkau akan berlari, bukan? Namun dosa-dosa ini sungguh membelenggu, pantaskah aku Tuhan? Si perempuan nista, yang hina-dina ini berada dalam pelukan-Mu kembali?”
Ia bangkit dengan susah payah, berjalan perlahan menuju arah suara. Di jalan seberang perkantoran, dilihatnya lampu menara masjid besar kokoh berdiri.
Dihimpunnya tenaga, berjalan lebih cepat lagi.
“Tunggulah hambamu yang hina ini Tuhan, jangan Engkau tinggalkan hambamu.”
***
Cipayung, Februari 2022
Muhammad Irfan Ayubi, Nafrisme. Seorang bapak satu anak sekaligus mahasiswa yang masih berkutat dengan tugas akhir.
Editor: Lutfi Rosidah