Kabar dari Bangui
Whed
Terbaik Ke-13 TL-19
Dari balik bilik kayu, aku mengintip, menyaksikan rumah-rumah runtuh dan jalanan yang berubah menjadi lahan pembunuhan.Degup jantung bersahutan dengan bunyi letusan senapan.Tangisan anak-anak—sebelum leher mereka dipotong—menjelma serupa nyanyian kematian. Jika aku keluar, aku mungkin akan mati tertembak, lalu terbakar seperti mereka yang tak sempat menyelamatkan diri.
Asap hitam yang menyusup ke ruangan sempit ini—mungkin satu-satunya ruangan yang masih utuh—membuat mataku berair. Aku mencium aroma mayat hangus, terkapar di jalanan.Mereka bahkan tak bisa dikenali lagi.Mungkin salah satu dari mereka adalah ibuku.
Sementara, tubuh adikku yang bermandikan darah menggeletak di hadapanku.Banyak lubang di dadanya yang bidang. Sebelum ia ditembaki, lelaki ini sempat berlari dari arah luar sambil berteriak kepadaku, “Sembunyi, Kali!”
Selanjutnya, setelah peringatan itu, beberapa peluru berhasil menembus dadanya ketika ia berhenti di ambang pintu. Dan, aku melihat tubuhnya ambruk, lalu ia tak berbicara apa pun selain menatapku sambil memaksa tersenyum. Padahal, aku belum sempat membelikannya sepatu.
Aku ingat ucapan Barke kecil, saat aku lupa membelikan sepatu untuknya.Ia selalu merengek sambil berkata, “Kenapa Kakak terus ingkar janji? Jangan-jangan kau pura-pura lupa!”Ia mengatakannya sambil melotot.
Barke kecil yang selalu mengucapkan kata-kata kasar memang cukup cerdik.Ia tahu bahwa aku tak pernah berusaha untuk membelikannya sepatu. Tak ada uang, maka tak ada makanan, apalagi sepatu. Namun, ia terus menyinggung perihal benda itu. Aku lupa, kataku terus beralasan.Ia menimpali, “Dasar tidak berguna!”
Hingga beberapa tahun kemudian ia sudah melupakannya atau mungkin bosan menagih perihal sepatu itu. Semua berjalan biasa saja. Hanya saja, Barke lebih sering menghabiskan waktu di luar.Ia akan pulang saat merasa lapar sambil menenteng senapan. Kata Barke, Paman telah mengajarkan berperang. Selain itu, Paman juga telah mendaftarkannya dalam sebuah kesatuan.
Sampai akhirnya, aku mendengar cerita dari pamanku—yang sering keluar dengan Barke—tentang presiden kami yang dituduh gagal mematuhi perjanjian damai yang telah ditandatanganinya.Paman menceritakannya dengan semangat berapi-api, apalagi saat menyebut kata “pemberontak”, matanya berkilat-kilat.
Para pemberontak yang menagih janji itu mengingatkanku kepada Barke yang saat ini masih terbujur kaku. Bedanya, saat itu pemberontak berhasil menggulingkan presiden kami pada bulan Maret lalu, hingga akhirnya ia tersingkir dan mengasingkan diri dari negerinya. Sementara, Barke tidak pernah berhasil membuatku mau membelikannya sepatu.
Aku tersentak oleh jeritan seorang wanita.Aku kembali mengintip.Tubuhku gemetaran.Wanita itu sempat bersimpuh di kaki salah satu milisi.Namun, kaki kokoh itu menendang wajah si perempuan.
“Lepaskan dia!” teriak perempuan itu sambil kembali merangkak, mencengkeram kaki lelaki bertubuh tinggi.
Milisi itu tak mengacuhkan tangisan si perempuan.Hingga senjata tajam yang dibawanya itu berhasil menebas leher seorang anak kecil.
Aku memejamkan mata.Seluruh persendianku tiba-tiba lemas.
Tangisan perempuan itu pun terdengar makin keras dan menyayat. Ia terus memanggil-manggil nama seorang anak di pangkuannya, yang lehernya telah menganga. Berikutnya, sebuah peluru berhasil menembus kepala wanita itu dan tangisannya pun terhenti.
Waktu berjalan sangat lambat.Selanjutnya, tak ada lagi suara tangisan selain tangisanku sendiri. Tak ada bunyi senapan.Tak ada teriakan. Orang-orang di luar sana tampak bergelimpangan, seperti mainan. Tersisa dua atau tiga atau mungkin lebih orang bersenjata yang masih berpencar.
Aku bangkit, lalu meraih senapan milik Barke, yang sempat dibawanya saat pergi ke Bangui bersama kelompoknya Maret lalu.Ia pulang dengan beberapa luka di wajah dan tangan. Aku bertanya apakah ada sesuatu yang terjadi di ibu kota. Namun, dengan nada dingin, ia hanya menjawab bahwa semua baik-baik saja. Setelah itu aku tak bertanya apa-apa lagi.
Satu-satunya yang tersisa saat ini hanyalah senapan dalam pelukanku. Aku menggigit bibirku kuat-kuat untuk meredam isakan.Aku tak ingin mereka menemukanku, lalu menghabisiku meskipun aku juga tak ingin hidup lagi.
Maka, yang bisa kulakukan hanyalah menatap adikku. Barangkali keajaiban akan terjadi, lalu aku membayangkan seandainya adikku yang dulu selalu berbuat nakal itu tiba-tiba tersenyum jail ke arahku. Air mataku bahkan tak mau berhenti.
Kemudian terdengar seseorang berjalan ke arah tempat ini. Aku mengarahkan moncong senapan ke pintu yang bergerak-gerak seperti hendak dibuka paksa. Bibirku bergetar.Wajahku basah oleh keringat dan bercampur air mata.
Aku tak ingin mati.
Aku tak ingin mati.
Aku tak ingin mati.
“Barke?”
Suara itu! Aku mengenali suara berat itu.
“Kali?”
“Behati?”
Behati nama ibuku. Aku meletakkan senapan dengan pelan, lalu membuka pintu setelah mengintip keluar. Hanya kepulan asap dan mayat-mayat, juga darah yang menggenangi jalanan yang terlihat. Sudah tak ada orang-orang bersenjata.
Aku menarik pintu dengan tangan gemetaran. Di hadapanku, tampak seorang lelaki berdiri memegangi lengan kirinya yang terus mengucurkan darah segar. Ia menunduk, menyusup masuk dengan tergesa-gesa. “Apa mereka sela—”
Ucapan Paman terhenti saat melihat tubuh adikku yang terkapar di lantai. Wajahnya berubah muram. Ia lalu duduk di samping adikku sambil terus memegangi lengannya.
Aku kembali duduk dan melihat jalanan dari lubang kecil di bilik ini.Seperti tak ada kehidupan lagi.
“Kupikir kalian sudah berhasil mencari tempat untuk mengungsi.”
Aku terus menatap jalanan.Asap tak lagi membumbung tinggi. Aku menggertakkan gigi demi meredam tangis. Di jalanan itu, tadi sempat kulihat Ibu tergopoh-gopoh tanpa peduli kalau ia belum memakai baju tertutup. Lalu, tiba-tiba tubuhnya terjerembab saat tembakan diarahkan ke punggungnya.Aku nyaris keluar dari persembunyian, tetapi yang kulakukan hanya mematung seperti orang linglung.Aku diam saja saat melihat salah satu dari mereka menyepak tubuh ibuku ke arah bangunan yang terbakar.
“Mereka itu orang-orang dari Anti-Balaka. Setelah ini, aku akan mengantarmu pergi meninggalkan tempat ini. Di sini terlalu berbahaya.”
***
Paman terus memaksaku pergi meskipun aku menolak meninggalkan adikku. Lelaki itu akan sendirian nanti.
“Jangan bodoh, Kali! Setelah ini, aku yakin situasi terus memburuk.Kita akan mencarikanmu tempat aman.”
Meskipun takut mati, aku ingin menolak, tentu saja. Aku tak punya siapa-siapa lagi, selain senapan Barke dan Paman.Kondisi lelaki itu bahkan tampak makin lemah. Darah sudah merembes pada kain yang mengikat lengan kirinya.
Kemudian saat hari mulai gelap, kami mulai berjalan, melewati mayat-mayat, juga menginjak darah yang mulai mengental. Bau anyir menusuk hidungku.
Di sebuah pertigaan, kami berhenti mendadak saat melihat seorang lelaki bertubuh tegap dengan wajah yang dicat putih sambil memanggul senjata, berdiri di depan sana. Kami berbelok, mengambil jalan lain sambil berjingkat.
“Mereka masih di mana-mana,” Paman berbisik.
Kami terus berjalan dalam diam. Jalanan di kota Bossangoa malam ini sangat lengang. Di setiap jarak dua puluh meter, terpasang lampu penerangan di tepi jalannya yang masih berupa tanah. Aku menoleh ke belakang. Sepi. Gelap. Tampaknya sudah tak ada lagi kelompok milisi yang berkeliaran.
“Aku turut menyesal atas kepergian mereka.” Suara yang cukup pelan itu benar-benar memecah hening yang mencekam.
“Barke anak yang penurut. Selama bergabung menjadi anggota Séléka, ia tak pernah membantah setiap mendapat perintah,” lanjutnya.
“Séléka?”
Paman menghentikan langkah, melirik ke arah lengannya. “Lenganku seperti mati rasa,” katanya.
Kami lalu melanjutkan perjalanan dan terus berbincang dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan. Mataku kembali berair. Dadaku sangat sesak ketika mengetahui bahwa Barke merupakan salah satu anggota pemberontak yang turut menggulingkan presiden kami. Mereka merasa tidak puas dengan perkembangan perjanjian kesepakatan damai antara pemerintah dengan pemberontak.
“Semangat adikmu sangat menggebu-gebu.”
Aku membayangkan Barke yang ikut kecewa dan mungkin marah atas perjanjian yang ditandatangani presiden kami. Kini, kekecewaan itu menular hingga aku duduk berlutut di depan sebuah bangunan yang sesak oleh orang-orang berbaju bau, kotor, dan tatapan sebagian dari mereka tampak kosong.(*)
Ruang kecil, 20 Maret 2022
Whed, nama pena dari seseorang yang lahir di bulan Maret. Hobinya membaca membuatnya ingin bisa menulis.Beberapa cerpennya sudah terbit dalam buku antologi.
Komentar juri, Reza:
Tantangan kali ini membuat saya mempelajari berbagai macam perang, termasuk pula dengan perang yang menjadi referensi cerpen ini. Pada akhirnya, di negeri yang bahkan lepas dari jerat penjajah pun, perang tidak pernah berhenti. Cerpen ini ditulis dengan rapi, setiap ketegangannya terasa nyata, pun dengan emosi karakter utamanya yang masih menenggelamkan diri pada rasa bersalah setelah sebuah kematian besar.
Ketika selesai membaca cerpen ini, dada dan punggung saya seolah berlubang. Ada kesan yang tertinggal, dan itu tentang keputusasaan karena tidak dapat melakukan apa pun.
Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata