Orang Tua Kedua (Terbaik Ke-19 TL-19)

Orang Tua Kedua (Terbaik Ke-19 TL-19)

Orang Tua Kedua

Olehi: Diana Key

Terbaik Ke-19 TL-19

 

Daun palem di halaman rumah berayun tertiup angin yang sesekali berembus pelan. Meski cuaca panas, Afra-gadis berusia 18 tahun, bertahan duduk di teras belakang sambil menatap kosong ke arah langit. Sementara Hakeem–kakak lelakinya, duduk bersila mendengarkan siaran radio. Sayup telinga Afra mendengar suara penyiar radio mengatakan bahwa serangan darat dari Sudan Utara sudah mulai terjadi lagi. Wilayah perbatasan menjadi semakin panas dan mencekam. Sementara bantuan kemanusiaan ke Sudan Selatan diperpanjang. Menurut kesepakatan antara Khartoum-Sudan dan Juba-Sudan Selatan, pasokan makanan, termasuk jagung dan minyak, sebanyak kurang lebih 270 ton akan dibawa oleh lima rombongan.

Hakeem menyimak dengan saksama, berhitung tentang kemungkinan berapa lama akan memutuskan tetap tinggal atau berangkat ke pengungsian. Matanya melirik Afra yang masih duduk tenang. Adik tersayangnya itu selalu ditemukan di kamar mandi saat dia meninggalkan rumah untuk mengambil makanan. Posisinya berjongkok sembari menggosok lantai kamar mandi dengan sikat penuh busa. Sedangkan seluruh tubuh sudah kuyup dengan baju tetap menempel di badan.

“Afra, kamu sedang apa?” Hakeem merasa aneh saat pertama kali mendapati Afra dalam kondisi basah dan menangis. Dia baru saja pulang dari Khartoum, menjual hasil pertanian milik Baba Khalid, tetangganya yang terkenal kaya.

Afra tak menjawab, hanya tangannya semakin keras dan cepat menggosok lantai. Hakeem mendekat, memegang lengan Afra hendak membantu berdiri. Namun, secepat kilat tangan Afra menepisnya.

“Pergi! Pergi!” Afra histeris. Sikat yang awalnya menempel di lantai mendadak terbang melewati kepala Hakeem. Pria muda itu terkesiap. Tanpa berkata lagi, gayung berisi air sudah terangkat beberapa kali di atas kepala Afra. Rambut yang sudah mulai kering basah kembali. Gemercik air ditingkahi sesenggukan adik tersayangnya. Hakeem ikut basah karena tak sempat bergerak menjauh. Dia terpaku. Menyaksikan tangan Afra mengusap cepat seluruh anggota tubuh. Kepala bergidik, lalu sekuat tenaga gadis berambut sebahu itu berteriak.

Hakeem seperti tersadar dari lamunan. Segera dia mengambil handuk dan membelit tubuh Afra agar tak kedinginan. Tampak jemarinya memutih dan keriput, pertanda sudah lama dia basah-basahan di kamar mandi. Sedikit berat Hakeem menyeret Afra agar keluar dari kamar mandi. Lantai rumah yang basah hampir saja membuat keduanya terpeleset. Hakeem khawatir karena tangis Afra semakin keras.

***

Para pelayat mulai meninggalkan area pemakaman. Dua gundukan tanah tempat kedua orang tua Hakeem dan Afra dikebumikan masih berhias bunga sekedarnya. Kala itu mereka masih berusia 15 dan 13 tahun. Terpaksa harus mengikuti jalan takdir, menjalani hidup tanpa ibu dan ayah yang meninggal karena terjebak dalam baku tembak antara tentara yang setia kepada presiden dan pembelot pimpinan mantan presiden masa sebelumnya.

Bersama Baba Khalid, Hakeem dan Afra beranjak paling akhir. Keduanya saling merangkul dengan wajah basah. Baba Khalid mengusap kepala mereka, bibir komat-kamit membaca sebuah doa, lalu mencium ubun-ubun keduanya.

“Kalian bisa datang kapan saja ke rumahku. Makanan dan minuman yang kalian butuhkan, bisa diambil setiap waktu. Mungkin kamu juga butuh uang untuk hal lain, Hakeem. Datanglah, aku akan mengajarimu berniaga.”

Hakeem menatap lelaki yang sebaya ayahnya. Sorot matanya tampak tulus. Sebersit harapan tumbuh dalam hati, sosok pengganti ayah bisa mencukupi kebutuhan bersama adiknya.

Baba Khalid melangkah di belakang kedua yatim piatu itu. Ia mulai memikirkan minuman dan makanan apa saja yang akan dibagikan untuk mereka. Andai di rumahnya masih ada kamar, Hakeem dan Afra akan diminta tinggal bersama. Namun, istrinya pasti tak setuju jika ada orang lain tinggal di rumah mereka.

Di perempatan jalan, dari jauh mereka melihat sebuah mobil Jeep. Baba Khalid sigap menggapai lengan dua anak itu untuk segera bersembunyi di balik tembok pagar tanah kosong. Jantungnya berdegup kencang. Setelah mobil melintas, Baba Khalid mengintip, memastikan mereka sudah aman untuk melanjutkan perjalanan pulang.

“Siapa mereka, Baba?”

“Orang-orang asing yang sekarang sering berkeliaran di Renk.”

“Apa mereka punya anak?”

“Sepertinya begitu, karena usia mereka tidak lagi muda.”

“Kenapa tidak pulang saja? Pasti anak-anak mereka rindu menunggu ayahnya pulang.”

Baba Khalid mengusap lagi kepala Hakeem. Ikut merasa trenyuh mendengar pertanyaannya.

“Ayo, jangan lama-lama kita di luar rumah. Situasi belum aman.” Baba Khalid memegang pundak Hakeem dan Afra, mengajak mereka berjalan lebih cepat.

Tiba di rumah Baba Khalid, tangan Hakeem dan Afra terasa berat membawa makanan dan susu pemberian tetangganya itu. Mereka bisa merasa lega karena tak perlu susah mencari pengganjal perut. Konflik bersenjata yang sudah menguasai Renk membuat toko-toko banyak yang tutup. Apalagi, mereka tak lagi punya uang. Hakeem dan Afra berjalan cepat lewat jalan setapak dan masuk rumah melalui pintu belakang. Kemudian dengan sigap menyembunyikan stok makanan di balik kaleng-kaleng kosong bekas menyimpan jagung dan gandum.

***

Afra duduk di kursi kayu, sementara Hakeem masih sibuk mengeringkan rambut hingga kaki gadis itu. Bibir Afra menggigil, lalu meracau, membuat Hakeem kalut. Ditempelkannya punggung tangan pada kening Afra, panas. Hakeem segera mengambil pakaian kering di keranjang.

“Ayo, Afra. Ganti bajumu, lalu berbaring. Aku akan menghangatkan susu.”

Afra menyambar baju kering di tangan Hakeem, lalu memberi isyarat agar pria muda itu meninggalkannya. Hakeem berlalu untuk segera mengambil susu hangat. Beruntung, Baba Khalid masih bersedia memberi mereka makanan dan susu. Betapa baik lelaki itu padanya, ucapan syukur menghiasi bibir karena mendapatkan orang tua pengganti. Saat kembali ke tempat Afra, dia mendapati adiknya sedang duduk memeluk lutut yang tertekuk. Pandangannya kosong. Matanya tetap basah. Sesekali kedua tangan mengusap lengan dengan badan terayun, seperti ingin membuang sesuatu yang menempel di kulitnya.

Hakeem menyodorkan gelas berisi susu hangat. Afra bergeming. Masih sibuk dengan tangan mengusap lengan.

“Afra, minum ini. Baba Khalid–”

Tiba-tiba Afra mengibaskan tangan. Gelas terjatuh dan pecah. Hakeem membeliak.

Afra histeris, Hakeem tak sampai hati memarahi adiknya. Dipeluknya Afra sambil mengelus punggungnya pelan. Membisikkan kata-kata menenangkan. Membujuk agar Afra mau bercerita tentang sikapnya yang akhir-akhir ini tidak biasa. Pundak Hakeem semakin basah oleh airmata Afra.

Dalam isaknya, Afra berbicara tersendat-sendat. Hakeem meyakinkan adiknya agar mau bercerita. Saat memejam, dia membayangkan seringai Baba Khalid ketika bisa memuaskan nafsunya. Melihat bibirnya mengatakan, “Aku masih lebih baik dari mereka yang hanya bisa mengikat, menyeret, memukuli, lalu memerkosa para wanita. Aku masih bisa berbuat baik padamu dan Hakeem. Mencukupi kebutuhan harian kalian, memberi kakakmu pekerjaan.”

Penyiar radio masih terus berbicara tentang perjanjian perdamaian, pasukan PBB, dan kekerasan seksual yang kian meningkat akibat perang saudara di Sudan. Suara penyiar radio semakin mengiris hati Hakeem, melukai telinga dan otaknya. Tangis Afra dan gerakan-gerakan menghalau sesuatu tak kasat mata juga makin menjadi. Hakeem bertekad akan menuntut balas.(*)

Lumajang, 20 Maret 2022

Diana Key, lahir dan besar di Lumajang-Jawa Timur. Hobi membaca novel, menulis beberapa antologi, menulis sebuah novel di KBM app berjudul Menuai Cinta di Ladang Prahara, dan belajar menjadi editor di sebuah kelas menulis online.

Komentar juri, Syifa:

Cerita ini sungguh dramatis dengan ending yang memicu emosi. Bagimana side effect dari perang bagi anak-anak yang harus berjuang sendiri tanpa orang tua; bagaimana seseorang yang dianggap penolong justru adalah musuh sejati—berbuat kejam di saat ada kesempatan.

Sebagai pembaca saya ikut tersulut emosi, dan penulis berhasil menggiring pembacanya pada konflik kejahatan pada anak yang sering tidak diperkirakan akan terjadi. Apalagi dalam suasana perang seperti saat itu. Dengan ide tersebut, cerpen ini pun layak dilirik dan diperhitungkan dalam tema TL kali ini.

Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply