Mangun, Bedil, dan Kompeni
Oleh: Aryati
Terbaik Ke-20 TL-19
Ibu Mangun pernah mengatakan pada Mangun yang susah disuruh tidur—padahal sudah tengah malam—bahwa Kompeni itu punya bedil. Jangan sampai bertemu dengan mereka. Atau Mangun akan jadi sasaran tembaknya. Mereka juga tahu, siapa saja anak-anak yang suka tidur terlambat dan akan mendatangi anak-anak tersebut, begitu kata ibu Mangun lagi.
Kata-kata itu tentu saja membuat Mangun takut, walaupun ia belum tahu orang yang dimaksud Kompeni itu.
Kini, ia selalu tidur di awal waktu.
***
Malam ini, Bapak menyuruh saya bersama dengan Ibu dan Tardi—adik saya yang usianya baru tiga tahun—untuk berkemas dan pergi meninggalkan rumah. Saya tanyakan pada Bapak, kenapa harus pindah rumah. Saya tidak betah di tempat baru. Bapak bilang, beliau ada sedikit pekerjaan. Dengan perasaan sedikit jengkel, saya pun menuruti permintaan Bapak. Kami pergi tepat setelah Ibu selesai melaksanakan salat Isya. Ibu menyiapkan beberapa lembar jarik, baju saya dan baju Tardi yang dimasukkannya dalam kain sarung lusuh bekas, yang lalu diikat di bagian ujungnya. Seperti buntelan. Bapak membawa buntelan itu dan langsung membawa kami keluar.
Bapak menggendong saya. Selagi di atas punggung saya pilin-pilin ujung kain batik penutup kepala Bapak yang menjuntai.
“Berapa lama kita di rumah Uwak, Pak?”
“Sampai pekerjaan Bapak selesai.”
“Sampai kapan?”
“Mangun tunggu saja. Bapak pasti pulang.”
“Apa di sana kita akan ketemu Kompeni?”
“Tidak, tidak. Uwak sama seperti kita.”
***
Beberapa hari yang lalu, tepat saat malam beranjak larut, rumah Mangun kedatangan seorang tamu. Laki-laki itu berjalan cepat, tanpa suara, seperti hampir tak menapak tanah sama sekali. Setelah membuka pintu dan menyuruh tamu itu masuk, bapak Mangun mengambilkan segelas air. Tamu itu mulai berbicara dengan begitu pelan, sangat pelan mirip seperti suara-suara cicak di dinding; cak, cak, cak. Tapi bapak Mangun masih bisa mendengar. Ia begitu serius memperhatikan lelaki yang duduk di depannya. Sekali-dua kali ia mengangguk. Setelah sekitar dua puluh menit, tamu itu akhirnya pergi. Lagi-lagi dengan langkah cepat dan hampir tanpa suara.
Ibunya Mangun, yang sejak tadi mengamati dari celah pintu yang menghubungkan ruang tengah dan ruang depan, mendekati suaminya. Dilihatnya lelaki itu tampak bimbang.
“Aku diminta ikut menjadi pasukan Raden Mas Antawirya.”
“Tak apa. Ikut saja. Jangan cemaskan kami.”
“Bagaimana dengan kalian? Sementara aku ….”
“Kami bisa tinggal di rumah Yu Keti. Di sana bisa ikut Yu Keti bantu-bantu di kebun, atau ladang, atau sawah juragannya. Kebetulan masih ada tanah milik juragannya yang katanya tidak disewakan pada Kompeni.”
“Tapi ….”
Perempuan itu meletakkan telunjuknya ke bibir suaminya, lalu menggeleng pelan.
***
Ketika sampai di rumah Uwak, saya bangun. Saya juga melihat Tardi yang baru bangun sebentar, mengucek matanya, lalu tidur lagi. Matanya tampak merah. Sama seperti mata Ibu yang tampak merah dan sedikit berair.
Kata Ibu, Bapak sedang berbicara dengan Uwak sebentar. Saya hendak mencarinya karena tak bisa memejamkan mata lagi. Tempat tidur di tempat Uwak rasanya dingin, tak seperti di rumah kami, walaupun lebih keras tapi terasa hangat.
Ibu membujuk saya untuk tidur lagi karena di luar masih gelap. Saya menolak dan hendak menunggu Bapak saja. Ibu mengembuskan napas panjang, lalu berkata, “Ayo tidur. Kalau tak, nanti Kompeni ….”
Saya langsung memejamkan mata, walaupun bayang-bayang wajah Ibu saat hendak melanjutkan kata-katanya tadi masih terlihat begitu jelas. Lama-lama mata saya rasanya mulai berat. Di saat saya mulai bermimpi berjalan-jalan di sebuah kebun dengan banyak pohon dan akhirnya saya hampir terpeleset, sebuah tangan besar dan kasar mengusap-usap kepala saya. Rasanya, saya seperti mendengar suara Bapak. Tapi mata yang semakin berat membuat saya mengabaikan suara-suara itu. Hanya ada beberapa yang saya dengar dengan jelas, “jaga Ibu, jaga adik, turuti Ibu”. Selebihnya, entah apa?
Pagi-pagi, ketika baru bangun, saya tanyakan di mana Bapak. Ibu bilang, Bapak sedang ada pekerjaan di suatu tempat. Saya mengira Bapak akan ikut tinggal bersama kami dan bekerja di sini, nyatanya tidak. Padahal, di sini juga banyak pekerjaan yang bisa dilakukan.
Setiap hari, selama di rumah Uwak Keti, kami selalu pergi ke rumah Juragan Sarkum. Di sana Ibu bekerja membantu pekerjaan di dapur. Terkadang, saya ikut juga membantu, tapi lebih sering menjaga Tardi di halaman belakang.
Di sini kami bisa lebih sering makan nasi. Tak seperti waktu di rumah kami sebelumnya. Jarang-jarang bisa makan nasi. Kami juga bisa menambahkan lauk saat makan. Namun, tiap kali makan, saya ingat Bapak. Saya kangen Bapak. Saya juga tak betah di rumah Uwak. Kapan Bapak jemput kami?
Juragan Sarkum baik dan juga penyayang. Ia sering mencium pipi Uwak, sama seperti Ibu yang menyayangi kami, juga sering mencium pipiku dan adikku. Selagi dicium kami akan tertawa geli. Uwak pun demikian. Juragan juga tak pelit, ia mau membagi beras untuk kami. Uwak juga sering membawa pulang beras yang akan cukup untuk makan kami selama berminggu-minggu.
Suatu kali ketika berada di dapur, saya melihat Ibu menyeduh minuman.
“Boleh minum itu, Bu?”
“Ini buat tamu. Kamu minum ini.” Ibu menyodorkan segelas air putih. Saya memonyongkan mulut. Lalu, saya ikuti Ibu menuju ke depan.
Dari balik pintu, saya lihat orang-orang tinggi besar dengan kulit lebih putih dari kulit kami, tampak berbincang dengan Juragan Sarkum. Mereka tampak tertawa-tawa. Di saat Ibu sedang meletakkan minuman di meja, Juragan menjawil janggut Ibu. Lalu Ibu buru-buru ke belakang. Kali ini, Ibu diam saja, tak seperti Uwak Keti yang selalu tersenyum-senyum ketika Juragan Sarkum mencolek beberapa bagian tubuhnya.
***
Pada sore yang kelabu, dengan gerimis yang sejak tadi siang tak mau berhenti, ibu Mangun sedang bekerja sendiri, menanam benih-benih di kebun yang berada tak jauh dari rumah Juragan Sarkum. Ibu meminta Mangun dan adiknya menunggu di di rumah Uwak. Kemarin sore, Juragan Sarkum memintanya untuk segera menanam karena hujan mulai sering turun. Kebun itu tak begitu luas, sehingga pekerjaan itu cukup dikerjakan sendiri.
Azan Isa sudah sejak tadi terdengar, tapi ibu Mangun belum juga kembali ke rumah Uwak Keti. Mangun sempat menanyakan pada uwaknya, kenapa ibunya tak pulang-pulang.
“Mungkin Juragan perlu ibumu untuk membantunya melakukan suatu pekerjaan,” jawab Uwak.
“Pekerjaan apa?”
“Apa saja.”
Mangun yang penasaran pun akhirnya mendatangi rumah Juragan. Sementara Tardi baru saja tidur setelah menghabiskan makanannya. Bocah itu memanggil-manggil ibunya, tapi tak terdengar jawaban. Ia mencari-cari ke beberapa tempat dalam rumah yang cukup luas itu.
Malam semakin dingin dan tubuh Mangun mulai menggigil, tapi tak menyurutkan langkah Mangun mencari ibunya. Ia menanyakan kepada beberapa pekerja di rumah itu. Mereka bilang, ibunya sedang diminta membantu pekerjaan Juragan di ruangannya. Mangun mencari-cari di tiap ruangan. Langkahnya terhenti ketika didengarnya suara ibunya. Mangun mengintip dari balik celah pintu. Saat itu suasana di sana sudah cukup sepi.
“Maaf, Juragan. Saya mesti pulang. Sudah malam. Saya juga mau ijin pulang ke rumah saya. Mungkin lama.”
“Pulang? Apa kamu pikir dengan kemenangan pasukan Raden Mas Antawirya, suamimu akan pulang?” Juragan Sarkum memangkas jarak dengan perempuan itu. Ia melirik bibirnya yang bergetar. “Kubur saja harapanmu itu! Sudah banyak prajurit yang jadi korban. Suamimu pasti sudah mampus.”
“Saya yakin, suami saya masih hidup.”
Lelaki itu tertawa-tawa, “Lebih baik, kau tinggal di sini, di rumahku. Hidupmu lebih terjamin.”
“Maaf, kalau begitu saya permisi!”
Perempuan yang sebenarnya masih kelihatan cantik itu hendak meninggalkan ruangan, tapi lelaki itu menarik tangannya hingga jatuh ke lantai. Mangun segera masuk mendengar suara berdebum. Ia lihat ibunya yang hendak berdiri dan melihat Mangun, memberi kode dengan tangannya agar tak bersuara. Juragan Sarkum yang berdiri membelakangi Mangun, hendak mendekati ibunya. Di dinding sebelah pintu Mangun melihat sebuah benda panjang, mirip seperti benda milik Kompeni yang sering diceritakan ibunya.
Awalnya ia merasa takut, tapi tiba-tiba ia mendengar suara bapaknya, “jaga ibu.” Lalu terdengar suara lain, “Kompeni akan menembak dengan bedilnya.” Berkali-kali suara itu berdenging di telinganya. Di saat lelaki bertubuh gempal itu hendak menarik jarik yang dipakai ibunya, Mangun yang tak ingin ditembak karena tidurnya kali ini sedikit terlambat, bergegas mengambil bedil itu dan memukulkannya ke kepala Juragan Sarkum. Lelaki itu pingsan. Mangun dan ibunya bergegas meninggalkan tempat itu menuju ke rumah Uwak Keti. Malam itu juga, Mangun beserta ibu dan adiknya meninggalkan rumah Uwak Keti.
***
Malam ini saya tidur terlambat. Saya tak mau ditembak Kompeni, maka saya pukul duluan orang itu pakai bedil. Walau tak menembaknya, tapi tetap saja, saya menggunakan bedil. Bedilnya. Kata Ibu, bedil itu milik Kompeni, orang jahat. Apakah saya ini juga jahat?(*)
Banjarnegara, 20 Maret 2022
Aryati, penulis amatir yang suka makan mie ayam. Suka warna ungu dan hitam.
Komentar juri, Maurien:
Kisah sederhana yang memakai cara bercerita dengan dua sudut pandang memang tidak lazim digunakan. Namun, Aryati sudah menunjukkan usaha keras di bagian tersebut, sekaligus membuat ceritanya berbeda dengan yang lain. Hal itu yang menyebabkan juri memberi poin lebih meski bagian dramatik di akhir kisah bisa dibuat lebih “menggigit”.
Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata