Hilangnya Upacara Pemakaman di Leningrad
Oleh: Chan
Terbaik Ke-1 TL-19
Salju kembali turun dan Leningrad masih dalam kepungan tentara Jerman. Yuri dan Alexei duduk di balkon apartemen mereka yang tembok pagarnya separuh hancur, mengobrol tentang kematian. Obrolan semacam itu mungkin tidak umum bagi kebanyakan anak 12 tahun di belahan bumi lain, semisal Washington DC atau London, tetapi di Leningrad itu adalah obrolan sehari-hari.
Di bawah, di seberang apartemen, teronggok bangkai sebuah truk. Lima ratus hari lalu, truk itu dan pengemudinya terbakar usai kendaraan itu dihantam mortir Jerman. Yuri dan Alexei masih mengingat peristiwa itu, dan itulah kali pertama mereka membicarakan tentang kematian.
“Kudengar Tuan Karpov meninggal tadi malam.” Yuri berkata sambil menggosok-gosokkan telapak tangannya.
“Ya. Kudengar begitu. Kudengar topinya diwariskan kepada Tuan Asimov,” balas Alexei.
“Bagaimana kau tahu?”
“Aku melihat dia memakainya.”
“Baguslah. Kadal tua pemarah itu sudah lama mengincar topi Tuan Karpov untuk menghangatkan kepalanya.”
Alexei tertawa mengingat kepala plontos Tuan Asimov dan membayangkan betapa pemilik kepala itu tidak akan uring-uringan karena kepalanya kedinginan. Ia juga mengira-ngira, hal itu mungkin akan membuat si kadal tua pemarah menjadi periang. Ia pun tertawa. Tawanya baru terhenti oleh batuk yang panjang. Akhir-akhir ini kesehatannya memburuk, seperti kebanyakan warga Leningrad. Wajahnya memucat dan tubuhnya kian lemah, tetapi ia masih berusaha tersenyum. Ia ingat kata mendiang ayahnya, senyuman dapat menyamarkan rasa sakit. Ia tidak ingin Yuri khawatir. Begitulah pengertian tentang persahabatan dalam pemikirannya.
“Jika aku mati, kau boleh mengambil, jaket dan sarung tanganku,” kata Alexei sambil melepas sarung tangan dan merentangkan telapak tangan ke hadapan api. Di mata Yuri, tangan itu tampak lucu. Hanya ada empat jari di tangan kiri Alexei. Jari kelingkingnya hilang dikoyak peluru nyasar saat Jerman melancarkan serangan pertama.
Yuri sangat menyukai jaket biru langit berkerah bulu putih dan sarung tangan biru langit Alexei. Biru langit dan putih sangat cocok bagi penggemar Zenit, klub sepakbola yang dibela ayah Yuri sebelum pergi ke garis depan dan tak pernah kembali. Ayah Alexei membelinya dua bulan sebelum Jerman menginvasi Soviet, dan sejak saat itu jaket dan sarung tangan itu menjadi ciri khas dan kulit kedua Alexei.
Di tubuh Alexei lengan jaket yang sudah kumal itu sudah tak mampu menutupi lengannya yang kurus dan panjang. Namun, di tubuh Yuri yang lebih kecil, jaket itu akan terlihat pas. Yuri tahu hal itu dan memimpikannya, tetapi ia tidak sampai hati mendoakan agar sahabatnya itu cepat mati. Alexei adalah satu-satunya teman Yuri yang tersisa setelah serangan artileri Jerman menjebol seluruh kamar yang berada di sepanjang koridor di dua lantai di atas mereka yang dihuni Yegor dan Valeri.
Setelah itu, berita-berita kematian terus saja berembus ke telinga Yuri dan Alexei. Sebagian nama tidak mereka kenal, sebagian lagi membuat mereka menitikkan air mata dan mewarnai wajah mereka dengan duka selama berhari-hari. Selama lima ratus hari tidak ada yang berubah. Hanya saja seminggu belakangan ada satu hal yang hilang: upacara pemakaman.
“Di mana dia dimakamkan?”
“Entahlah.” Yuri menggeleng. “Apakah itu penting?”
Sekarang gantian Alexei yang menggeleng.
Sejak kematian ibu-ibu mereka, Yuri dan Alexei sudah lama tidak menghadiri pemakaman siapa pun. Mereka sudah muak oleh suasana duka dan wajah-wajah penuh kesedihan. Mereka selalu berdoa dan berharap agar tidak ada lagi berita kematian akibat perang dan butir-butir salju berubah menjadi roti atau apa pun yang bisa dimakan.
Untuk harapan pertama kedua bocah itu, sepertinya Tuhan belum bersedia mengabulkan. Namun, untuk harapan kedua, meskipun tidak persis sama, jalan keluar untuk masalah itu sepertinya sudah ditemukan. Tadi pagi, nenek Yuri mendapatkan sekerat daging yang kemudian diolah menjadi sup bola-bola daging dengan bumbu seadanya.
Yuri dan Alexei makan dengan lahap. Suara berkeciplakan sedikit menghadirkan keceriaan yang telah beratus-ratus hari lenyap. Namun, kematian dan saling mewariskan benda kesayangan tetap menjadi topik utama. Yuri berkata akan mewariskan syalnya dan Alexei hanya menanggapi dengan mengatakan syal lusuh itu lebih cocok untuk dijadikan lap, kemudian ia tertawa.
Seminggu kemudian, cuaca memburuk. Daging-daging tetap berdatangan ke meja makan Yuri, tetapi ia hanya makan berdua saja dengan neneknya. Sudah tiga hari Alexei tidak mampir. Paman Fedor–satu-satunya keluarga Alexei yang masih tersisa–bilang, penyakit Alexei kian parah.
Biasanya, Yuri belum bangun sebelum jam 7 pagi. Namun, hari itu ia terbangun pada jam 6 oleh mimpi buruk. Dalam mimpinya, Alexei datang dan memeluknya, kemudian menyerahkan jaket dan sarung tangan itu kepadanya. Usai mewariskan barang-barang tersebut, Alexei melayang meninggalkannya. Yuri terbangun dengan tangan menggapai-gapai sambil meneriakkan nama Alexei.
Yuri bergegas menuju kamar apartemen Alexei. Digedornya pintu kuat-kuat. Pintu pun terbuka seperempat dan seraut wajah semuram hantu yang mati karena kesedihan, muncul. Wajah itu milik Fedor.
“Oh, kau rupanya,” kata Fedor, “mau apa?”
“Aku ingin bertemu Alexei.”
Wajah Fedor kian murung dan matanya kian merah. “Tunggu sebentar,” katanya, lalu menutup pintu. Lima menit kemudian ia kembali. Ia menyerahkan sesuatu kepada Yuri: jaket biru langit berkerah bulu putih dan sarung tangan biru langit.
Yuri tahu artinya. Kesedihan kembali merambati wajah tirusnya.
“Kapan?”
“Semalam. Saat badai sedang dahsyat-dahsyatnya.”
“Mengapa kalian tidak memberitahuku? Di mana dia sekarang?”
“Di tempat yang lebih baik. Itu saja yang perlu kau tahu.”
“Di mana dia dimakamkan?”
Fedor tidak menjawab. Pintu kembali ditutup. Yuri menggedor pintu sekuat yang ia bisa. Namun, semalam Fedor sudah bersumpah untuk menulikan telinganya dari apa pun. Tangisan Yuri kian kencang, gedorannya juga, bersahut-sahutan dengan dentuman mortir di kejauhan.
***
Yuri pulang tanpa mengucapkan salam. Neneknya sedang sibuk di dapur, menyiapkan makan siang. Yuri menuju dapur tanpa suara. Kesedihan membuatnya tidak berselera untuk bicara.
Nenek Yuri adalah wanita Odessa tradisional. Baginya, memasak sama sakralnya seperti beribadah, harus dilakukan sebaik dan sekhidmat mungkin agar hasilnya teberkati. Ia tidak mendengar kedatangan Yuri saat sedang asyik mengolah bahan spesialnya. Yuri melihat bahan itu dan merasa seperti melihat hantu.
“Apa itu tangan manusia, Nek?” Nenek Yuri terperanjat, sama terperanjatnya dengan cucunya. “Mengapa kau memasak tangan manusia?!”
Yuri meneliti tangan tersebut. Tangan itu adalah tangan kiri yang sedikit lebih besar dari tangannya. Mata Yuri membelalak saat mendapati di tangan itu tidak terdapat jari kelingking.
“A-a-apakah itu tangan Alexei, Nek?”
Nenek Yuri bungkam.
Yuri terus bertanya dan bertanya. Dengan semua teriakan itu, suaranya terdengar lebih buruk ketimbang suara berondongan senapan mesin dan jerit kematian. Namun, mulut sang nenek telah terkunci oleh sepenggal kesepakatan.
Tidak ada yang tahu kapan blokade Jerman akan terbuka. Kelaparan dan musim dingin sangat berat bagi siapa pun. Maka, tanpa Yuri dan Alexei ketahui, sebagian penghuni apartemen bobrok itu, termasuk Nenek Yuri dan Fedor, membentuk pakta rahasia dan membuat kesepakatan: tak ada upacara pemakaman. Semua jasad yang meninggal akan dimanfaatkan sebaik-baiknya demi menjaga yang lain tetap hidup selama mungkin.
Bungkamnya sang nenek membuat Yuri nekat. Ia menyambar pisau di atas talenan, lalu menempelkannya ke lehernya sendiri.
“Katakan, Nek!”
“Jangan bertindak bodoh, Nak. Letakkan pisau itu.”
Yuri menggeleng. “Katakan dulu yang sebenarnya.”
“Letakkan dulu pisaunya, Nak.”
Yuri menekan pisaunya hingga lehernya teriris. Darah menetes mengotori lantai yang sudah mengusam. “Katakan!”
“Baiklah …. Itu tangan Alexei.” Air mata membuat penderitaan di wajah Nenek Yuri kian kentara. “Dan yang kemarin kau dan Alexei makan adalah daging Tuan Karpov dan yang lainnya!”
Yuri merasa ulu hatinya seperti dihantam popor senapan. Pisau di tangannya terlepas. Di telinga neneknya, suara berkelontang pisau yang jatuh membentur lantai terasa lebih menyakitkan dari ribuan sayatan.
Bocah itu pun berlari keluar apartemen dan bersembunyi di bangkai truk di depan apartemennya. Di sana ia memuntahkan isi lambungnya hingga ia tak sanggup memuntahkan apa-apa lagi. Sisa harinya dihabiskan dengan meringkuk di sana sambil menangis.
Hari mulai gelap. Salju turun lagi. Nenek Yuri masih memanggil-manggil Yuri dari pintu apartemen sambil menangis. Yuri mendengarnya. Namun, ia tetap tidak peduli. Ia mulai merindukan Alexei dan ingin bersembunyi hingga perang berakhir, atau selamanya jika harus demikian. Ia tidak ingin jasadnya berakhir di kuali atau piring makan seseorang setelah ia mati.
Rumah, 19 Maret 2022
Chan, seorang pembaca yang sedang belajar menulis.
Komentar juri, Berry Budiman:
Cerita yang menarik sejak dari judulnya hingga ke kalimat penutup. Penulisnya sangat teliti dan cakap dalam menghadirkan setiap adegannya, yang tampak sekali telah dipikirkan masak-masak. Tidak ada bagian yang sia-sia; penulis sangat jitu dalam menyeleksi apa-apa yang perlu dan tidak perlu dituliskan.
Kita bicara soal peperangan, dan cerita ini menunjukkan kepada kita bahwa perang bukan hanya tentang melawan musuh yang bersenjata, tetapi ia juga bisa menciptakan “musuh” dari dalam kelompok sendiri. Ironisnya, tindakan jahat dari kelompok sendiri itu—jika dilihat dari sudut pandang tokoh utama—dilakukan karena tikak ada pilihan lain. Itu harus dilakukan demi bisa bertahan hidup.
Di tengah keriuhan yang tak tertangguhkan itu, apa yang bisa kamu lakukan? Pertanyaan itu seolah mengiang-ngiang di benak kita setelah selesai membaca.
Teknik penulisan yang piawai dan cerita yang mempunyai kedalaman, membuat cerpen ini layak menjadi yang terbaik pada TL kali ini.
Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata