Semesta Sebelum Malaikat, Iblis, dan Adam Diciptakan (Terbaik 2 TL-19)

Semesta Sebelum Malaikat, Iblis, dan Adam Diciptakan (Terbaik 2 TL-19)

Semesta Sebelum Malaikat, Iblis, dan Adam Diciptakan

Oleh : Devin ED

Terbaik Ke-2 TL-19

 

Pemuda itu kehilangan penglihatannya begitu melihat foto ke-76 dari 85 korban tewas yang hari itu dikirim ke Baghdad’s Central Morgue[1], dan seketika dunianya berganti menjadi semesta sebelum malaikat, iblis, dan Adam diciptakan. Ia memang menyukai semesta sebagaimana ia menyukai keluarganya—ayah, ibu, serta adik laki-lakinya—serta tanah kelahiran mereka. Ia masih menyukainya bahkan setelah tanah kelahirannya terkoyak dan orangtuanya lebur setahun kemudian akibat bom bunuh diri.

Ia ingat bahwa ketika masih kanak-kanak, orangtuanya selalu menceritakan dongeng sebelum tidur. Dongeng itu diambil dari mana saja: Al-Qur’an; sunah; hadis; imajinasi orangtuanya. Ia menyukai dongeng itu sebagaimana ia menyukai bulan dan bintang yang jadi latar belakang halaman rumah mereka. Tapi di antara semua itu, kisah yang paling ia sukai adalah tentang semesta di awal penciptaan dunia.

Mulanya adalah kegelapan tak bertepi, kata ibunya. Lalu debu-debu ditiupkan, bumi serta surga dilahirkan. Setiap ruang kosong mulai terisi, membentuk wajah semesta yang saat itu masih berusia kurang dari enam hari.

“Saat itu belum ada malaikat, iblis, apalagi Adam. Hanya ada siang dan malam; matahari dan bulan. Berkas-berkas cahaya menyatu. Debu kosmik mengelilingi cikal bakal planet. Dunia saat itu begitu senyap, tetapi di saat bersamaan amat indah dan menenangkan, sarat akan kebebasan.”

Kisah itu begitu membekas hingga ia pun bertanya dengan mata berbinar karena rasa penasaran. “Apakah semesta saat itu lebih indah daripada langit malam yang selama ini kita lihat, Ibu?”

“Ia lebih indah dari langit yang kita lihat.”

“Apakah itu artinya kita tidak bisa melihat keindahan seperti itu lagi?”

“Tidak, kita masih dapat melihatnya, bahkan di kamar ini. Sebab semesta ketika pertama kali diciptakan serupa dengan mata bayi yang baru lahir. Seperti mata anak-anak. Seperti matamu.”

“Jadi, mataku seperti mata semesta ketika pertama kali diciptakan?”

“Bukan hanya kamu, tapi juga semua bayi; semua anak di dunia ini.”

Saat itu ia kepalang senang sebab menganggap matanya seindah semesta dalam dongeng ibunya. Ia lekas tidur tanpa menanyakan lebih jauh kenapa hanya mata bayi dan anak-anak yang memancarkan semesta di awal penciptaan; kenapa para orang dewasa tidak memilikinya. Dan pertanyaan itu mengembun 11 tahun kemudian, setelah langit tanah kelahirannya digelapkan asap dari tubuh yang terbakar atau meledak—adiknya, salah satunya.

*

Orang-orang luar itu datang dengan dalih membebaskan negeri mereka. Padahal setelah kedatangan mereka, yang ada hanyalah kegelapan; listrik diputus dan masyarakat dibiarkan gemetaran oleh suara sirine atau bom.

Itu kali pertama pandangannya dipenuhi api, asap, bangunan-bangunan yang hancur, serta mayat yang berserakan. Pemandangan itu serupa kabut yang sesekali mengaburkan pandangannya. Ia sendiri semula berpikir kabut itu akan lekas hilang begitu matahari naik. Tapi kabut itu tidak juga hilang, sebagaimana negeri mereka yang tidak juga menemukan kebebasan.

“Semesta setelah itu jadi bising sebab Adam belajar nama-nama benda, siang dan malam, dan makin bising setelah Hawa diciptakan. Para malaikat takzim menjalankan tugas-tugasnya, sesekali mensyukuri semesta yang tetap indah bahkan setelah penciptaan Adam dan Hawa. Sementara iblis memantau sambil menggumamkan rencana liciknya yang bergema menggetarkan pegunungan serta samudra.”

Saat itu adiknya berusia 5 tahun; wajahnya secerah langit pagi dan ia suka mendengarkan dongeng dari orangtua mereka, seperti pemuda itu dahulu. Suaranya seriang burung bulbul setiap meminta diceritakan dongeng-dongeng itu menjelang tidur, yang biasa dilakukan oleh orangtua mereka. Namun setelah orang-orang luar itu datang, kota jadi lebih bising dan sibuk sehingga pemuda itu menggantikan mereka untuk mengisahkan ulang dongeng yang ia dengar saat kecil.

Rasanya aneh: kau ada di dalam rumah, menceritakan malaikat dan Tuhan, sedangkan dunia luar disibukkan dengan darah dan manusia bersenjata. Tapi pada momen-momen itulah kabut tidak melingkupi matanya, karena itu ia merasa tidak keberatan menghabiskan waktu bersama adiknya.

“Semua akan kembali normal. Semoga dalam waktu dekat.”

Orangtuanya tersenyum, tetapi pemuda itu menyadari mata mereka meredup, dan itu membuatnya bertanya-tanya: “dalam waktu dekat” itu seberapa lama?

Setelah itu dunia luar tambah bising dengan bom dari orang-orang negeri mereka sendiri. Ada lebih banyak api, asap, bangunan-bangunan yang hancur, serta mayat yang berserakan hingga kabut pun menyusup lewat ventilasi dan celah kecil di pintu dan jendela.

Matanya kian berkabut, dan akhirnya ia pun mesti memakai kacamata setelah orangtuanya meninggal dalam bom bunuh diri yang meledak di pusat perbelanjaan Jalan Haifa. Ada 45 orang lain yang tewas dalam ledakan tersebut. Selama prosesi pemakaman, ia hanya melihat satu peti mati yang membawa jenazah orangtuanya. Ia tidak diizinkan melihat wajah mereka. Tapi gambar-gambar dari potongan berita di surat kabar dan televisi menunjukkan tubuh-tubuh yang terbakar dan terpotong, dan dari situ ia dapat membayangkan tubuh orangtuanya.

“Dunia saat itu begitu senyap dan dingin, tetapi di saat bersamaan amat indah dan menenangkan, sarat akan kebebasan.”

Ia merindukan semesta dalam dongeng orangtuanya. Kerinduan itu membuatnya berkali-kali tidak sanggup melanjutkan mendongengi adiknya—adiknya, yang meski sempat murung selama beberapa hari, kembali menunjukkan wajahnya yang secerah langit pagi dan suaranya yang seriang burung bulbul. Beberapa kali pikirannya kosong, seolah-olah kabut yang melingkupi penglihatannya kini berganti menjajah isi kepalanya. Beberapa kali pula adiknya ganti menceritakan dongeng yang diingatnya dari orangtua mereka, membuatnya entah kenapa merasa kosong dan kesepian.

“Dahi Kakak berkerut.”

Suatu malam, ketika dongeng pemuda itu lagi-lagi terputus, adiknya ganti menceritakan tentang malaikat yang dapat mempertemukan mereka dengan orang-orang yang telah tiada.

“Kata Ibu, semua orang akan mendapatkan tempat tersendiri ketika mereka mati. Orang-orang jahat akan dicelupkan di lautan berisi sup lava mendidih, sedangkan orang-orang baik akan berenang di sungai susu dan madu, mendapatkan makanan apa pun yang mereka sukai. Misal aku suka cokelat, maka akan tumbuh pohon cokelat yang tidak akan berhenti berbuah!”

Pemuda itu tertawa kecil.

“Karena itu, aku tidak perlu sedih kalau ada yang mati. Dan kalau aku rindu, aku bisa berdoa agar dipertemukan dengan mereka. Para malaikat akan membawa mereka menemuiku di dalam mimpi! Yah, meskipun mereka tidak selalu datang, sih, sebab para malaikat juga punya kesibukan lain.”

Mata adiknya berbinar. Dan itu mengingatkannya pada semesta sebelum malaikat, iblis, dan Adam diciptakan.

Pemuda itu tertawa kecil dengan mata berair seraya mengusap rambut lembut adiknya.

*

Ada sebuah foto lawas yang diambil sekitar tahun 1993, memperlihatkan keluarganya di antara rumah beratap melengkung dan dinding berlapis tanaman kering, di tepi rawa-rawa luas. Tempat yang dilalui oleh Sungai Tigris serta Eufrat itu kelak akan disebut sebagai Taman Eden. Tempat itu akhirnya dirusak dalam rentang 1980-1990 karena penduduknya—para Orang-Orang Rawa—dianggap tidak kooperatif dengan pemerintah sehingga sebagian besar dari mereka menyelamatkan diri ke wilayah yang aman.

Berbeda dengan keadaan saat itu yang semestinya kacau, dalam foto itu ia masih bisa tersenyum seraya menggandeng orangtuanya. Orangtuanya sendiri tersenyum, tetapi baru sekarang ia menyadari bahwa dahi mereka berkerut, rahang mereka tampak mengeras sehingga senyum mereka sekaku robot. Dalam foto tersebut, sorot mata orangtuanya seredup langit sore, sementara ia tampak berbinar. Melihat foto itu di usia 18 tahun, ia merasa tengah berhadapan dengan bocah yang tidak bisa membaca suasana. Namun ketika ia telusuri lagi, ketika ia menyadari ekspresi mereka serupa antara ia dan adiknya usai kematian orangtua mereka—ia dengan dahi berkerut, rahang mengeras, dan senyum kaku; adiknya dengan mata berbinar—ia merasa bersyukur masih bisa menemukan semesta yang dahulu ibunya ceritakan. Dan karena itu ia mesti bertahan, apa pun yang terjadi.

“Kakak, kenapa akhir-akhir ini Kakak sering memperhatikan wajahku?”

“Kakak iri pada matamu.”

“Iri? Kenapa?”

“Matamu mirip sekali dengan semesta ketika pertama kali dilahirkan.”

“Ah! Seperti dongeng milik Ibu, ya?”

“Iya. Itu adalah semesta yang sangat indah, tenang, dan bebas; semesta yang dimiliki setiap bayi dan anak di dunia ini.” Ia menarik napas. “Itu adalah semesta yang didambakan oleh Ayah, Ibu, dan Kakak. Karena itu, Kakak akan berusaha melindunginya.”

Mereka tidur sambil tersenyum. Dan meski setelah itu suara sirine, misil, dan bom masih menjadi musik harian mereka—meski kabut menjadi lebih pekat, bahkan mulai melingkupi mata adiknya—pemuda itu masih percaya akan datang masa ketika dunia jadi lebih hening dan benderang daripada sekarang; ketika setiap anak memiliki mata yang sarat akan kebebasan.

Tapi kabut tidak kunjung pergi. Malah bertambah pekat.

*

Hari itu ia tidak mendapat firasat apa pun ketika ia dan adiknya berpisah jalan: ia bekerja di toko alat bangunan; adiknya bersekolah. Ia merasa tenang sebab paman sekaligus tetangga mereka bersedia menemani adiknya hingga ia pulang. Tapi siang itu ia menerima telepon tentang adiknya yang menjadi korban bom bunuh diri di Masjid Buratha, dan seketika ia merasa kabut memenuhi kepalanya hingga pikirannya kosong. Ia hanya berlari dan berlari. Mengikuti petugas menuju ruangan identifikasi untuk keluarga korban: ruangan yang dipenuhi komputer serta orang-orang yang mencari kenalan atau keluarga mereka melalui layar monitor dengan putus asa.

Petugas itu berdengung, meminta maaf lantaran ia mesti menilik foto orang-orang mati tersebut satu demi satu. Mereka telah kewalahan: ada lebih dari 70 mayat yang mesti diidentifikasikan setiap harinya, sementara mereka hanya punya tiga mesin pendingin udara untuk menampung 100 mayat. Ia sendiri bergeming, fokus pada foto-foto di layar monitor.

Foto pertama, pria dengan kepala bersimbah darah dan beton menembus kaki. Bukan. Foto ke-5, pria bungkuk dengan wajah dipenuhi pecahan kaca. Bukan. Foto ke-11, pria dengan setengah bagian tubuh hancur. Bukan.

Pemuda itu merasakan perutnya bergejolak. Bayangan tubuh orangtuanya kembali muncul, tapi ia harus menemukan tubuh adiknya.

Foto ke-22, anak kecil yang seluruh tubuhnya terbakar. Bukan.

“Kita akan melewati beberapa foto yang sepertinya bukan adik Anda.”

Ia mengangguk lemah. Kepalanya pening. Matanya sakit. Jantungnya berdegup lebih kencang. Napasnya memburu. Ia gemetar, takut telah melewatkan foto adiknya. Ia kehilangan tenaga, tapi ia harus bertahan. Ia harus menemukan adiknya. Bahkan jika pun mesti mengulang foto-foto itu, ia harus menemukannya.

Dan setelah itu, apa?

Foto ke-41, anak kecil dengan kaki buntung dan kepala berlumuran darah. Bukan.

Apa yang mesti ia lakukan jika sudah menemukan tubuh adiknya? Apakah ia mesti mengutuk? Atau bersyukur? Dan apa yang mesti ia lakukan kemudian? Pergi dari tanah berkabut ini? Atau tetap tinggal? Tapi untuk apa? Bukankah ia sudah kehilangan semuanya?

Foto ke-67, anak kecil dengan dada terbakar dan tangan patah. Bukan.

Bukankah ia kini sendirian?

Foto ke-76.

Ah.

Akhirnya ia menemukannya.

Petugas itu berhenti sebab ia tidak lagi mengatakan “bukan”. Sedang ia tertegun. Memandangi tubuh mungil yang tertembus potongan besi bangunan itu; tubuh adiknya yang memutih oleh gipsum bangunan yang hancur, pun memerah oleh darah. Dan matanya ….

Matanya ….

Dunianya menggelap dan ia serasa melihat semesta sebelum malaikat, iblis, dan Adam diciptakan, sebelum negara mereka dibombardir dari luar serta dalam dan ia kehilangan semua miliknya. Sedang di luar, dunia masih saja berdengung seperti lebah, bersama ratapan orang-orang di ruang menyesakkan itu.(*)

Ponorogo, 20-03-2022

Catatan Kaki

[1] Pusat identifikasi jenazah di Baghdad.

[2] Surga dalam Alkitab

Devin, hibridisasi dunia Wibu dan Koriya.

Komentar juri, Freky:

Menurut saya, penulis cerpen ini sangat lihai mengaduk-aduk emosi pembacanya. Harapan dan kecemasan tokoh utamanya mengambil tempat berganti-ganti hingga saya benar-benar berharap bahwa saya akan menemukan sebuah ending yang manis di bagian akhir.

Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply