Look Me Here (Terbaik ke-10 TL-19)

Look Me Here (Terbaik ke-10 TL-19)

Look Me Here

Oleh: Hayu Nidira

Terbaik Ke-10 TL-19

 

Natal datang mendadak ke Panti Asuhan St. Theresia tahun ini. Isabella Swan, biarawati yang bertugas di malam Natal, bergerak turun dari atas tangga panti. Dia melangkah hati-hati, takut derap kakinya di tangga kayu yang lapuk itu membangunkan anak-anak yang baru saja tertidur. Tangannya membawa lampu minyak kecil bercahaya kuning keemasan. Apinya bergoyang-goyang di sepanjang jalan.

Isabella meletakkan lampu itu di atas meja kayu lapuk lainnya. Di seberang meja telah duduk Suster Dolores—kepala panti—dengan wajahnya yang penuh duka. Suster Dolores telah bekerja lebih dari lima puluh tahun di tempat ini. Baginya bangunan ini telah menyatu dengan kehidupannya.

Kerusakan yang disebabkan oleh usia gedung ini yang tua terasa sangat menyakitkan untuknya. Bagaikan tulang Suster Dolores juga ikut mengeropos. Akan tetapi, bukan itu yang dikhawatirkan olehnya, melainkan sebab mereka tak lagi mempunyai uang untuk membelikan anak-anak panti sebatang cokelat untuk kado Natal.

Ini tahun 1918. Sebulan setelah perjanjian gencatan senjata ditandatangani setelah bertahun-tahun perang mengoyak-ngoyak kehidupan di Eropa. Tentu saja keadaan tak lantas membaik. Termasuk menurunnya ekonomi orang-orang. Perlu perbaikan di sana-sini.

Panti St. Theresia mendapat pengaruh paling banyak. Donatur telah menghilang sejak lama. Tak ada lagi uang yang dikirim setiap bulan. Suster Dolores susah payah berjalan tertatih-tatih untuk tetap membuat anak-anak panti bahagia. Namun kali ini, semuanya semakin buruk saja.

Suster Isabella menatap prihatin. Kekhawatirannya mungkin tak melebihi kecemasan Suster Dolores.

“Suster Dolores. Aku yakin kita akan mendapat pertolongan. Bukankah kau mengatakan merawat anak-anak terlantar bisa membuat keajaiban datang setiap hari?” Suster Isabella menggenggam tangan Suster Dolores yang terkepal di atas meja.

“Yah. Kau benar, Suster Isabella.” Meski mengatakan itu, Suster Dolores tetap saja bersedih.

Suster Isabella tersenyum menatap perempuan itu. “Ke mana perginya suster kepala yang galak itu?”

Kepala Suster Dolores terangkat, matanya memicing. “Hei, aku tidak galak!”

Suster Isabella tertawa, “Nah, begitulah. Angkat kepalamu, Suster-ku yang baik. Kau tidak lupa, ‘kan, aku masih ada bersamamu di sini? Kita akan cari jalan keluarnya bersama-sama.”

***

Suster Isabella mengeratkan mantel bulu yang membalut tubuhnya. Sepatu boot-nya mengeluarkan bunyi keletuk-keletuk kecil di jalanan. Cuaca dingin menampar wajahnya yang terbuka.

Tak banyak orang-orang yang keluar rumah hari-hari ini. Peperangan selama bertahun-tahun membuat efek dramatis yang lebih dalam dari yang terlihat, sehingga mereka memilih aman di rumah  dengan perapian menyala.

Butir salju turun amat lambat sejak dini hari. Lagu bertema Natal yang diputar melalui gramofon terdengar dari jendela besar yang dilaluinya. Suster Isabella mempercepat langkahnya. Dia harus segera tiba di kantor sosial sebelum tengah hari. Jika tidak, raut kekecewaan anak-anak panti akan menghantuinya.

Suster Isabella berhenti di bangunan tinggi berwarna putih. Tempat itu telah ramai oleh para pengunjung yang memenuhi gedung.

“Hei, apa aku bisa menemui Tuan Frederick Filibuster?” tanya Suster Isabella pada laki-laki yang berdiri di balik meja.

Dia menatap dari kacamata bulatnya, menampakkan raut tak ramah pada Suster Isabella. Suaranya panjang dan menyebalkan saat dia berbicara. “Selamat datang, Nona. Apa yang kau inginkan dari Tuan Frederick?”

“Aku ingin berbicara berdua saja dengannya, bisakah?”

Laki-laki dari balik meja itu semakin memandang sinis kepada Suster Isabella. “Kutakutkan Anda tidak bisa, Nona. Tuan Frederick belakangan ini sangat sibuk. Ia tak bisa diganggu hal-hal kecil seperti memberi sumbangan.”

Suster Isabella memundurkan kepala ke belakang, membekap mulutnya sendiri. “Berani-beraninya kau!”

“Sayang sekali untukmu, Nona. Tapi saya hanya menjalankan tugas. Pulanglah! Tuan Frederick tak ada waktu.”

“Hei! Aku bilang aku ingin bertemu Tuan Frederick, kau dengar itu? Bahkan jika dia hanya memiliki dua detik aku akan tetap menemuinya. Jadi sekarang kau pergilah menjalankan tugasmu. Katakan padanya ada orang yang mencarinya.”

Kemarahan Suster Isabella tak menyurutkan tekad laki-laki itu. Dia bediri lebih tegak, angkuh melihat Suster Isabella. Dalam pikirannya Suster Isabella hanyalah biarawati muda tak bermoral. “Kau tau pintu keluar, Nona.”

Suster Isabella menahan napas, merasa jauh lebih terhina. “Baiklah! Aku akan cari sendiri di mana Tuan Frederick!” Suster Isabella memutar tubuhnya kasar.

Si laki-laki dari balik meja terkejut melihat kelakuan Suster Isabella. “Anda tak bisa melakukan itu, Nona. Lebih baik Anda keluar sekarang.”

Suster Isabella mendengus. Menatap penuh kebencian pada laki-laki dengan tampang menjijikkan itu. Dia kemudian melangkah cepat ke belakang ruangan. Namun, belum sampai pada anak tangga pertama, pria yang dicarinya muncul dari atas tangga, berbincang pada tiga orang berpakaian tentara sepangkat jenderal.

“Ayah!”

Tuan Frederick berhenti mendadak, mencari orang yang memanggilnya. Setelah matanya menangkap Suster Isabella, senyumnya merekah.

“Hai, Anakku, Isabella. Selamat Natal untukmu, Nak. Aku senang melihatmu di sini.” Tuan Frederick berujar riang. Dua tangannya terentang hendak memeluk putri kesayangannya, Isabella Swan Filibuster.

Sementara di sisi lain, rahang si pelayan dari balik meja seakan-akan jatuh. Mulutnya menganga besar sekali. Seluruh tubuhnya membatu.

“Hai, Ayah. Aku ingin berbicara empat mata denganmu.” Isabella melirik tiga tentara yang ikut berhenti di samping ayahnya.

“Well, kita bisa bicara nanti malam.”

“Tidak. Kumohon sekarang, Ayah.”

Tuan Frederick menghela napas. Anaknya selalu keras kepala. Dia lalu memberikan isyarat kepada jenderal yang bersamanya untuk pergi terlebih dahulu. Dia akan menyusul setelah urusannya selesai.

“Ikut ke ruanganku.”

Isabella tersenyum senang. Langkahnya ringan seperti melayang. Dia tak ingin kesempatan ini terbuang. Hanya pada ayahnya dia bisa meminta uang.

Tuan Frederick duduk di atas kursinya. Bersilang kaki. Kacamata bundarnya dilepas dan diletakkan hati-hati di tumpukan buku yang menggunung.

“Nah, Isabella? Apa yang kau inginkan?”

Isabella melepaskan mantelnya. Dia terdiam beberapa detik, berpikir kalimat apa yang akan dikeluarkannya.

“Tahun ini buruk sekali. Akibat Great War perekonomian kita ikut porak-poranda. Tak banyak yang bisa kita lakukan tanpa uang. Aku tak perlu begitu banyak sebenarnya, tapi anak-anak panti mengharapkan Santa memberi kado pada mereka karena telah bersikap baik selama ini.”

“Jadi, kau ingin meminta uang untuk membeli kado anak-anak itu?”

“Bagus jika kau berpikir seperti itu, Ayah.” Isabella duduk tegak, tampak bersemangat mendengar ayahnya memahami tujuannya.

Tuan Frederick menahan tawa. “Kau telah menyebutnya, Isabella. Ekonomi kita sedang susah. Aku pun terkena dampaknya.”

Bahu Isabella mendadak turun. Wajah sedih anak-anak panti membuat air matanya hampir saja luruh.

“Tapi itu bukan berarti aku tidak bisa membantumu. Aku punya sedikit ide, Isabella.”

Meski tak lagi bersemangat, Isabella mencondongkan kepalanya mendekati sang ayah, mendengar usulan ide yang diberikan.

***

Matahari bersinar lembut di langit. Siang tak begitu terik.

Suster Isabella berjalan di depan anak-anak panti, memandu mereka ke tempat yang akan mereka tuju.

“Suster Isabella, katakan ke mana kita akan pergi. Sejak tadi kau membuat kami penasaran!” Salah satu anak laki-laki dengan tubuh besar dan punya bintik-bintik cokelat di hidungnya bertanya. Dia dipanggil Berry oleh teman-temannya karena tubuhnya memang sebulat buah itu.

Suster Isabella tersenyum jahil, mengerling pada anak-anak panti. “Rahasia. Tapi aku yakin kalian akan menyukai ini.”

Suster Dolores yang berjalan di sisian Suster Isabella berbisik. “Ini ide brillian, Suster Isabella. Mengajak anak-anak ini ke camp para tentara. Mereka akan belajar banyak hal.”

“Ini ide ayahku sebetulnya. Lalu aku berpikir, mengapa tidak? Ayahku berpendapat ini bukanlah akhir perang, hanya perjanjian gencatan senjata. Besar kemungkinan perang akan kembali meletus. Setidaknya saat itu terjadi anak-anak ini telah siap untuk menjadi tentara yang melindungi negara kita, Suster Dolores.” Wajah Suster Isabella mendadak menjadi gelap. “Aku tak berharap kita akan memasuki masa perang lagi.”

Suster Dolores menepuk punggung Isabella sambil tersenyum menyemangati. “Ini hari Natal. Bergembiralah.”

Mereka tersenyum. Entah apa yang akan terjadi esok hari, atau esok-esoknya lagi, tak ada yang pernah tahu. Namun, kita masih bisa berharap untuk hari yang lebih menyenangkan. (*)

Padang, Desember 2021

Hayu Nidira, dara berkelahiran Pekanbaru pada pekan ketiga Maret 20 tahun lalu ini mengaku takut dengan kucing dan hewan-hewan yang berawalan huruf K. Suka makanan pedas tapi suka stuck kalau disuruh nulis romance murni. Mimpinya saat ini adalah bagaimana caranya agar bisa rebahan dengan sehat, damai, dan bisa menghasilkan cuan.

Komentar juri, Erien:

Kisah yang ditulis Hayu Nidira melihat perang dari sisi lain. Sudut pandangnya unik. Dia melihat efek perang terhadap anak-anak di panti asuhan gereja. Perang membuat para penyumbang panti, mau tak mau, berhenti menyalurkan dana. Itu sudut pandang yang menarik. Kejeliannya melihat hal yang baru patut diapresiasi. Jadi, di tengah perang, para sister itu masih berpikir untuk memberikan kebahagiaan ke anak-anak panti dengan menghadirkan “santa dan hadiah cokelat” untuk mereka. Tidak muluk-muluk, tetapi malah menyentuh. Para juri sepakat, cerita Hayu layak terpilih.

Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply