Pertolongan Tak Terkira

Pertolongan Tak Terkira

Pertolongan Tak Terkira

Oleh: Fey Ling

 

 

Rega terpaku menatap selembar kertas yang bertuliskan bahwa dia harus membayar uang sebesar enam belas juta rupiah dan harus terbayar paling lambat besok. Wanita berusia tiga puluh tahun itu tertegun. Pikiran dan batinnya mengembara ke mana-mana. Dia berusaha mencari jawaban atas pertanyaan yang timbul dalam hatinya, dari mana dia mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu semalam.

Segera saja Rega mengambil ponsel yang ada di tasnya dan menghubungi seseorang. “Ko¹, ini bagaimana?”

Dia menceritakan permasalahannya yang dihadapinya kepada Surya–suaminya. Bukannya mendapat jawaban, sang suami juga mengungkapkan kebingungan yang sama. Alhasil dia tidak mendapat pencerahan sama sekali dari lelaki yang dicintainya itu.

**

“Gaaa!”

Rega yang berada di dapur segera mencuci tangannya, lalu menghampiri mami mertuanya.

“Ada apa, Mi?”

“Dada Mami sakit. Sebenarnya sudah beberapa hari ini Mami terasa enggak enak. Kali ini makin nyeri. Coba kamu tanya jadwal praktek dokter Purwoko di Adi Husada Kapasari,” perintah Mami.

“Iya, Mi. sekalian Rega daftar konsultasi?” Rega melihat Mami mengangguk tanda setuju.

Tiba di rumah sakit. Rega menuju ke meja perawat dan menyebutkan nama lengkap mertuanya, lalu menunggu giliran diperiksa.

Dokter Purwoko sebenarnya ahli medis spesialis syaraf. Namun, karena sudah lama menjadi dokter pribadi Mami Rosa, dia selalu menjadi orang yang dimintai pertolongan.

“Cik² Rosa harus ke dokter jantung. Aku curiga jantungnya bermasalah.” Penjelasan dokter Purwoko saat Mami Rosa menceritakan keluhannya.

“Ada rekomendasi dokter jantung yang menangani pasien BPJS, Dok?” sela Rega.

“Kamu ke dokter Michael saja,” kata dokter Purwoko lagi.

Setelah mengucapkan terima kasih, mereka berdua beranjak meninggalkan tempat praktek dokter langganan itu. Di dalam mobil, Rega dan Mami berbincang mengenai langkah selanjutnya. Mereka berencana meminta surat rujukan terlebih dahulu ke fasilitas kesehatan pertama sebelum menjalani pemeriksaan ke rumah sakit type c.

Diskusi mereka terhenti saat terdengar nada sebuah lagu. Wanita itu melihat ke layar ponselnya dan tertera nama suaminya di sana.

“Halo, Ko?”

“Bagaimana Mami, Ga?” Mendapat pertanyaan seperti itu dari Surya, segera saja Rega menceritakan sekilas tentang keadaan Mami.

**

Surat rujukan sudah ada di tangan Rega pada pagi hari itu dan segera saja dia mendaftarkan mami mertuanya ke rumah sakit yang ditunjuk. Setelah mendapat kepastian bahwa mereka bisa konsultasi ke dokter Michael malam nanti di hari yang sama, Rega langsung lega.

“Sepertinya Ibu harus pasang ring di jantungnya karena dicurigai ada penyumbatan. Saya kasih surat rujukan ke rumah sakit type b karena harus kateter dulu. Di rumah sakit ini enggak bisa,” kata dokter Michael seusai memeriksa Mami.

“Lalu kateternya di mana, Dok?”

“Rumah Sakit Siloam. Nanti di sana Ibu harus rontgen paru terlebih dahulu, lalu minta jadwal untuk swab PCR dan jika hasilnya negatif, Ibu bisa langsung rawat inap. Besoknya Ibu bisa menjalani pemeriksaan kateter.” Dokter Michael memberikan penjelasan sembari tangannya menuliskan sesuatu di kertas.

“Silakan, Bu” Perawat menyuruh Rega dan maminya menunggu di luar.

Mereka tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada dokter sebelum beranjak keluar. Tidak lama kemudian, suster yang tadi di ruangan dokter Michael menghampiri Rega.

“Ini berkas-berkasnya, Bu. Ibu bisa langsung bawa ke rumah sakit lanjutan. Semoga lekas sembuh,” ujarnya lalu tersenyum.

**

Paginya, Rega, Surya, dan Mami tengah berdiskusi di meja makan.

“Pemeriksaan jantungnya Mami ini pasti butuh biaya besar. Bagaimana bayarnya?” keluh Mami.

Sebenarnya dalam hati Rega juga mempunyai keresahan yang sama, termasuk Surya. Mereka harus mendapatkan uang dalam waktu yang cepat. Masa pandemi berdampak buruk pada kondisi keuangan Surya, Rega, dan maminya.

“Coba cek BPJS Mami!” seru Surya karena seingatnya, Mami rutin membayar iuran.

Jawaban Mami membuat suami istri itu terkejut. “Mami sudah menunggak bayar, Sur.”

“Berapa?” tanya Rega.

Rega hanya melihat gelengan Mami yang menandakan dia tidak tahu jumlah nominal yang belum terbayar. Melihat hal tersebut, Surya berinisiatif menelepon customer service BPJS. Hasilnya, Mami harus melunasi pembayaran beserta dendanya sebanyak empat juta rupiah.

Awalnya BPJS kesehatan Mami rutin terbayar. Namun, sejak pekerjaan Mami sebagai penjahit terhenti, otomatis dia juga tidak melanjutkan iurannya dan itu sudah berlangsung selama lebih dari tiga tahun. Rega yang baru saja mengetahui hal itu bagaikan tersambar petir. Dia menyayangkan kenapa Mami tidak berterus terang kepada anak dan menantunya. Alasan Mami karena takut memberatkan anak dan menantunya itu.

Mau tidak mau, Rega dan Surya berusaha mencari pinjaman uang kepada sanak saudara untuk melunasi tunggakan Mami. Keberuntungan ada di pihak mereka karena ada saudara Mami yang bersedia membantu. Tanpa mereka sadari bahwa masih ada masalah yang belum terselesaikan.

**

“Ibu Rega, baik-baik saja?” tanya pegawai registrasi yang bernama Farid itu.

“Eh, iya, Mas Farid. Apa bisa dibayar nanti? Saya enggak punya uang sebanyak itu.” Rega mencoba mengajukan penangguhan pelunasan biaya perawatan Mami Rosa.

“Mohon maaf, Bu. Ketentuan dari manajemen rumah sakit harus dibayar sebelum pasien pulang dan menurut keterangan dari dokter yang menangani, Bu Rosa besok sudah bisa pulang,” terang Mas Farid.

“Bukannya semua biaya sudah ditanggung BPJS, Mas?” tanya Rega. “Saya sudah bayar BPJS-nya senilai empat juta. Masak harus bayar lagi enam belas juta?” sambungnya lagi.

“Ibu, ini ada denda rawat inap yang harus dibayarkan karena Ibu sempat menunggak.”

“Bagaimana perhitungannya, Mas?” Rega berkata dengan gusar.

“Ini estimasinya, Bu. Jumlah dendanya adalah sebesar 2,5% dari total biaya rawat inap dikali jumlah bulan tunggakan. Untuk lebih jelasnya, Ibu bisa ke kantor BPJS Kesehatan karena pihak rumah sakit hanya bisa menerangkan rinciannya saja, Bu,” terang Farid.

Saat itu juga otak Rega memikirkan cara membayar denda itu. Dia pun memberitahu suaminya mengenai kondisi yang terjadi. Sesuai dugaan Rega jika Surya juga bingung dan tidak bisa memberikan solusi apa-apa.

Dengan bermodalkan tekad, Rega segera memesan ojek dan bergegas menuju ke kantor BPJS Kesehatan yang terletak di Jalan Raya Dharmahusada Indah, Surabaya. Sesampainya di sana, dia dicegat oleh petugas setempat guna bertanya apa keperluan Rega. Lima menit kemudian Rega sudah duduk di depan meja customer service.

Wajah wanita itu terlihat muram. Tidak ada senyuman yang tampak di sudut bibirnya. Sepertinya Rega tidak mendapatkan hasil yang memuaskan meskipun dia sudah mencoba mengajukan keringanan.
Menurut petugas tadi, sistem tidak bisa menghapus denda rawat inap karena opname di masa tenggang 45 hari sejak tanggal terakhir pembayaran. Di sisi lain, Rega memahami hal tersebut. Namun, dia juga tidak mempunyai uang untuk melunasinya.

Rega hanya bisa duduk dan terdiam. Air matanya menetes menandakan kesedihan dari hatinya. Di tengah kerisauannya, dia melihat beberapa orang menenteng kamera memasuki kantor BPJS.

‘Siapa ini yang datang? Apakah seorang pejabat? Jika iya, aku mungkin bisa meminta bantuannya untuk membayar denda ini. bukankah pejabat bekerja untuk rakyat?’ pikir Rega. Ternyata dugaannya benar, Bapak Eri Cahyadi–walikota Surabaya– bersama ketua Dinas Kesehatan datang berkunjung.

Rega sekali lagi ingin mencoba peruntungannya. Dia pun menghubungi Surya untuk meminta doa agar rencananya berhasil. Setelah menunggu hampir dua jam, akhirnya Rega berhasil menemui Pak Eri. Dengan berderai air mata, dia menceritakan keluh kesahnya. Dari mulai penyebab menunggaknya pembayaran, terkena dampak pandemi, hingga tidak mampu membayar denda rawat inap. Pak Eri dan Ibu Febria menyimak dengan seksama.

Tuhan bekerja melalui tangan-tangan orang yang Rega temui pada waktu itu. Tanpa disangka, Pak Eri memutuskan membayar denda Mami Rosa. Rega yang mendengar hal itu segera sujud syukur tak terkira. Berkali-kali dia mengucapkan terima kasih kepada pucuk pimpinan kota Surabaya itu. Tangan Rega gemetar saat dia mengabari Surya. Air mata pun tak henti-hentinya turun membasahi pipinya.

Saat itu juga dia kembali ke rumah sakit Siloam dan membereskan segala administrasinya. Dalam hati dia berjanji tidak akan pernah menunggak iuran BPJS kesehatan keluarga dan dirinya.

**

Cerita berdasarkan kisah nyata yang dialami oleh penulisnya pada bulan April 2021 di Surabaya.

Surabaya, 19 Januari 2022

 

Fei Ling, menulis adalah menceritakan suatu peristiwa yang terjadi dalam hidupnya atau ide lain dalam bentuk rangkaian kalimat. Berusaha memberikan bacaan terbaik adalah salah satu cita-citanya.

 

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply