Luka Tersembunyi

Luka Tersembunyi

https://pixabay.com/id/photos/bunga-cengkeh-bunga-bunga-1359317/

 

Luka Tersembunyi

Oleh: Renata Anisa Santosa

 

Kasur pegas memantul saat tubuh lelaki itu terempas lelah di sebelahku. Tak lama suara dengkurannya mengisi telingaku, memaksa untuk bangun. Aku singkirkan tangan kekarnya yang merangkul di atas pinggang seiring kakiku turun dari ranjang.

Pukul tiga lebih lima menit, digit angka yang tertangkap mataku pada benda di atas nakas. Kuembuskan napas mengumpulkan kesadaran sebelum beranjak dari tepi ranjang. Mata yang setengah terbuka kembali menemukan kebiasaan buruknya. Aku terlalu lelah mengingatkannya. Kupungut baju, celana panjang, sepatu berikut kaos kaki  yang berserakan memenuhi lantai kamar. Seperti biasa, wangi parfum murahan milik seseorang yang aku kenal menempel di baju Mas Aldo, suamiku.

Pekerjaan terakhir sebelum kutinggalkan rumah, aku harus menyuntik lengannya. Aldo meringis sesaat  lalu mengerjap. “ Sampai kapan kamu berhenti menyuntik insulin, kadar gulaku sudah normal.”

Tak perlu kujawab, dalam sesaat dia akan kembali terlelap dalam mimpi indah.

Pagi ini aku harus mampir ke rumah Ibu, hari ini beliau berulang tahun. Huft … kuhela napas sebal mengetahui kaleng itu sudah kosong. Untuk kesekian kalinya uangku raib. Percuma saja aku mengomel, Mas Aldo tetap tak merubah posisi tidurnya yang lelap. Kutatap lelaki yang tidur di ranjang tanpa baju. Rasanya aku sudah kebal dengan sakit yang terus dia ciptakan. Sakit itu sudah mendarah daging sampai tak kurasakan lagi saat mata ini melihat tanda merah di lehernya yang putih.

Lampu ponsel yang berkedip menghentikan langkah kakiku yang hendak keluar dari kamar. Rasa penasaranku terjawab setelah jari telunjuknya membuka layar yang terkunci.

Aku tidak membuang percuma kesempatan yang ada, deretan pesan yang tersimpan belum sempat dihapus beralih mengisi galeri ponselku. Aku akan menunggu dan menyaksikan permainan kalian. Mungkin, aku harus melengkapi permainan kalian supaya lebih seru, gumamku.

***

Aku mempercepat langkah hingga sampai di warung kecil milikku. Warung dengan bangunan lama yang tidak dilirik orang karena tempatnya yang seram. Bagiku ini sebuah keuntungan besar. Aku bisa menyewanya dengan harga murah demi kelancaran pekerjaanku.

Derap kaki setengah berlari terdengar sampai di dapur, menyusul rengekan tangis Aryo yang memenuhi kamar kecilku. Sudah pasti bocah lelaki enam bulan itu tak ingin turun dari gendongan Nuraini saat Nuraini menidurkannya di ranjangku. Aku memang membuat kamar kecil di belakang kasir untuk beristirahat. Kadang aku harus menghabiskan malam tidur di warung karena Mas Aldo masuk kerja malam.

Kutinggalkan perempuan cantik itu menyelesaikan pekerjaan di dapur sendirian. Kuraih tas kecil di bawah kolong meja mengeluarkan beberapa ponsel untuk menghubungi rekan kerjaku. Lima sim card yang sudah selesai harus segera disingkirkan dengan mengguntingnya. Kuayunkan kaki menuju dapur mengecek pekerjaan yang aku tinggalkan. Tangan gesit Nuraini menyelesaikan pekerjaan dapur dengan cepat dan tepat. Tak lupa aku memasukkan potongan sim card dari celah kecil yang menutupi sumur tua yang tidak terpakai.

Nuraini gelisah. Bukan karena pembeli yang tak kunjung datang. Warung ini memang selalu sepi, dan itu sudah biasa. Bola matanya memutar melihat ke arah jarum jam yang menempel di dinding beralih melihat jendela.

“Nur, kamu gak kirim makan siang suamimu?”

“Sebentar lagi, Mbak,” kilahnya.

Tak lama perempuan muda itu menyiapkan nasi dan sayur berikut lauk untuk suaminya. Dia menghampiri Aryo yang duduk di kereta dorong setelah meraih kain panjang untuk menggendongnya.

“Aryo biar sama aku di sini.”

“Nanti kalau ada pembeli Mbak Seila akan kerepotan.”

“Sebentar lagi Bang Aldo pasti datang.”

Nuraini menghentikan tangannya meraih Aryo, dia membulatkan mata dan bibir merasa aneh mendengar jawabanku.

“Aku tidak menyediakan sarapan di rumah, pasti dia akan segera datang karena lapar,” sergahku  menjelaskan.

Perempuan itu melangkah pergi. Tebakanku sangat tepat, dalam hitungan tak lebih dari lima langkah dia sudah menghubungi seseorang lewat ponselnya. Sudah pasti lelaki itu yang dia hubungi.

Kutatap bocah tak berdosa yang tertawa girang sambil menggerakan tangan dan kaki melihat layar TV. Kuraih tubuh munggil itu beralih di pangkuanku.

 Kamu ganteng sekali, Nak! Kamu mengingatkan aku pada seseorang yang aku cintai. Sayang kamu memiliki orang tua yang tidak sempurna. Seandainya suami Nuraini bukan lelaki buta, seandainya bukan karena kamu, aku tidak akan mengijinkan dia bekerja di sini.

Huft … kuhela napas panjang mengingat apa yang dia lakukan pada Kardi. Lelaki itu harus bertanggung jawab atas Aryo. Aku mengusap lembut rambut tipis Aryo, mendaratkan ciuman di kepalanya. Aroma wangi, baju bagus dan semua yang kamu miliki sekarang memang tidak langsung dariku, tapi aku iklas.

Lamunanku buyar mendengar pekikan Aryo, entah mengapa bocah ini tiba-tiba menangis kencang. Mungkin dia merasakan apa yang aku rasakan sekarang. Maafkan aku, Kardi. Aku tidak bisa menolongmu dan membiarkan ini terjadi demi kebaikanmu. Kamu tidak boleh terlalu lama menderita.

Sekarang aku benar-benar melihatnya secara nyata dari kecanggihan ponsel yang terhubung dengan beberapa kamera kecil yang aku pasang. Perempuan berkulit putih berambut sebahu memasuki halaman rumahku dari belakang. Sepertinya dia sudah hafal betul letak kamarku. Tubuh kecilnya langsung menyergap Mas Aldo di atas ranjang. Pergulatan dosa terjadi di ranjang suciku. Ranjang yang enam bulan terakhir tidak pernah berderit setelah aku mengetahui perbuatan hina mereka.

Permainan perempuan itu memang sangat liar, benar-benar  membuat suamiku tak berdaya. Mungkin aku penyebab yang membuat Mas Aldo berbuat zina. Aku mandul, bahkan tak bisa melayaninya seperti perempuan itu.

Dua pelanggan pria datang mengalihkan mata dari ponsel yang kuamati.

“Nasi rendang dua.”

“Oke.” Aku memberikan plastik kantong hitam pada lelaki itu setelah ia berpamitan menumpang di kamar mandi.

“Lima lontong sayur.”

“Oke.” Aku menyerahkan dua kantong plastik merah setelah ia menyapa Aryo di kereta dorong.

Gegas aku menyiapkan nasi goreng di microwave dan segelas lemon tea di cooler setelah kedua tamuku pergi. Tak lama perempuan tua memasuki warung mengahampiriku.

“ Es lemon tea dan nasi goreng.”

Perempuan tua itu duduk di meja paling sudut setelah memesan. Aku menghampirinya, membawa nasi goreng yang tertutup tudung saji. Tak lupa kubawakan pesanannya untuk dibawa pulang. Satu kantong warna hijau aku ulurkan setelah ia meletakkan sesuatu di atas piring yang tertutup tudung saji.

Perempuan itu pergi setelah aku membawa tudung saji ke dapur. Gegas aku ke kamar mandi setelah menyambangi Aryo. Nuraini datang di saat yang tepat. Aku butuh bantuannya  menggeser tutup sumur tua yang terbuat dari cor semen.

“Kenapa harus dibuka, Mbak?”

“Memang kamu gak mencium bau busuk? Baunya menyengat seperti ini.”

“Sama sekali enggak, hidung Mbak Seila aja yang aneh.”

“Memang benar, sepertinya hanya aku yang mencium bau busuk itu. Bawa besi linggis itu ke belakang aku butuh menggeser sedikit saja tutup sumur itu.”

Nuraini melangkah mengambil besi linggis menuruti perintahku. Dering ponsel yang berbunyi menghentikan langkahku. Pelanggan misterius menghubungiku. Oke, ikan bakar sambal balado! Gumamku dalam hati.

“Nur, tolong teleponkan Mas Aldo.” Untuk kedua kalinya perempuan itu melihatku aneh. “Ponselku mati, belum selesai menjawab panggilannya,” seruku memberi alasan.

Kutinggalkan ponsel Nuraini di meja tanpa perlu aku menghubungi Aldo. Aku mengikuti Nuraini ke belakang. Dalam sesaat tutup cor semen itu sudah bergeser seperti yang aku mau. Untuk terakhir kalinya aku melempar ponsel ke dalam sumur diikuti teriakan Nurani terkejut. Mungkin dia menyanyangkan ponsel itu, gegas aku menutupnya dengan sempurna.

***

Siang ini polisi mendatangiku meminta penjelasan tentang meninggalnya Kardi dan menghilangnya Nuraini. Lelaki buta itu meninggal dengan tidak wajar setelah makan siang. Dari mulutnya mengeluarkan buih dan baru kemarin ditemukan oleh tetangganya. Kuserahkan ponsel milik Nuraini yang tertinggal di warung pada polisi, mungkin saja bisa menjadi petunjuk menemukan Nuraini.

Rencanaku berhasil sempurna. Polisi menemukan bukti kuat percakapannya dengan Aldo. Mereka merencanakan pembunuhan berencana pada Kardi dan aku.

Aku pun mengikhlaskan Aldo yang harus menghabiskan hidupnya di penjara karena pasal berlapis. Bukti kepemilikan narkoba di rumah dan tes urin positif menunjukan dirinya sebagai pemakai, serta percobaan pembunuhan berencana.

Nuraini, seharusnya kamu berterima kasih padaku, kamu tidak perlu menghabiskan sisa hidupmu seperti ayahnya Aryo. Aldo, itu balasan yang setimpal untukmu. Maafkan aku, kalian harus berpisah dan aku akan bahagia dengan uangku bersama Aryo.

 

Safira Ristanti Santosa, terlahir di Surakarta, 5 Februari, memiliki nama pena Renata Anisa Santosa. Ibu dua anak yang memiliki hobi memasak, membaca, dan menulis di sela mengelola usaha di bidang kuliner.  Pemilik motto “Hidup adalah kesempatan berkarya dan bermanfaat bagi banyak orang” memulai menulis tahun 2019 di grup kepenulisan Facebook.

 

Editor: Vianda Alshafaq

Leave a Reply