Malam Terakhir
Oleh : Dhilaziya
Kasak-kusuk pelbagai perkara yang menguarkan aroma busuk, menusuk dan merasuk hingga ke tulang rusuk, melenyapkan kantuk meski badan remuk bersibuk-sibuk. Bisik lirih gumam rendah bagai dengung lebah, menyusup dinding membagikan berita juga cerita, kebenaran pun dusta. Tak ada bedanya.
Di bawah tobong yang dipasang seluas halaman rumah, beberapa kelompok pria berbagai usia, terbentuk, tanpa direncana. Begitu saja, tergantung pada kesamaan pikiran yang tersumpal di kepala.
Paino dan Sarino, dua pria yang tampaknya paling penting malam itu, karena mereka yang paling sering dipanggil, diajak bicara, didengar bisikannya, dan yang paling kerap ditepuk bahunya, duduk bersama lima pria lain, di tengah gelanggang. Tepat di bawah lampu paling terang, di mana di samping lampu tegak diikatkan segenggam padi, kuning keeemasan, bulir-bulirnya gemuk dan padat.
Ketika seorang pemuda yang mengenakan kaos tanpa lengan—sehingga tampaklah tonjolan di antara bahu dan siku, bukti kerja keras yang dilakoni setiap hari sebagai peternak kuda—keluar dari dalam rumah dengan nampan kayu berisi belasan gelas berisi kopi—yang asapnya segera saja membuat hidung mengembang—mendekat dan menawarkan bawaannya, Paino menolak dengan lambaian tangan. Gerak dagunya mengawali suaranya.
“Nanti saja, yang itu dulu.”
Diky, si pemuda pembawa kopi patuh, segera saja langkahnya disambut oleh sekelompok anak muda yang duduk melingkari meja dengan banyak penganan. Mereka adalah pion yang siap menjalankan aba-aba dan amat mudah disenangkan oleh sesuatu seperti kopi, Wi-Fi, kudapan, isi tangki motor, dan sedikit uang balas budi. Gelora jiwa muda mereka, paling riuh pun mudah terpancing rusuh. Tapi mereka penting, atau merasa penting, sebagaimana semua orang di bawah tobong, yang dipasang di halaman rumah Pak Kasman.
Ketika sedang meniup-niup permukaan kopi, agar bisa diseruput tanpa membakar lidah, kelompok muda ini kompak dihentikan oleh suara Paino.
“Dua orang, ambil mobil. Pastikan jangan sampai keduluan. Minta sangu sama Lek Kamto. Masih dua stasiun lagi.”
“Siapa?”
Hendro, lulus SMU dua tahun lalu, memilih menjadi penjaga kios bensin daripada merantau ke kota, bertanya sambil menepuk-nepuk pantat lantas merapikan kerah kemeja.
“Rombongane Mardi.”
Tak seorang pun peduli pada lengking azan yang diteriakkan susah payah oleh seorang laki-laki tua. Sesekali suaranya tak sampai, dengus napasnya yang tercekat lebih kentara ketimbang panggilan suci yang dipekikkan. Isya, bagi mereka bukan apa-apa.
Perhatian semua orang teralih pada kedatangan lelaki dengan sarung yang diikatkan di pinggang memperlihatkan celananya yang sebatas betis. Dia langsung mendekati Paino. Membungkuk dan berbisik, dengan suara yang tidak terlalu pelan.
“Pihak sana menaikkan sangu. Lima ratus.”
“Yang sudah terima?”
Paino menganggukkan kepala setelah mendengarkan beberapa nama yang dibisikkan kepadanya.
Pertarungan hampir mencapai akhir. Wajar jika semua hal mesti ditempuh, segala cara menjadi layak dan setiap perkara halal tampaknya. Telah terlalu banyak yang dipertaruhkan, dikorbankan, meski bukan tak terprediksi, tapi tetap tak sedikit yang di luar ekspetasi. Semua menginginkan hal yang sama. Menang.
Udara di malam kemarau yang semestinya beku, tak berlaku. Hawa panas menguar dari setiap pancaran mata, gerak bibir juga olah tubuh. Ditingkahi kepul asap rokok juga dupa.
Seorang lelaki tak muda, dengan tampilan yang diupayakan semisterius mungkin, serba hitam, wajah datar nir rasa, sorot mata tajam dan bibir pelit kata, agar terkesan sakti dan digdaya sehingga setiap sabda adalah perintah, tak terbantah. Dialah penyulut tungku dupa, penjaga juga pembaca liukan asap, pengendus baunya yang selanjutnya disebut sebagai isyarat. Sebuah kemantapan yang dibuat-buat, yang jika hati dibiarkan bicara, semua mengerti, segalanya fatamorgana. Tetapi nafsu membungkus setiap tipu daya, melenakan. Mbah Doyo, pria tak muda itu, dengan segala sesajinya, khusyuk tak bergeming di sudut. Gelap, sepi, sendiri.
Denting ponsel Paino, membuatnya menoleh ke arah Mbah Doyo. Lalu sebuah anggukan tegas dari Mbah Doyo diterima sebagai aba-aba. Sebab Paino berdiri, melambaikan tangan kepada kumpulannya dan semuanya beranjak masuk ke dalam rumah.
Di dalam sebuah kamar, seorang lelaki yang disapa Lek Kamto, masih merapikan amplop-amplop, merekatkannya setelah sebelumnya memastikan kembali isinya. Ketujuh orang termasuk Paino, mengambil setiap tumpuk amplop berikut secarik daftar nama. Mereka-mereka yang harus didatangi malam ini, diketuk pintunya satu demi satu, pelan, rahasia, meski bukan tanpa diketahui. Sebab kedatangan Paino dan sejawatnya sebenarnya telah dinanti, diam dan seolah tak tak diingini. Padahal diharap setengah mati.
Tepat pukul sebelaa malam, Paino diikuti yang lain membungkuk mendekatkan diri ke tungku dupa, menggerakkan tangan seolah membasuh kepala dengan asap sesaji, meminta restu Mbah Doyo lantas beranjak. Keluar dari tobong lewat berbagai arah yang ditudingkan Mbah Doyo, menembus kegelapan. Siap bertarung menantang segala yang mungkin menghadang. Ini peperangan.
Suasana waspada terbangun tiba-tiba, samar tapi terasa. Mereka yang tinggal di tobong, tak berkurang jumlahnya, sebab kian malam kian banyak yang datang, sendiri atau berkawan, memencar. Mengitari tobong dengan arah duduk menghadap luar, nyalang memindai setiap pergerakan. Sekali lagi, ini adalah sebuah pertempuran.
Dari arah belakang, tak terlihat asal kedatangan, seorang lelaki muda, dengan penampilan tak sederhana, duduk menyebelahi Mbah Doyo. Sejenak matanya mengitari arena tobong, melekatkan pandang pada setiap yang ada. Kemudian lama menatap foto dirinya yang banyak dipasang di sekeliling tembok rumah, dipakukan pada setiap sisi tobong, nyata terpampang di baliho besar di sudut halaman. Fotonya yang berlogo angka satu dan bersebelahan dengan gambar segenggam padi. Dia berharap banyak yang mencoblos gambarnya esok hari (*).
#DZ. 02032022
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata