Di atas padang rumput, tubuhku yang terbalut baju warna putih terbaring lemah memandang langit. Meskipun kabut putih tipis memenuhi, masih kulihat matahari menyapa dengan malu. Entah sudah berapa lama aku di sini, sendiri menikmati keheningan. Aku menyukainya, sekalipun di sini seperti dunia yang terhenti begitu lama. Perasaan nyaman apa ini? Untuk pertama kalinya aku tidak takut sendiri dalam keheningan.
Sesekali aku mencium aroma kesukaanku, bunga mawar. Tapi tidak peduli berkali-kali mencarinya, aku tetap tidak bisa menemukan di mana aroma itu berasal. Sedang di sini sepanjang mata memandang hanya ada rumput, langit berwarna pucat dan matahari yang tidak pernah beranjak dari tempatnya.
Ketika mataku terpejam, ada rasa perih yang begitu kuat menyerang hatiku. Entah apa sebenarnya yang terjadi padaku. Bagaimana aku bisa terjebak di tempat yang tidak kukenal. Apa aku sudah meninggal? Tidak, itu tidak mungkin, aku masih mengingat dengan jelas terahir kali berdiri di depan rumah Dongwoon membawa buah kesukaannya yang kubeli langsung dari petani di tempat aku menghabiskan waktu pelarian.
“Year … kenapa kau ada di sini? Ini bukan tempatmu Yera, kumohon kembalilah.”
Aku terperanjat setelah sekian lama akhirnya mendengar suara yang sangat aku kenal. Itu Dongwoon, tapi di mana dia? Kenapa aku tidak menemukan sosoknya? Ini semakin membuatku gila, kerongkonganku seolah terkunci, aku tidak bisa mengeluarkan suara sedikit pun. Tapi kenapa suaranya terdengar menyakitkan hingga membuat air mata keluar dari kedua ujung mataku. Sedetik kemudian perasaan takut menyelimuti hatiku. Kupeluk tubuhku dengan erat dan tanpa alasan aku menangis tersedu-sedu. Tuhan, ada apa dengan diriku?
***
Suara seseorang yang kuyakin itu Ibu tengah sibuk di dapur, mengusik pendengaranku. Perlahan rasa hangat menyapa permukaan mata, memaksaku untuk membuka mata. Yang kulihat tak lagi langit berwarna pucat, melainkan langit-langit kamarku. Berkali-kali aku mengerjapkan kedua mata untuk memastikan apa yang kulihat tidak salah. Benar, ini kamarku.
Bola mataku menyapu seluruh penjuru kamar. Tidak ada yang berubah, harta berhargaku masih tertata rapi di dalam lemari. Seragam kantorku juga masih tergantung di samping lemari. Bahkan foto masa kecilku bersama Dongwoon masih ada, semua barangku tidak bergerak sedikitpun dari tempatnya, hanya saja semua terlihat lebih bersih dan rapi. Yang aku herankan ada dua tangkai bunga mawar segar diletakkan di dalam vas kaca di atas nakas sebelah kiri tempat tidur. Aku memang menyukai aroma mawar, tapi ini pertama kalinya ada bunga hidup di dalamkamar, biasanya aku hanya memakai pengharum ruangan untuk menikmati aroma mawar di dalam kamar. Apa Ibu membersihkan kamar selagi aku tertidur? Tapi untuk apa ada bunga mawar juga? Ah … mungkin Ibu ingin aku menikmati suasana yang berbeda.
Prang!
Suara barang pecah memecahkan lamunanku yang tengah melihat bunga mawar. Nampan yang berisi piring dan gelas, terjatuh dari genggaman Ibu.
“Subhanallah … kau akhirnya bangun, Nak?”
Ibu segera menyerbu ke pelukanku dengan tangisan yang membuatku bingung. Sebegitu bahagianya ibu melihatku bangun tidur? Apa ada yang salah dengan kesehatan Ibu? Selagi pikiranku berkecamuk dan Ibu masih memelukku dengan erat, mataku menangkap jarum infus menancap di tangan sebelah kanan. Apa yang sebenarnya terjadi?
“Dongwoon di mana, Bu?” pertanyaan yang terlontar begitu saja dari mulutku.
“Em … Dongwoon? Kau tahu ini jam berapa? Dia pasti sudah berangkat kerja?” sahut Ibu menyeka air matanya.
“Aku harus kerja juga, Bu, di mana handphone-ku? Aishh … kenapa aku begitu pelupa,” ucapku panik mencari benda persegi empat yang biasanya aku taruh di atas nakas.
“Yera…,” ucap ibu melihat mataku begitu dalam untuk beberapa saat.
“Ibu akan menghubungi dokter, sampai dokter tiba, Ibu mohon padamu jangan bertanya apa pun pada Ibu,” lanjut Ibu setelah mengatur napasnya setenang mungkin.
Baiklah, aku akan menuruti Ibu meskipun banyak pertanyaan yang hampir meledakkan isi kepalaku. Selama seumur hidupku hanya dua kali Ibu menatapku seperti tadi, saat mengatakan kebenaran Ayah yang telah meninggal dan beberapa saat yang lalu.
***
Jam sudah menunjuk ke angka satu malam. Aku masih duduk mematung di atas kasur. Kedua mataku terasa perih namun tidak bisa aku pejamkan. Kamar kubiarkan gelap, agar Ibu mengira aku tidur.
“Ibu rasa, Ibu harus mengatakannya sekarang. Ibu tidak mau kau mendengarnya dari orang lain. Kau tahu kan, Nak, hanya Yera yang Ibu punya di dunia ini. Untuk itu kuatkan hatimu dan jangan pernah menyalahkan ataupun menyakiti dirimu sendiri … Tuhan lebih menyayangi Dongwoon dan tidak mau melihat Dongwoon menderita lebih lama lagi.”
Perkataan Ibu tadi pagi masih mengiang jelas di kepala membuatku mematung tanpa tahu bagaimana rasanya menangis sampai detik ini. Leukimia? Dua tahun? Dongwoon menderita selama dua tahun tanpa aku ketahui. Bagaimana bisa aku sahabatnya yang mulai dari kecil tidak pernah terpisahkan, bisa tidak menyadari penderitaan Dongwoon.
Iya, Dongwoon pernah pingsan satu kali, itu tepat seminggu setelah pernikahanku gagal. Tapi Dongwoon mengatakan itu hanya kelelahan. Dengan bodohnya aku percaya begitu saja, padahal sebelumnya dia tidak pernah pingsan bahkan ketika seharian menemaniku menangis saat tahu orang yang aku cintai membatalkan pernikahan dan menghilang begitu saja. Karena keegoisanku yang masih tenggelam dalam kesedihan selama 2 tahun, Dongwoon harus merahasiakan penyakitnya dariku.
Mengenakan coat warna abu, aku keluar dari rumah menyusuri jalan yang selalu aku lalui bersama Dongwoon. Aku masih merasakan kehadiran Dongwoon di belakang mengikutiku. Langkahku berakhir di sebuah bangku di taman dekat rumah. Perlahan kuraba permukaan bangku yang terbuat dari kayu tepat di tempat Dongwoon duduk biasanya. Rahangku masih mengeras tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Sedangkan kepalaku masih belum bisa atau tidak akan pernah bisa mencerna semua yang terjadi.
“Yera….”
Kepalaku berpaling ke arah sumber suara yang memanggil namaku. Seorang pria berdiri tak jauh dari tempat dudukku saat ini. Mataku nanar melihat sosok yang menghilang 2 tahun lalu. Pria yang membuatku bersedih selama 2 tahun hingga menjadikanku sahabat paling jahat di dunia. Tiba tiba emosi yang kutahan sejak pagi membuncah begitu saja, mataku dipenuhi air hingga tanpa kusadari aku menangis tersedu sedu.
***
“Aku ingin segera menjadi dewasa, karna aku akan menjadi ayah yang selalu melindungimu,” ucap Dongwoon yang berumur 6 tahun, ketika aku menanyakan cita-citanya. Aku selalu menangis setiap melihat semua temanku memiliki ayah. Namun cita cita Dongwoon membuatku tidak pernah menangis iri lagi. Bahkan terkadang aku memanggilnya “Ayah” setiap kali membutuhkan kehadiran ayah.
“Year … kau berdoa saja, pria gila itu tidak bertemu denganku lagi, atau aku akan benar-benar membuatnya tidak ada di dunia ini,” ucap Dongwoon menahan amarah sambil memelukku yang menangisi kepergian Kak Juni, pria yang harusnya menjadi mempelai priaku.
Kini semua tinggal kenangan, sahabat yang berjanji akan selalu melindungku sudah berada di dimensi yang berbeda denganku. Dongwoon lebih dulu meninggalkan dunia ini, menyisakan aku yang masih terselimuti rasa bersalah.
Hari itu, setelah menghabiskan seminggu cuti dalam rangka melarikan diri dari kabar bahwa Kak Jun kembali ke Indonesia, aku membawa satu kantong penuh buah naga, buah kesukaan Dongwoon. Langkahku terhenti tepat di depan rumah Dongwoon yang saat itu sangat ramai kedatangan tamu. Di antara semua orang, mataku menangkap sosok seorang pria paruh baya keturunan Korea yang tak lain adalah ayah Dongwoon, tengah menangis tersedu-sedu memeluk ibu Dongwoon. Semua bawaan yang aku bawa terlepas begitu saja dari genggamanku. Perlahan langkah kakiku melangkah menjauh. Sekalipun kepalaku berteriak tidak ada hal buruk yang terjadi, namun perasaanku mengatakan sebaliknya. Perasaan penuh ketakutan itu akhirnya berahir ketika kurasakan sesuatu menabrak tubuhku cukup keras dan duniaku menjadi gelap secara tiba-tiba. Aku mengalami kecelakaan, sebuah mobil sport dengan kecepatan tinggi menabrakku.
Setelah bangun dari koma, setiap satu minggu sekali aku harus pergi ke rumah sakit untuk menerima pemeriksaan rutin. Seperti hari ini, setelah pulang dari rumah sakit, aku pergi ke pemakaman Dongwoon membawa satu buket bunga mawar.
“Dongwoon, aku datang. Bagaimana kabarmu hari ini? Aku? Aku tadi ke rumah sakit, dokter bilang minggu depan aku tidak perlu ke rumah sakit lagi karena lukaku sudah sembuh. Ah, iya, jangan khawatirkan tentang Kak Juni, aku tidak akan kembali ke pria itu. Aku dengar kau mendatanginya, terima kasih sudah menghajarnya untukku. Dia sudah meminta maaf padaku dan ibu. Terima kasih Dongwoon kau sudah melindungiku hingga akhir hidupmu.”(*)
Debby, hobi membaca membuatnya bercita cita menjadi penulis dengan cerita penuh inspirasi positif.
Facebook: Debby (Kiwoobie), IG : Debby_kiwoobie.
Cerpen ini terpilih sebagai nominator pada KCLK (Kompetisi Cerpen Loker Kita) untuk minggu ke-4 Februari.
Selebihnya tentang KCLK, mari bergabung ke grup kami:
Grup FB KCLK
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan