Oleh : Zuyaa
Identitas Buku
Judul : Samudra Cinta Aninda
Penulis : Lutfi Rosidah
Penerbit : RNA
ISBN : 978-602-429-543-1
Tebal : 212 halaman
Cetakan : Pertama (Mei 2021)
Novel ini bercerita tentang perempuan bernama Aninda dalam perjuangan hidupnya membangun persahabatan, menjalin cinta, dan menemukan kedewasaan.
Seperti perempuan muda pada umumnya, saat remaja dia mulai mengenal rasa cinta. Dia tahu, ada sesuatu yang tak beres di hatinya saat mengenal dan berbicara lebih lanjut dengan Sam, guru di sekolahnya.
Apakah itu cinta? Ninda tak berani berpikir demikian. Dia pun yakin Sam hanya menganggapnya sebagai adik. Sekuat tenaga Ninda mengingkari rasa itu dengan cara menjalin cinta dengan seorang lelaki, dan ternyata hubungan itu berakhir tak baik.
Hari, bulan, hingga tahun berganti, nyatanya Sam masih saja menjadi orang yang spesial di hati Ninda. Tapi perempuan itu cukup tahu diri untuk tak berharap. Siapa dia? Sementara Sam adalah lelaki yang diidamkan banyak wanita.
Hingga satu waktu, lelaki itu datang kembali dan menyatakan cintanya. Ninda tentu saja senang. Tapi ada berbagai macam lika-liku yang mereka lewati. Selain harus menjalani LDR, ditambah lagi perbedaan umur yang cukup jauh, sehingga Ninda harus belajar untuk dewasa dan mampu memaknai hubungannya dengan lebih bijaksana.
***
Kita bahas dari bagian fisik buku ini dulu. Sejak awal memegangnya, aku merasa buku ini tuh unik. Dari segi ukuran berbeda dengan koleksi bukuku yang lain. Dapat kurasakan juga dia lebih kokoh dari yang lain. Karena itu, aku lebih dulu membuka segel buku ini.
Cover-nya manis. Jelas sekali semuanya diperhitungkan dengan baik. Lihat saja, bagaimana pakaian si Ninda dalam cover itu. Benar-benar menggambarkan keseharian sosok perempuan muda yang menjadi tokoh utama di dalam cerita ini. Dan penggunaan latar pantai dengan dominan warna biru, aku artikan sebagai bagian dari samudera. Kalau disentuh cover-nya lembut. Kebetulan aku itu pecinta cover doff.
Layout-nya cakep. Ukuran tulisannya pas. Di halaman preliminer tertulis ukuran buku 14×20 cm. Tapi aku sampai ngecek dan membandingkan dengan buku lain, benar saja novel Kak Lutfi ini lebih lebar ukurannya.
***
Novel ini menggunakan POV 1 dari sudut pandang Aninda sebagai tokoh utama. Saat awal membaca, aku paham bahwa Ninda adalah seorang anak sekolah. Dan aku mulai mencoba lebih jeli untuk menemukan apakah si penulis akan khilaf dalam menulisnya. Maksudku, banyak penulis yang menuliskan karakter tokoh yang melewati beberapa fase kehidupan seperti Aninda, cenderung tidak ada perubahan dalam bersikap. Sering juga, tokoh remaja yang digambarkan terlalu dewasa. Nah, kalau di novel ini tuh pas. Karakter Ninda yang dimulai dari anak SMP yang ramai dan suka bercanda, perlahan mulai berubah di masa SMA. Tetap asyik, tapi cenderung lebih serius.
Semakin diikuti novel ini, semakin diperlihatkan kepada kita betapa hebatnya waktu dalam mengubah seseorang. Ninda yang awalnya penuh dengan keegoisan, di akhir berubah menjadi pribadi yang lebih bijaksana. Pada bagian awal Ninda dengan mudahnya menjalin hubungan dengan lelaki lain padahal hatinya jelas tak menerima, lalu pada momen yang berikutnya dia bertemu Aldo. Sejalan dengan kalimat “pengalaman memberi kebijaksanaan” Ninda pun menjadi orang yang lebih berhati-hati. Hingga ia tahu, untuk apa membangun hubungan dengan seseorang kalau hatimu masih terpaut dengan yang lain. Terdengar aneh? Aku tipe orang yang memegang ini, loh.
“Oh, pantas jomlo, pasti karena susah move on.”
Aih, asal bicara nih. Serius, yuk. Next.
Aku suka cara penulis menguraikan kisah di novel ini. Cara bertuturnya dinamis dan manis. Nanti ajarin aku ya, untuk menulis dinamis seperti ini, oke? Sambung lagi ….
Diksi di novel ini sederhana, tapi karena diramu dengan pas sehingga meninggalkan kesan yang mendalam. Konflik di dalam cerita ini memang tidak berat. Lebih banyak mengisahkan konflik batin seorang Ninda dan Sam. Tak seperti sinetron yang perlu adegan tabrakan, amnesia, atau yang lainnya. Cerita ini jauh lebih sederhana. Tapi karena cara bercerita yang asyik, penuh dengan showing, dan narasi yang membuat hati terasa dicampur aduk (antara senang, sedih, haru, marah) akhirnya aku tidak mau berhenti membacanya.
Jujur, aku sampai merasa kalau prahara batin Ninda itu nyata. Aku bisa tertawa terbahak-bahak, tapi satu waktu aku menangis kencang. Aku ingat saat Ninda mulai tak berani berharap dan berusaha memutuskan semua kontak dengan Sam. Di pertemuannya dengan Sam dan Zita, aku merasa seperti ada di sana. Aku menjadi si tokoh. Dan aku merasakan bagaimana sakit hatinya Ninda dalam melepas pujaan hati sementara dia juga tak tahu apakah lelaki itu punya perasaan yang sama padanya. Aku menangis saat Sam memegang tangan Ninda dan itu membuatnya semakin kalut. Sampai di bagian Ninda berujar di dalam hati, andai saja dia bisa menghentikan bis lalu berlari dan memeluk lelaki itu. Andai. Ya Allah, hamba baper. Baper parah. Tolong! Si penulis memang ahli dalam mengaduk emosi pembaca. Bravo!
Penokohan di novel ini kuat. Semua hal yang berkenaan dengan karakter tokoh tergambar jelas pada gerakan, mimik, dialog, cara mereka berpikir dan merespon. Semuanya juga natural. Bukankah tokoh yang bagus memang seperti itu? Ada sisi jelek dan buruknya.
Selesai sampai sini review-nya? Sabar. Masih ada lagi.
Aku suka dengan cara penulis dalam menyampaikan beberapa pelajaran dan pesan di dalamnya. Entah dari dialog antar tokoh. Aku sampai melipat halaman di beberapa dialog yang memang aku suka. Dan di novel ini kita juga selaku pembaca diajak untuk menarik benang merah sebuah pesan yang tersirat di dalamnya. Aku suka yang seperti ini. Tidak menggurui sehingga pembaca menjadi enek.
Pas baca halaman 41, di situ ada membahas kajian Fiqih Uqudulijain tentang hak dan kewajiban suami istri. Aku manggut-manggut pas baca itu. Bisa jadi pelajaran untuk nanti saat berumah tangga.
Hampir saja lupa. Ada satu hal yang buat aku tertawa, bisa-bisanya si penulis menyisipkan kritik terhadap lingkungan (aku lupa di halaman berapa). Itu adalah momen saat penulis mengkritik kelakuan anak-anak yang hobi balapan, mengendarai sepeda motor secara ugal-ugalan. Sementara ada Ninda dan teman-temannya yang harus capek-capek berjalan kaki demi bisa menuntut ilmu. Manusia yang tidak mensyukuri nikmat dengan cara yang benar. Ah, sampai sekarang masih banyak juga kan manusia yang demikian. Aih!
Penulis pintar juga menyisipkan bagian bagian budaya dan lingkungan tempat dia tinggal. Aku yang orang asli Borneo, seperti belajar kebudayaan orang sana. Begini nih kalau nulis. Gak cuma menjual konflik, tetapi juga ilmu.
Sekarang kita bahas Pak Sam, yuk. Ninda mulu dari tadi yang dibahas. Kan gak adil.
Samudra. Panggil saja Sam. Sejak awal dia digambarkan sebagai lelaki yang tampan, baik hati, rajin, dan gampang diajak bicara. Banyak sekali dialog dan cara dia bertindak yang buat aku kesemsem sendiri. Baper lagi, kan. Tolong, dong, satu pak guru seperti ini bisa kan jadi partner-ku? Partner hidup maksudnya. Begini nih kalau udah baper sama tokoh novel sampai ke dalam hati, bahkan tembus ke tulang. Dalam benakku, Pak Sam ini visualnya adalah Siddarth Malholtra (cek sana di google). Perpaduan wajah manis, badan tinggi, dan juga sorot mata yang teduh. Lalu siapa visual Ninda? Aku, dong! Netizen dilarang marah, apalagi sampai bikin kerusuhan.
***
Tidak adil bahas kelebihannya aja. Bahas kekurangannya juga, ya?
Banyak typo. Aku cukup banyak menandai dengan melipat halaman buku.
Apa lagi >> apalagi (ini ada di beberapa halaman)
Maghnet >> magnet (halaman 3)
Braarsitektur >> berarsitektur (halaman 39)
Dan yang lainnya.
Penulisan kekerabatan seperti bunda, ayah, dan kakak, juga banyak salah.
Ada beberapa kata yang sebenarnya aku tidak mempermasalahkan ini sejak dulu. Seperti kata sholat, dzuhur, maghrib, dll. Menurutku sah saja untuk belok sedikit dari KBBI. Tapi, akan lebih baik kalau konsisten.
Ada satu hal yang buat aku sampai membolak-balik beberapa halaman sampai berkali-kali.
Di bab “Dering Telepon dan Sebuah Surat” di situ dapat kutarik kesimpulan kalau Sam menghubungi Ninda tepat di malam setelah mereka bertemu, saat Zita minta ikut ke Malang. Sam mengajak Ninda untuk bertemu lagi pada hari sabtu di depan Bioskop Mutiara. Tapi di bab “Jumpa Pertama” dikatakan bahwa Ninda penasaran dengan wajah Sam karena sudah setahun tidak bertemu.
***
Aku tutup review kali ini dengan salah satu kalimat di novel ini. Lihat halaman 112.
“Ada kalanya kita tak menemukan satu pun kata yang mampu menggambarkan rasa di dada. Ketika waktu itu datang, berhentilah berfikir, cukup rasakan getaran hatimu yang sedang bersenandika.”
Sampai sini dulu. Salam sayang dari Tanah Borneo.
***
Barabai, 15 Februari 2022
Zuyaa, wanita yang gemar membaca dan sibuk membenahi tulisannya.
Editor : Rinanda Tesniana