Momo dan Monster Malam
Oleh: N. Insyirah
Namanya Momo. Dia kucing manis dengan bulu tebal berwarna putih. Jika lapar, dia sering datang ke rumahku, mengeong sambil menggoyang-goyangkan ekornya ke kiri dan ke kanan secara perlahan dan mata birunya menatap tepat kedua bola mataku. Jika sudah begitu, aku akan berlari menghampiri meja makan, membuka tutup saji dan memeriksa ada makanan apa saja di dalamnya. Momo tak pilih-pilih makanan. Dia akan melahap potongan daging semur, ayam goreng, ikan asin, sampai tempe atau tahu goreng sekalipun. Dia juga tak menolak jika diberi pare. Dia yang membantuku menghabiskan sayuran pahit itu jika Mama menyiapkannya dalam menu dan aku wajib menghabiskan jatah makanku.
Namun, sudah tiga hari ini Momo tak lagi tampak batang hidungnya. Aku sendiri tidak tahu kucing gemuk itu tinggal di mana dan siapa majikannya. Dia hanya datang jika sudah waktunya makan dan pulang setelah kenyang dan rebahan sebentar di teras di samping pot bunga mawar Mama. Di tempat itulah biasa aku bertukar cerita dengannya, meski sebetulnya aku tak paham apa yang Momo ceritakan, semua ceritanya berisi, “Meong, meong, meooong,” dan aku akan menyahutinya juga dengan, “Meong, meong, meooong.” Tentu aku sendiri juga tak paham apa yang aku ucapkan, semua hanya agar Momo merasa senang. Siapa tahu, sama sepertiku, Momo akan mengarang sendiri jawaban yang kuberikan. Aku sering mengarang arti dari meong-meong Momo dengan, “Kamu gadis yang baik,” lalu kujawab, “Makasih.” Atau mengartikannya menjadi, “Apa kamu mau jalan-jalan?” lalu kujawab, “Nggak usah. Kamu makan aja, terus lanjut tidur siang. Kata Mama, tidur siang bagus untuk pertumbuhan,” dan Momo akan menjawab, “Meong (oke).”
Selama ini, selain Mama, hanya Momo teman yang bisa aku ajak bercerita. Itu bukan karena aku tak punya teman, melainkan karena teman-teman selalu bertukar cerita tentang baju-baju yang baru mereka beli, koleksi aksesoris atau mainan yang bertambah setiap bulan, sampai perjalanan liburan, baik ke rumah kakek-nenek, ke luar kota, sampai ke luar negeri. Tak satu pun dari mereka yang bercerita tentang monster. Jika ada, itu hanya Ardi, bocah bandel yang hobi mengganggu anak-anak perempuan, entah menarik rambutnya, mengangkat roknya, dan seringnya mengarang-ngarang cerita soal monster sehingga anak-anak di kelasku sudah tidak takut lagi dengan cerita monster seseram apa pun. Mereka bilang, monster itu tidak ada di dunia nyata dan orang dewasa biasanya menceritakan soal monster hanya untuk menakut-nakuti anak-anak.
Sayangnya, aku tidak setuju dengan pernyataan itu, tapi aku tak berani mengatakannya. Kadang-kadang, saat malam rumahku didatangi monster, ditandai dengan bunyi debam pintu depan, disusul raungan yang diselingi bunyi prang, buk, brak, juga plak. Di saat itulah aku akan merunduk masuk ke kolong ranjang, menutup telinga dan memejamkan mata seperti saran Mama. Pintu harus dikunci, dan aku selalu melakukannya jika tak ingin monster masuk dan menemukanku lalu menerkamku.
Namun, malam ini aku lupa mengunci pintu kamar sebelum tidur. Kupikir karena malam sebelumnya monster itu sudah datang, dia tidak akan datang keesokan harinya. Tak pernah terjadi monster itu datang setiap malam atau dua malam berturut-turut ke rumahku. Aku ingat Namira, teman sekelasku. Dia pernah bilang, “Kata mamaku, anak kecil harus dengar dan patuh sama nasihat orangtua kalau gak mau kena sial.” Dan sekarang aku lupa mengikuti nasihat Mama untuk mengunci pintu kamar, karenanyalah aku kena sial. Seperti bulan lalu ketika aku lupa mengunci pintu, monster itu masuk ke kamarku, menemukanku, lalu menyeretku ke luar dari kolong ranjang. Aku hanya bisa menangis, memohon ampun agar tak dimakan, tapi monster itu seperti tak mendengar. Dia memukuli, menendang, dan menjambak rambutku berkali-kali, juga mendorong dan memukul Mama setiap kali Mama berusaha menghalangi.
Aku masih memejamkan mata dan menutup telinga rapat-rapat. “Ampun, ampun, ampun,” ulangku berkali-kali. Entah ampun untuk apa. Mama bilang, orang yang salah harus memohon maaf atau ampunan. Aku tak tahu apa salahku kepada monster itu. Mungkin aku pernah melakukan kesalahan tanpa sengaja sehingga monster itu marah. Bisa jadi aku tanpa sengaja menginjak kuburannya ketika berlari pulang melewati kuburan saking takutnya dikejar-kejar anjing yang ditimpuk Ardi pakai batu sebesar ibu jari. Atau aku pernah tak sengaja memetik daun dari pohon yang dihuni monster itu saat main masak-masakan dengan teman-teman. Aku tidak tahu yang mana. Tapi yang aku tahu, monster bukan makhluk yang baik sehingga dia tak mau mengampuni seseorang yang bersalah sekalipun orang itu sudah meminta ampun kepadanya. Dia terus meraung, memukul, menendang, menginjak, bahkan menjedotkan kepalaku ke meja.
“Mati kau! Mati anak pembawa sial!” teriaknya.
“Dari dulu sudah kusuruh kamu menggugurkannya. Anak ini bawa sial! Sejak dia lahir hidup kita jadi makin melarat!” lanjut monster itu.
Aku terus menutup telinga dan memejamkan. Tak peduli jika kepalaku sakit, badanku terasa remuk, dan ada yang mengalir dari dahiku. Aku sudah melanggar nasihat Mama untuk mengunci pintu, jadi aku tak mau makin sial dengan melarang perintah Mama dengan membuka mata juga telingaku.
“Sudah, Mas, dia bisa mati,” pinta Mama disusul suara tarikan ingusnya.
“Memang itu mauku!” sahut monster itu.
Kemudian, tidak tahu sudah berapa lama, mungkin karena lelah monster itu pergi meninggalkan kamarku, dan seperti biasa menciptakan bunyi debam pintu yang amat keras sebagai tanda kepergiannya. Lalu Mama membawaku ke dalam dekapannya, mengusap rambutku sambil mengatakan, “Kamu aman, kamu aman sekarang, Sayang.”
***
Malam makin menghitam. Di langit tak ada bulan ataupun bintang. Aku berdiri di depan bingkai jendela, menatap Momo yang tiba-tiba datang mengeong di depan kamarku, di genteng rumah tetangga.
“Meong, meong, meooong,” katanya. Momo baru saja bilang, lama nggak ketemu, mau jalan-jalan?
Aku mengangguk. Sejak tadi aku tidak bisa tidur. Meski Mama menyuruhku untuk tidur setelah mengobati luka-luka di tubuhku, aku tetap tak bisa tidur. Aku takut ada bunyi debam pintu depan, disusul raungan yang diselingi bunyi prang, buk, brak, juga plak, lalu debam itu muncul dari pintu kamarku yang sudah kukunci. Aku mau jalan-jalan saja, dengan Momo. Biar jika monster itu datang, dia tak akan bisa menemukanku karena aku sedang ke luar.
“Meong.” Ayo, kata Momo.
Aku membuka daun jendela, memanjat bingkainya, lalu melangkah ke luar. Melompat dari lantai empat rusun ini. Terbang bersama Momo.
Aku tertawa. Baru tahu bahwa aku bisa terbang. Bahwa kucing juga bisa terbang. []
Di Sudut Ruang, Dalam Remang, 08 Desember 2021
N. Insyirah, akrab disapa Aira.
Editor: Imas Hanifah N
Gambar: Pixabay