Malam Minggu
Oleh : Puji Lestari
Malam Minggu, para muda mudi berpesta pora menikmati malam panjang. Ya, malam itu yang selalu ditunggu oleh segenap sejoli untuk memadu kasih. Malam itu juga yang ditunggu oleh sekumpulan remaja, menghiasi jalanan di malam gulita dengan mengadu kecepatan motornya.
Aku pun salah satu dari ribuan muda mudi itu. Aku dan kekasihku sedang menikmati malam minggu yang indah. Saat ini, kami berada di atas motor, berkeliling kota. Aku sengaja memacu kendaraan dengan pelan. Tangan kananku memegang setang, sedangkan tangan kiri mengelus tangan kekasihku yang melingkar di perut.
Gemerlap lampu jalanan dan pepohonan yang rindang seakan bersorak melihat kemesraan kami. Betapa indahnya malam yang akan kulewati ini.
“Yank, dingin.” Suara manja kekasihku terdengar begitu menggoda.
“Peluk lebih erat lagi, Sayang,” pintaku.
Kekasihku pun semakin mendekatkan tubuhnya, pelukannya semakin mengerat. Kurasakan kepalanya bersandar di bahuku. Ah, aku semakin tergoda dengan wangi sampo yang menguar dari rambutnya yang terurai tersapu angin.
Cuaca malam ini di Malang memang dingin. Namun, bagi sejoli yang sedang kasmaran seperti kami justru menjadi kesempatan yang bagus. Tanganku beralih mengelus rambutnya yang panjang.
“Sayang mau makan apa?” tanyaku dengan lembut.
“Terserah aja.”
“Sayang maunya apa?”
“Hmm … apa, ya? Terserah Sayang aja, deh.”
Aku terdiam sesaat. “Kita makan bakso, ya? Dingin-dingin gini yang berkuah-kuah cocok, tuh,” kataku memberi penawaran.
“Hmm … nggak mau, Yank, nanti aku gendut.”
“Walaupun gendut, tapi aku tetap sayang, kok.”
“Ah, Sayang ….” Kurasakan cubitan kecil di perut. Ah, perempuan selalu saja begitu kalau sedang menyembunyikan malu.
“Sayang, tahu nggak bedanya kamu dan bulan?”
“Enggak. Apa tu, Yank?”
“Kalau bulan bersinar menerangi malam, kalau kamu bersinar menerangi hatiku.”
“Gombal!” Lagi-lagi kurasakan cubitan itu di perut.
Kulirik dari kaca spion, wajahnya memerah. Lalu, dia menyembunyikan wajahnya di balik punggungku. Ah, menggemaskan sekali.
Angin berembus menerpa wajah, kutautkan jemari kami berdua sambil melajukan motor matic-ku perlahan membelah jalanan Kota Malang.
Alunan musik terdengar silih berganti dari toko-toko maupun kafe yang kami lewati. Malam yang sangat syahdu, selalu aku impikan bisa melewatinya dengan kekasih pujaan hati.
Tiba di lampu merah, aku menghentikan motorku. Tak lama, sejoli berhenti tepat di sebelahku. Aku melirik, sekilas memperhatikan mereka yang begitu mesra. Tertangkap dari ekor mataku, si perempuan mengelus-elus dada kekasihnya. Sebaliknya, si laki-laki mengelus paha kekasihnya.
Saat lampu menyala hijau, aku memacu motorku lebih dulu. Ternyata, sejoli itu memacu motornya lebih kencang mendahuluiku.
Melihat itu, muncul ideku. Boleh juga, jika aku memacu motor lebih kencang, pasti kekasihku memelukku semakin erat. Apalagi kuinjak rem secara tiba-tiba, dia akan kaget dan semakin mengeratkan pelukan. Ah, dasar pikiran kotor ini selalu saja mengganggu.
Tanpa berpikir panjang, kuputar gas untuk menambah kecepatan motor. Dan benar saja, kurasakan tubuhnya semakin mendekat dan pegangannya semakin kuat. Aku tersenyum, pasti sebentar lagi dia memelukku. Aku akan menggodanya dengan menginjak rem tiba-tiba.
Namun, entah kenapa kali ini tangannya terasa berbeda. Saat kuraba tangannya, tidak seperti tadi. Tangannya berubah kasar dan besar.
“Yank …,” panggilku. Tetapi, dia hanya membisu.
Ada apa dengan kekasihku? Apakah dia ketakutan?
Kuhentikan laju motorku dengan menginjak rem tiba-tiba. Lalu, cubitan keras terasa di perutku. Sangat sakit.
“Sakit, Yank. Kenapa mencubit keras sekali?”
“Yank, Yank, kepala peyang?”
Aku mendengar suaranya juga berubah, tidak lagi lembut seperti tadi.
Aku menoleh, dan terlihat Ibu sudah duduk di belakang jok motorku.
“Kenapa? Kau kira Ibu ini pacarmu? Makanya jangan kebanyakan nonton drama Korea.”
Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Ternyata halusinasiku begitu nyata.
“Cepat jalan! Nanti Ibu terlambat kondangan,” teriak Ibu sambil menepuk pundakku dengan keras.
Nasib, malam minggu indahku hanya sebatas mengantar Ibu pergi kondangan. [*]
Duri, 15 Januari 2022
Puji Lestari adalah seorang penulis pemula yang masih haus akan ilmu merangkai aksara.
Editor: Vianda Alshafaq