Monster di Palung Laut

Monster di Palung Laut

Monster di Palung Laut

Oleh: Isnani Tias

 

Suatu hari, beberapa anak penghuni di dalam laut akan bermain petak umpet. Mereka adalah Nemo, Guri, Lita, Imo, dan dua ikan kembar. Sebelum permainan dimulai, mereka menentukan satu teman sebagai sang pencari. Cara menentukannya dengan lomba mengeluarkan gelembung-gelembung dari mulut mereka. Gelembung yang paling sedikit, maka ia yang kalah dan harus menjadi sang pencari.

Perlombaan dimulai, keenam hewan laut berlomba-lomba sekuat tenaga mengeluarkan gelembung sebanyak-banyaknya. Akhirnya, telah diputuskan gelembung yang paling sedikit keluar adalah milik Imo. Ia yang akan menjadi sang pencari.

Ikan berbadan gemuk itu mulai menghitung. Semua pemain langsung berhamburan mencari tempat persembunyian yang aman dan tidak terlihat oleh sang pencari. Nemo bersembunyi dibalik rerumputan yang menjulang tinggi. Guri si gurita pun begitu, mencari tempat yang bisa menyembunyikan tubuhnya yang mempunyai enam kaki.

Usai menghitung sampai dua puluh, Imo mulai mencari teman-temannya tadi. Setiap batu maupun sela-sela rumput, ia periksa. Permainan semakin seru, ketika satu demi satu telah ditemukan olehnya. Setelah bosan bermain petak umpet, mereka mulai mengobrol banyak hal.

“Teman-teman, dengar-dengar di daerah palung laut ada monsternya, loh!” ujar Guri dengan nada dipelankan.

“Masa, sih! Kamu tahu dari mana?” Imo tidak percaya dengan perkataan Guri.

“Ah, kamu ketinggalan berita. Seluruh penghuni di laut ini tahu dan bahkan ada yang melihat sosok monster itu,” ujar Guri memperkuat ucapannya tadi.

“Begini saja, untuk membuktikan monster itu ada atau tidak, bagaimana kalau kita ke sana?” kata Nemo untuk mencegah terjadinya perdebatan antara Imo dengan Guri.

Usulan si ikan badut itu diterima oleh Guri dan Imo, sedangkan tiga teman lainnya tidak mau ikut. Mereka takut jika benar-benar ada monster di sana.

“Lebih baik kalian jangan ke sana. Jika ibu kalian mencari, kasian. Tempat itu kan, jauh.” Lita si ikan bertubuh kecil berekor biru itu mencoba menasehati teman-temannya.

Saran Lita tidak dihiraukan. Nemo, Guri dan Imo tetap akan pergi ke palung laut yang terletak di dasar laut. Mereka berenang menuju dasar laut dalam melewati beberapa batu karang, bunga karang yang mengeluarkan gelembung serta berbagai macam tumbuhan laut.

“Teman-teman kalau ada monster beneran, bagaimana?” tanya Imo tiba-tiba, yang membuat kedua temannya itu menghentikan berenangnya.

“Kalau kamu takut, lebih baik kembali saja. Mumpung ini masih separuh jalan,” saran Guri menatap si ikan gemuk yang di belakangnya.

“Tidak. Aku tak mau kembali sendirian,” pinta Imo sambil memandang ke atas yang sepi.

“Ya, sudah. Kita lanjut jalan lagi,” ujar Nemo yang memimpin di depan.

Nemo dan dua kawannya melanjutkan perjalanannya. Beberapa menit berlalu, akhirnya mereka hampir sampai setelah melewati bebatuan yang besarnya tidak sama.

Tanpa mereka sadari, ada yang mengikuti dari belakang. Ia bertubuh lebar, pipih, berukuran besar dan mempunyai tanduk. Hewan itu sudah lama membuntuti mereka, sejak berhenti di pertengahan perjalanan. Ia tidak sengaja melihat tiga anak itu ketika ingin mencari makanan. Akhirnya, ia menunda mencari makanannya, dan lebih memilih mengikuti mereka.

“Sepertinya di depan sana tempat palung laut. Lihat, di sana agak gelap,” ucap Guri sambil salah satu tangannya menunjuk ke depan.

“Iya, kita harus hati-hati,” ujar Nemo sambil tetap berenang mendekati daerah yang agak gelap.

“Nemo, Guri, itu di depan apa? Kelihatan seperti ada sesuatu bergerak tapi samar-samar terlihatnya,” kata Imo yang menajamkan penglihatannya.

Guri dan Nemo melebarkan kedua matanya untuk melihat ke depan. Apa benar ada sesuatu, seperti yang dikatakan Imo? Mereka perlahan mulai mendekat dan bayangan sesuatu itu mulai terlihat.

“Iya, apa itu?” Nemo langsung berhenti, diikuti Guri dan Imo. Akan tetapi, sesuatu itu mulai bergerak menuju tempat mereka.

“I-tuu … dia monsternya!”  teriak Imo sambil merapatkan diri. “Ayo, kita balik saja. Mumpung dia belum sampai sini.”

“Jangan kagetin begitu, tenang. Siapa tahu mereka ramah.” Nemo berusaha menenangkan si gendut.

“Lihat itu monsternya sudah mulai kelihatan, seram. Ayo, pergi sebelum kita jadi santapan mereka,” ucap Imo mulai ketakutan.

“Nah, monster di palung laut memang ada. Bukan berita bohong,” ujar Guri yang menyakinkan informasinya tadi itu benar.

Dua monster berwajah ganas tersebut sudah berada di depan mereka, jaraknya sekitar tujuh langkah anak kecil.

“Siapa kalian? Beraninya memasuki di daerah terlarang!” seru salah satu monster laut yang bertubuh besar dan panjang mirip dengan hiu.

“Mengapa kamu berbasa-basi kepada mereka. Lebih baik mereka menjadi makanan kita. Pasti lezat daging mereka,” ujar si monster satunya yang mempunya gigi tajam dan ada antena di atas kepalanya.

Mendengar perkataan si monster berantena itu, Nemo dan kedua kawannya merapatkan diri. Pandangan mereka tertuju pada ujung antena monster itu. Tubuh mereka pun mulai bergetar. Ketiganya berkeinginan untuk segera kabur, tetapi tubuh mereka tiba-tiba tidak mau bergerak.

“Nemo, bagaimana ini? Kenapa tubuh kita menjadi kaku begini?” Guri mulai merasa khawatir, kalau akan menjadi makanan dua monster seram itu.

“Entahlah, aku sendiri juga tidak tahu,” jawab Nemo yang masih menatap monster-monster itu, khususnya yang mempunyai antena.

“Kalau sudah masuk kemari, kalian tidak akan mudah keluar dari sini dengan selamat. Hahaha …,” gertak si monster berantena. “Ayo, kita jadikan mereka pengganjal perut.”

Wuuuss …!

Tiba-tiba ada yang datang dari arah belakang tiga hewan kecil itu, dengan kepakan sayap yang cepat membuat air yang tenang menjadi bergoyang. Ia langsung menghadang si monster berantena yang bergerak maju menuju mangsa-mangsa kecilnya itu, dengan tubuhnya yang lebar dan besar.

“Siapa kamu? Beraninya kamu menghalangi jalanku!” seru si tubuh serba hitam itu.

“Saya, Ray. Kebetulan lewat sini dan melihat ketiga hewan malang ini akan menjadi makanan monster sepertimu,” ucap Ray si ikan manta bertanduk dengan tenangnya.

Perkataan ikan manta tersebut membuat geram monster yang ada di hadapannya. Sebelum monster-monster itu menyerang, Ray menyadarkan Nemo dan kawan-kawannya dari hipnotis si monster berantena. Kemudian, ia menyuruh ketiganya untuk menempel ke punggung lebarnya. Setelah itu, secepat mungkin meninggalkan tempat berbahaya itu. Monster-monster itu marah dan mengejarnya. Ray berenang menuju tempat yang bercahaya. Tempat di mana para monster tidak menyukainya. Mereka lebih suka tempat yang redup atau gelap.

Setelah berhasil meloloskan diri, Ray mengantar pulang tiga hewan kecil tersebut. Di sana para orang tua mereka sudah menunggu di balai pertemuan. Ketiganya berenang, lalu pergi ke ibu masing-masing.

“Terima kasih, Ray. Kamu memang penyelamat kami,” ucap orang tua Nemo mewakili kedua orang tua dari Guri dan Imo.

“Sama-sama. Saya kebetulan lewat di sana,” jawab Ray dengan tersenyum, lalu menatap tiga hewan kecil itu. “Lain kali kalau bermain, jangan terlalu jauh dan izin kepada orang tua kalian. Agar mereka tidak khawatir seperti ini.”

“Ibu, maafkan Nemo. Nemo menyesal dan janji tidak akan mengulangi lagi,” ucap Nemo saat melepas pelukan ibunya. Dua temannya pun ikut meminta maaf. (*)

Sidoarjo, 07 Januari 2021

 

Penulis biasa dipanggil Tias. Seorang ibu dari dua putri cantik. Penulis mulai terjun di dunia literasi awal tahun 2019. Penyuka buah durian ini, telah mempunyai tiga buku solo cernak. Ia bisa dihubungi melalui FB dan IG dengan nama Isnani Tias.

 

Editor: Imas Hanifah N
Gambar: Dokumentasi Penulis

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply