Diam
Oleh: Wulan Putri Kusumah
Hesti terburu-buru memasuki gerbang sekolah. Dia sudah terlambat tiga puluh menit. Langkahnya beberapa kali terhenti. Jalur menuju kelas putrinya sedikit padat. Dia berusaha mencari celah, melewati anak-anak kelas atas yang berjalan menuju kantin. Waktu pulang sekolah memang dibagi berdasarkan tingkatan kelas, mencegah terjadinya penumpukkan ketika menjemput. Pukul 13.00 halaman selalu ramai. Anak-anak, orang tua murid, dan para supir mobil jemputan saling berlomba menuju tempat yang dituju.
Berpapasan dengan beberapa orang tua murid yang dia kenal, cukup menyita waktu bagi Ibu satu putri ini. Dia harus sedikit berbasa-basi sejenak, menyapa dengan ramah sambil sedikit mengikuti pembahasan beberapa pemberitaan yang menjadi buah bibir di antara orang tua. Sejujurnya, Hesti enggan membahas masalah orang lain, tetapi situasi membuatnya terjebak, dan sulit untuk menolak.
Ponselnya berdering, membuat wanita penyuka warna hitam itu dapat bernapas lega. Akhirnya dia memiliki alasan untuk menjauh. Setelah pamit, Hesti kembali melihat ponselnya yang berwarna hitam, masih berdering, meskipun dari nomor yang tidak dia ketahui. Dia tidak menerima panggilan tersebut. Prinsipnya, jika penting tentu saja, dia akan mengirimkan pesan.
Ibu satu putri ini mempercepat langkahnya. Dua ruangan lagi yang harus dilewati. Kelas satu A, masih ramai, beberapa anak sedang mengikut pelajaran tambahan. Langkah Hesti terhenti, ketika bola basket hampir saja mengenai kepalanya. Dia pun melempar bola berwarna putih dengan list hitam ke lapangan. Kelas pertama sudah dilewati, lalu dia terus berjalan, melewati kelas B. Terlihat anak-anak sedang berbincang-bincang dengan gurunya. Tingkah mereka yang masih terlihat seperti anak kecil membuat Hesti hampir tidak dapat menahan tawanya.
Sebelum memasuki kelas anaknya, Hesti tertegun menatap baju seragam berwarna putih dan kaos dalam dengan warna yang sama digantung di depan kelas. Dalam hatinya dia bertanya, mengapa ada seragam yang dijemur di depan kelas. Tidak ingin memperpanjang, dia segera masuk kelas, yang utama bertemu dengan anaknya. Hesti mengangguk hormat pada Ibu Tina, ucapan permohonan maaf dilontarkannya sebagai pembuka karena telat tiga puluh menit menjemput.
Namun yang terjadi, Ibu Guru justru meminta maaf kepadanya, karena telah terjadi sesuatu pada Anika. Hesti terkejut, dia mendengarkan dengan saksama apa yang baru saja dialami putrinya, lalu menghampiri Anika yang sedang duduk sambil menggunakan mukena. Dia tidak habis pikir, anak kelas satu, sekolah dasar dapat melakukan hal tersebut.
Hesti menatap anaknya, seperti biasa. Anika hanya tersenyum tanpa berbicara sepatah kata, walau kali ini dia langsung memeluknya. Hesti membalas pelukan putrinya. Dia berusaha menanyakan apa yang terjadi, tetap saja putrinya hanya diam. Putri lebih sering memendam apa yang terjadi. Sudah menjadi tugas Hesti dan sang guru untuk mencari tahu kejadiannya.
“Baju seragam yang digantung di depan kelas, punya Anika, kan Bu?” Hesti memastikan pakaian milik anaknya.
Ibu Tina mengangguk, dan meminta waktu sebentar untuk berbicara empat mata dengan Hesti. Dia menatap Anika, meminta izin berbicara dengan wali kelasnya. Anika hanya tersenyum dan mengangguk, kemudian melanjutkan aktivitasnya membaca buku.
Ibu Tina berusaha menjelaskan kronologis yang terjadi sebelum Anika melaksanakan kewajibannya, Salat Zuhur. Saat itu, Anika berjalan menuju tempat wudu bersama ketiga temannya. Bunga, Dian, dan Mira. Entah siapa yang memulai, yang pasti ketika Ibu Guru sampai di tempat wudu, baju Anika sudah basah kuyup. Tidak ada satu pun yang berani bicara. Anika sendiri hanya menaikkan bahunya, tanpa bicara sepatah kata. Banyak cara yang dilakukan Ibu Tina untuk mendapatkan jawaban, hasilnya tetap sama, tidak ada yang keluar dari bibir mungil mereka.
“Saya percayakan pada Ibu Tina bagaimana baiknya,” ucap Hesti.
Sejujurnya dia ingin sekali mendapat jawaban dari ketiga teman anaknya, tetapi dia sadar betul tidak mudah untuk mendapatkan jawabannya.
***
Hesti sudah mulai kehabisan akal untuk membuat Anika bercerita, semakin dipaksa, dia akan semakin menutup mulutnya rapat-rapat. Aksi diam ini pun terjadi pada beberapa anak yang bersama putrinya pada saat kejadian.
Tiga hari kemudian Ibu Tina sudah mengetahui siapa pelakunya. Dia mendapatkan jawaban setelah melakukan pendekatan dan bersiap menjadi jaminan jika anak-anak yang bersama Anika akan aman jika bercerita.
Saat itu mereka hendak mensucikan diri. Tiba-tiba saja ada yang mengguyur tubuh Anika dengan air, yang melakukannya adalah kakak kelas mereka. Siswi kelas lima. Mereka tidak ada yang berani membicarakan hal ini karena diancam.
“Kami sudah mendamaikan anak-anak,” ucap Ibu Tina, “mereka yang melakukan hal tidak terpuji, sudah mendapat hukuman. Orang tua pun sudah dipanggil. Kasusnya sudah selesai.”
“Ini sudah termasuk merundung, bullying, Ibu,” ucap Hesti, “Semoga hal ini diperhatikan, dan tidak terjadi lagi kepada siswa dan siswi sekolah.”
“Kami akan memperhatikan masalah ini.”
Hesti hanya menarik napas dan mencoba memahami peristiwa yang dialami putrinya. Sebagai orang tua, dia tidak akan ikut campur urusan di sekolah. Hal yang paling utama adalah pelakunya sudah diberi hukuman setimpal, agar kejadian seperti ini tidak terulang lagi.
Kasus Anika adalah salah satu satu dari ribuan kasus perundungan yang terjadi di sekolah. Penindasan secara verbal maupun fisik termasuk tindak kejahatan yang direncanakan. Jika tidak diberi efek jera, tentunya pelaku akan menganggap hal ini lumrah dan akan mengulangi perbuatannya. (*)
Bogor, 16 Januari 2022
Wulan Putri Kusumah, pecinta aroma tanah basah dan senja.
Editor: Imas Hanifah N
Gambar: Pixabay