Rasa yang Salah
Oleh: Dhanty Lesmana
Dia mengerjap. Sinar mentari pagi yang menerobos masuk dari balik tirai yang kusingkap, menerpa wajahnya. Mengakhiri tidurnya yang lelap.
“Good morning, Safannra,” sapaku dari dekat jendela. Dia tampak terkejut. Mengucek matanya lalu memandangiku tajam.
“Bunda mau pergi lagi?” tanyanya dengan suara serak. Aku hanya tersenyum, lalu duduk di ujung tempat tidur.
“Bagaimana penampilan Bunda hari ini, Sayang?” tanyaku lembut.
Dia menghela napas berat. Menatap tubuhku yang terbalut baju berwarna metalik dengan aksesoris berbentuk matahari di dada kiri. Medali khusus yang hanya dimiliki petinggi pemerintahan.
Sebuah senyum sinis yang samar, terukir di wajahnya.
“Bunda tidak akan lama, kok,” ucapku seraya memeluknya. “Sebelum Ayah pulang minggu depan, Bunda sudah pulang. Dan selama itu, kamu akan ditemani Rave. Oke?” Sesaat kuregangkan pelukan, dan seketika itu juga, matanya berbinar.
“Betulkah, Bunda?” tanyanya tak percaya. Aku mengangguk pelan seraya tersenyum.
***
Putriku mengenal Rave beberapa tahun lalu, saat usianya baru sepuluh tahun. Ketika itu, aku dan ayahnya tengah sibuk mengejar karir. Kami yang terpaksa meninggalkan dia sendirian di rumah, selalu mengirim Rave untuk menemaninya. Robot tampan yang dirancang dengan kondisi fisik yang begitu sempurna. Selain tampan, dia juga begitu telaten dalam mengurus semua keperluan Safannra. Mulai dari makanan, hingga kebutuhan sekolahnya. Bahkan, robot inilah yang selalu menjadi teman Safannra bermain.
Semula, Safa menolak. Bahkan sering merengek meminta kami cepat pulang, jika sedang dinas keluar kota. Namun, sekarang malah sebaliknya. Jika kami berada di rumah, dia yang akan menanyakan, kapan dinas ke luar lagi.
“Kalau perlu berbulan-bulan pun, boleh kok, Bun,” ucapnya ketika kuhubungi lewat telepon hologram.
“Bahkan, dia pun memintaku untuk tidak pulang saat ulang tahunnya kemarin,” ucap Kenneth, suamiku, dengan senyum terkembang. “Sepertinya, Safa baik-baik saja bersama Rave.” Dia tampak bangga. Biar bagaimanapun, ini suatu keberhasilan besar dalam pekerjaannya sebagai ilmuwan di Robomark Institute.
Biasanya, kami memantau keadaaan Safa tiga sampai empat kali sehari. Namun, sejak ada Rave, seminggu sekali pun tidak. Sepertinya tidak masalah kami berada di mana. Selama Rave di sisinya, dia aman.
***
“Kita pergi sekarang?” tanya lelaki tampan di sebelahnya. Gadis kecilku tampak tersenyum dan mengangguk pelan. Sesaat kemudian, Aircars yang mereka tumpangi melesat terbang ke bukit Genrium, tempat para muda-mudi menghabiskan waktu berdua, menikmati pemandangan indah seluruh kota.
“Pakai maskermu, Safa. Hari ini, pencemaran udara cukup membahayakan,” ucap lelaki tampan itu seraya memasang masker silikon di wajah Safa. Sedetik kemudian, separuh wajah Safa pun terlindung sempurna.
Aku yang memantau mereka dari kamera canggih penemuan terbaru Kenneth, terbelalak sesaat sadar ada yang salah. Ya, putri kecilku, tampak terpesona dan merona oleh perhatian kecil Rave! Seketika, dadaku terasa sesak.
***
Teriakan Kenneth yang menggelegar, juga tangisku yang meraung, tidak membuatnya gentar. Dia malah menatap kami bergantian.
“Apa yang salah, Ayah?” tanyanya pelan. “Dia itu satu-satunya orang yang peduli pada Safa!” serunya seraya menatap kami tajam.
“Tapi, dia …,” ucapku dengan suara bergetar.
“Aku butuh cinta, Bunda.” Safa menatapku penuh amarah. “Rave satu-satunya orang yang punya cinta,” lanjutnya pelan. Aku pun tersentak dengan tangan menutup mulut.
“Ini salah, Nak,” ucapku lirih, berusaha menyadarkannya. Namun, dia malah tertawa terbahak.
“Apa yang salah, Bunda? Selama tujuh tahun terakhir, wajahnya yang pertama aku lihat, saat mata ini terbuka! Suaranya yang terakhir aku dengar, saat aku mulai terlelap! Bahunya yang selalu ada, saat aku menangis! Nasihatnya yang selalu menemani, saat aku terpuruk!” Air mata mulai jatuh di pipinya. Aku tertegun.
Rave yang sedari tadi berdiri tak jauh darinya, sigap mendekat. Namun, dengan cepat tanganku terangkat mencegah.
“Jangan menangis, Safa. Ada aku,” ucapnya dengan langkah tertahan, seraya tersenyum menatap putriku.
Ah, Rave!
“Lihat, bahkan di saat kalian ada di sini pun, dia tetap memperhatikanku, kan?” desisnya pelan. Sontak amarahku memuncak. Bergegas kudekati robot sialan itu.
“Jauhi putriku!” teriakku kencang seraya mendorongnya sekuat tenaga. Dia bergeming. Safa tampak terbelalak.
“Hentikan, Bunda! Aku cinta dia!” seru Safa kencang. Aku terperangah.
“Hentikan, Safa!” teriak ayahnya, mengalihkan pandanganku.
“Kenapa? Bukankah dia diciptakan untuk menemaniku?” tanya Safa pelan. “Jadi, biarkan dia menemaniku, selamanya!” teriaknya histeris.
Plak!
“Sadarlah! Dia tidak punya hati dan perasaan!”
Aku tertegun, nanar memandangi Safa yang tampak terduduk seraya memegangi pipi kirinya. Sebuah senyum sinis terukir di wajahnya
“Lalu, apa kalian sadar, kalau aku punya hati dan perasaan?” tanyanya dengan suara lirih. “Atau, kalian berdua yang hilang hati dan rasa?”
Aku tersentak, menatapnya tak percaya.
“Kapan terakhir kita bicara dari hati ke hati? Kapan terakhir Safa menangis di pundak Ayah?” tanyanya seraya menatap Kenneth tajam. “Salah Safa apa? Di mana?”
Kenneth tertegun, sementara aku tergugu. Hening sesaat, sampai kemudian ….
“Jangan menangis, Safa. Ada ….”
“Tidak!” teriakku menghentikan ucapan Rave.
Cukup! Dia hanya robot, kami orang tuanya!
Cepat kuraih putriku ke dalam pelukan. “Jangan menangis, Sayang. Kami ada di sini,” ucapku lirih.
“Eddy, nonaktifkan robot yang ada di rumahku, sekarang!” Terdengar suara Kenneth bicara pada asistennya lewat telepon hologram, diiringi teriakan histeris dari mulut Safa.
Ah, mungkin ini percuma. Waktu tidak akan pernah bisa kembali, tapi setidaknya, berikan aku waktu memperbaiki semuanya. (*)
Bandung, 29 Maret 2019
Editor: Imas Hanifah N
Gambar: Pixabay