Sesal

 

Sesal

Oleh : Ketut Eka Kanatam

Aku cepat-cepat bangkit dari kursi begitu bel pulang sekolah berbunyi. Tidak kuhiraukan panggilan Sani, sahabat baikku, yang meneriakkan namaku.

Aku terus berjalan cepat, takut Sani bisa mengejarku. Saat ada seseorang yang memegang bahuku dengan kencang, aku segera menoleh. Anto menatapku dengan tatapan menyelidik.

“Besok! Besok kita bicara ya, To,” ujarku lelah.

“Tidak bisa! Kita harus bicara sekarang. Kamu sudah menghindari kami lama sekali, La.”

Cengkeramannya membuatku meringis. Aku mencoba melepaskan diri darinya.

“Tidak sekarang, To. Aku janji, besok, aku akan temui kalian di tempat biasa! Oke?”

Meskipun tahu mereka menyayangiku tetapi untuk saat ini aku tidak siap berbicara dengan mereka.

Aku merasa panik karena Anto tidak mau menuruti permintaanku. Panggilan Sani membuatku makin ketakutan. Di saat genting seperti itu, ada yang memanggil Anto. Teriakan beberapa teman kami telah menyelamatkanku. Aku menarik napas lega sebab bisa lepas dari cengkeraman sahabatku itu.

Dan di sinilah aku, berdiri dengan perasaan campur aduk di depan ibu Bagas.

“Bagas belum pulang, Nak. Dia langsung pergi ke tempat les. Ada apa, ya, Nak?”

Aku hanya bisa menggeleng begitu mendengar penjelasannya. Aku tadi sudah pergi ke tempat les Bagas, sebelum memberanikan diri mendatangi rumahnya.

Aku sangat terkejut mendengar keterangan ibunya. Dia bukan hanya membohongiku, tetapi juga menipu ibunya yang percaya bahwa dia pergi les.

“Tolong ya, Bu. Bilang sama Bagas kalau Carla mencarinya untuk menanyakan tugas sekolah.”

Hanya itu yang bisa kukatakan ketika berpamitan kepada beliau. Mungkin dia heran mendengar ucapanku, maka perempuan itu terus mendesakku untuk berkata jujur mengenai alasanku mencari Bagas. Rasanya aku tidak sanggup menjelekkan Bagas di depan ibunya. Apalagi mengakui kalau aku adalah pacar anaknya. Bagas belum pernah memperkenalkan diriku pada keluarganya walaupun kami sudah pacaran sejak setahun lalu.

Aku merasa lemas, tidak sanggup lagi menjalankan sepeda motor untuk pulang. Lelah rasanya mencari Bagas ke semua tempat yang biasanya dia datangi. Tempat duduk di depan minimarket menjadi pilihanku untuk menenangkan diri.

Begitu banyak orang lalu lalang di depanku. Semua terlihat sibuk dengan urusan masing-masing. Sesekali tatapan mereka bertemu denganku, tetapi tidak ada kepedulian atau sorot iba yang aku lihat. Semua orang menganggap kehadiran manusia lain angin lalu saja.

Aku menatap handphone dengan pikiran berkecamuk. Kenapa Bagas tidak bisa dihubungi sama sekali? Ke mana lagi aku harus mencari Bagas? Haruskah aku melibatkan kedua sahabatku untuk masalah ini?

Aku hanya bisa menghela napas panjang. Rasanya aku malu untuk meminta tolong kepada mereka. Berat mengakui kalau selama ini aku tidak pernah mendengarkan nasihat mereka.

Di mataku, Bagas tidak seperti yang mereka katakan. Selama ini hubungan kami baik-baik saja. Sikap dan perhatian Bagas terasa begitu tulus kepadaku. Meskipun tidak setiap malam Minggu dia mengajakku keluar atau bertemu. Setidaknya, dia  datang jika aku meminta. Beda sekolah dan kegiatan membuatku mengerti jika dia tak bisa selalu ada di sampingku.

Sikapnya yang penuh cinta membuatku tidak berdaya ketika dia meminta sebuah bukti cinta.

Kini, dua minggu telah berlalu setelah malam itu. Sejak malam valentine dia tidak bisa dihubungi seperti biasa. Semua pesan-pesanku tidak dibaca olehnya. Kenapa Bagas bersikap berbeda setelah permintaannya kuturuti?

Selama ini, aku tidak pernah meminta apa-apa kepadanya. Seharusnya dia tidak dia mengatakan jika sedang sibuk dengan semua kegiatan di sekolahnya, jadi aku tidak akan panik seperti ini.

Kini tidak ada perhatian lagi yang aku dapatkan darinya. Sikap Bagas telah membuatku ragu. Mungkin semua yang dikatakan Sani benar, bahwa lelaki itu hanya mau mendapatkan apa yang diinginkannya. Setelah aku memenuhi permintaannya, dia pergi begitu saja. Semua janji yang dia ucapkan palsu belaka. Ucapan-ucapan yang pernah sahabatku katakan mendengung di dalam kepalaku.

Pikiran itu membuat kepalaku berdenyut nyeri. Saat ini, tidak ada yang bisa membantuku ke luar dari masalah ini. Aku tidak siap melihat tatapan kecewa dari kedua sahabatku. Bagaslah yang harus segera kutemui. Hanya dia yang bisa menenangkan hatiku.

Petugas minimarket terus menatapku ketika menurunkan barang dari mobil lalu menatanya di dekatku. Sikapnya itu membuatku merasa tidak nyaman lagi duduk di sana. Aku harus pulang sebelum Ibu sibuk menghubungiku berulang kali. Jika panggilannya tidak dijawab, maka dia akan menelepon Sani terus-menerus.

***

Begitu sampai di rumah, Ibu menatapku dengan tatapan menyelidik.

“Maaf, Bu. Ada teman ulang tahun. Pulsaku habis, jadi tidak bisa memberitahu Ibu.”

Untuk ke sekian kalinya, aku berbohong padanya. Semua kulakukan agar tidak mendengar omelannya. Lebih baik besok aku tidak masuk sekolah agar bisa mencari Bagas. Dengan pemikiran seperti itu, akhirnya aku bisa menutup mata.

***

Aku menunggu Bagas di gerbang sekolahnya. Seragam yang berbeda membuatku menjadi pusat perhatian siswa-siswi di sini. Aku tidak peduli lagi dengan tatapan dan bisik-bisik mereka. Aku harus bertemu dengan Bagas.

“Kenapa kamu masih di sini, Nak? Sebentar lagi bel masuk. Kamu bisa terlambat ke sekolahmu.”

Teguran dari penjaga sekolah memaksaku beranjak dari gerbang. Ada rasa sesal di hati karena selama ini aku tidak berusaha mengenal satu pun teman Bagas. Sekarang, kepada siapa aku harus bertanya? Tidak mungkin aku masuk ke sekolahnya dan bertanya kepada para guru. Aku tidak punya keberanian melakukan itu.

Aku mengendarai motor tanpa tujuan. Aku tidak tahu harus pergi ke mana. Ke sekolah jelas sudah terlambat. Jika aku pulang, tentu akan menimbulkan masalah baru. Maka di sinilah aku sekarang. Duduk di salah satu bangku panjang yang ada di trotoar jalan Ahmad Yani. Pohon besar melindungiku dari panasnya sinar matahari.

Baru saja aku menyandarkan punggung, handphoneku berbunyi, sudah ada panggilan beberapa kali dari Sani. Dengan ragu aku menjawab panggilannya.

“Kenapa kamu belum sampai di sini, La? Kamu ada di mana sekarang? Ibumu bilang kamu sudah berangkat dari tadi.”

Suaranya yang terdengar begitu khawatir membuatku ingin menangis.

“Bilang, La. Jangan seperti ini! Kamu sekarang ada di mana? Aku ke sana, ya, La?”

Air mata jatuh tanpa dapat aku tahan mendengar suaranya yang tulus mencemaskanku. Dengan terbata-bata, aku mengatakan di mana posisiku saat ini.

“Jangan ke mana-mana, La! Tunggu aku di sana!”

Tanpa menunggu jawabanku, dia memutuskan panggilan. Aku hanya bisa menatap layar HP dengan pikiran kalut.

Tak lama Sani menyusulku. Dia memarkirkan motornya di belakang motorku. Dia membolos demi aku. Sani memang teman terbaikku. Selama ini, tidak pernah dia melakukan hal itu. Dia murid teladan di sekolah kami.

Melihatnya saja membuat bulir bening kembali membasahi pipiku. Sani duduk di sebelahku, memeluk bahuku erat.

“Jangan menangis terus, La. Cerita kepadaku.”

Aku tidak sanggup mengatakan apa pun. Dadaku begitu sesak karena banyak hal yang ingin aku katakan kepadanya, tetapi tidak tahu harus memulai dari mana. Kadang aku iri dengan Sani yang selalu berbicara terus terang, dan melakukan hal segala hal dengan penuh perhitungan.

Selama ini aku selalu memakai perasaan dalam memutuskan segala sesuatu. Aku memilih Bagas karena merasa dia memahamiku, tanpa aku pedulikan bagaimana sepak terjangnya di luar.

Masih jelas dalam ingatanku bagaimana pertemuan pertama kami. Dia menjadi bintang acara di jambore. Dengan penampilannya, dia bisa mendapatkan pasangan yang lebih baik dariku. Namun selama acara itu, dia mendekatiku. Sikapnya membuatku merasa istimewa.

“Kalau kamu terus seperti ini, aku tidak bisa menolong kamu, La.” Ucapan Sani memutus lamunanku.

Aku menatap Sani dengan pikiran berkecamuk. Bagaimana mengatakan semuanya? Apakah aku harus cerita apa yang telah terjadi saat aku merayakan hari kasih sayang dengan Bagas? Aku malu.

“Kamu mau menemui Bagas ya, La? Tempat ini dekat dengan sekolahnya.”

Perlahan aku mengangguk.

“Kamu tidak bisa menemui dia, ya, La?”

Kembali aku mengangguk. Tebakannya benar sekali.

“Kamu, sih, tidak pernah mau mendengarkanku. Aku bilang juga apa selama ini sama kamu? Dia itu tidak sebaik yang kamu kira, La!”

Suara Sani mulai meninggi, membuatku tidak bisa menahan air mata.

“Jangan menangis lagi, La! Dia tidak pantas ditangisi!”

Sani pernah mengatakan kepadaku saat dia memergoki Bagas keluar dari bioskop dengan seorang cewek. Aku tidak percaya begitu saja dengan ucapannya. Apalagi saat aku tanya kepada Bagas, pacarku itu menunjukkan foto kalau mereka pergi beramai-ramai dengan teman-teman sekolah.

“Putus saja sama dia! Dia itu playboy, La!”

Ucapan Sani membuatku semakin tersedu. Bagaimana bisa aku menuruti ucapannya? Aku sudah menyerahkan mahkotaku kepada Bagas.

***

Bali, 15 Februari 2022

Ketut Eka Kanatam, penyuka warna ungu. Guru TK yang ingin tulisannya dibaca oleh semua anak didiknya.

Editor : Rinanda Tesniana

Gambar : https://pin.it/4ypShLO

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply