Wanita yang Membeli Soto di Warungku

Wanita yang Membeli Soto di Warungku

Oleh: Erien

 

Ini untuk keempat kalinya wanita aneh itu membeli sotoku dengan pesanan yang merepotkan: ia meminta semua bahan racikan soto itu dibungkus dalam plastik terpisah, termasuk kuah, kecap, dan sambalnya.
Empat kali datang, jilbab ungu instannya masih tetap sama. Hanya baju yang berbeda-beda. Kali kedua ia datang, langkahnya diseret. Aku baru tahu bahwa tali sandal jepit hitamnya putus. Ia meminta sebatang paku kecil yang kemudian ditusuk melintang pada tali karet tengah sandal kanan hingga bisa dipakai lagi. Senyumku ikut mengembang ketika ia terkekeh bangga.

Pesanan sotonya masih sama seperti sebelumnya: satu porsi soto tanpa lontong atau nasi. Ya, hanya satu porsi. Yang membuat spesial—dan membuatku ribet—adalah ia meminta kubis, taoge, daun bawang, seledri, dan suwiran ayam dipisahkan dari kuahnya. Ia juga meminta kecap dan sambal dalam plastik terpisah. Kadang ia memohon kuahnya ditambah. Sesekali, ia minta izin membungkus air teh tawar yang kusediakan gratis untuk dibawa pulang. Jadi total ada enam bungkus plastik yang ia bawa pulang. Satu plastik lagi berisi kerupuk. Sudah terbayang, ‘kan, bagaimana ribetnya?

Sempat kutanya kenapa ia pesan tanpa nasi atau lontong, padahal beda harganya hanya tiga ribu rupiah. Ia hanya menggeleng sambil tersenyum. Pernah pula aku bertanya kenapa harus dipisah-pisah tiap bagian sotonya. Lagi-lagi, ia hanya tersenyum.

Sejenak aku terpana melihat senyumnya. Bukan karena aku tertarik—aku bisa tidur di luar kalau istriku salah paham—melainkan karena aku seperti melihat lengkung pelangi di wajah itu. Indah.  Wajahnya yang terbakar matahari dan giginya yang kekuningan tidak mengurangi keindahannya. Aku sampai memalingkan muka ketika sadar bahwa ia adalah seorang wanita.

Uang yang ia berikan selalu pas. Delapan ribu rupiah. Uang yang lecek itu diambil dari dompet kecil yang diselipkan di dalam dadanya. Aku menganggapnya begitu karena ia selalu membalikkan badan ketika merogoh bajunya walaupun sudah tertutup jilbab. Eh, jangan-jangan dompet itu ia selipkan di ketiak? Entahlah. Aku tidak ingin tahu.

Ia mengucapkan terima kasih sambil sedikit membungkuk dan aku membalasnya sambil mengangguk. Selalu seperti itu. Ucapan yang sama dengan sikap tubuh yang sama. Mungkin ucapan itu pun karena hanya akulah satu-satunya penjual soto yang mau melayani permintaan ribetnya.

Wanita itu lalu keluar dari warungku dengan kresek yang bergelayut di tangan kanannya. Langkahnya terlihat berbeda dari saat datang. Ia melompat-lompat kecil seperti seorang bocah yang kegirangan karena dibelikan jajan. Untuk wanita seusianya, pasti semua orang menganggap aneh.

Entah kenapa seperti ada suara dalam kepalaku yang menyuruh mengikuti wanita itu. Kulihat ia sedang berdiri di perempatan. Sesekali ia menoleh ke lampu lalu lintas yang masih berwarna hijau. Mungkin ia sedang menunggu lampu merah menyala dan menyeberang.

Aku kembali mendengar suara di dalam kepalaku, “Ikuti!”

Hatiku bimbang. Ada dua orang pelanggan sedang makan di warungku. Siapa yang akan menunggui warung? Tanpa sadar jemariku mengetuk-ngetuk papan gerobak tempat aku meracik soto. Ikuti atau tidak? Selama beberapa saat aku mendengar dua suara bertengkar. Itu otak dan hatiku. Otak mengatakan jangan, hati mengatakan ikuti.

Sementara itu, wanita yang tadi membeli sotoku sudah menyeberang. Sekarang ia berjalan dan sedikit lagi akan berbelok, menghilang dari pandanganku.

Tanpa sadar, ketukanku semakin cepat. Aku menoleh ke kiri dan kanan, mencari seseorang yang bisa kutitipi warung. Namun, tidak ada orang di luar sana. Warteg yang berada tepat di sebelahku malah tutup hari ini.

Mataku beralih kepada dua orang yang masih menikmati soto sembari ngobrol. Dua orang ini aku kenal. Mereka pegawai toko swalayan di seberang jalan. Jadi, hah! Peduli setan! Warung tidak akan hilang. Aku menitipkan warung pada dua orang itu.  Kulihat raut wajah heran mereka. Namun, aku tidak sempat menjelaskan. Keburu wanita itu hilang.

Aku berlari dan menyeberang tanpa menunggu lampu merah berganti. Tentu saja hampir semua yang melaju di jalan melemparkan caci maki padaku. Ah, mana sempat aku jelaskan kenapa langkahku seperti kesetanan begitu.

Wanita itu sudah berbelok!

Aku berhenti berlari lalu berjalan sambil sembunyi-sembunyi mengikutinya. Wanita itu masih berjalan dengan sedikit melompat-lompat. Ia tidak menoleh ke belakang sama sekali.

Aku merutuki diri karena sudah berani mengikutinya. Apa yang kucari? Mungkin ia hanya perempuan biasa yang memang ribet tiap kali memesan sotoku. Lalu, kenapa? Toh, ia juga membayar seperti pembeli yang lain. Apa istimewanya ia?

Meski batinku dijejali aneka tanya, tubuhku tetap bergerak mengikutinya hingga ujung jalan. Ketika ia berbelok di gang kecil, aku kebingungan. Jika kuteruskan mengikuti perempuan itu sampai gang dan ia menoleh ke belakang, sudah pasti aku ketahuan.

Ah, bodo amat! Aku ingin tahu ke mana ia pergi. Jika ia menoleh, sekalian saja aku tanya-tanya. Akhirnya aku ikut berbelok. Ia masih melompat-lompat kecil dan kresek hitam itu masih bergelayut di tangannya.

Tidak lama kemudian, musik terdengar lamat-lamat entah dari mana. Mungkin dari salah satu rumah yang dindingnya mengapit gang sempit ini. Suara Ridho Rhoma melantunkan lagu “Mari Bergembira” makin lama makin jelas meski tidak bisa dikatakan keras.

Aku melihat wanita itu berhenti melangkah. Spontan aku juga berhenti. Ah, apa ini saatnya ia membalikkan badan lalu mendapatiku sedang menguntitnya? Jantungku tiba-tiba berdetak lebih kencang. Sekelebat kusesali keputusan untuk mengikutinya tadi.

Wanita itu masih terdiam selama sekitar satu menit sebelum akhirnya ia bergerak. Tidak, ia tidak berbalik. Ia menari!

Aku melongo menatapnya bergoyang mengikuti musik. Ia seperti tidak peduli akan ada orang yang melihatnya. Wanita itu sama sekali belum berputar dan melihatku. Ia merentangkan kedua tangannya sambil memutar-mutar pergelangan tangan, termasuk yang sedang digelayuti kresek berisi bungkusan soto.

Asik sekali wanita itu bergoyang. Bahkan, gerakannya makin heboh dan tak beraturan. Setelah beberapa kali berputar, ia sepertinya tidak menyadari ada aku yang menontonnya. Dan entah kenapa tidak ada orang selain kami di gang ini.

Bergoyang, meliuk kanan dan kiri, mengentak-entakkan kaki, memutar kepala, lalu … wush! Kresek berisi soto itu terbang dan jatuh ke pinggir got, lalu masuk comberan!

Bisa kudengar suara bungkusan plastik yang pecah. Pasti itu plastik yang berisi kuah! Ah!

Wanita itu mematung sejenak, lalu berjongkok. Dangan perlahan, ia menoleh kepadaku dengan pandangan sendu.

Ya, Tuhan! Kenapa harus begini? Jadi, sekarang apa yang harus kulakukan? Meninggalkannya sendiri atau mengajaknya kembali ke warung dan memberinya pengganti soto yang sudah terjun ke dalam comberan?

Hah! Terkadang jalan Tuhan memang tidak aku mengerti. (*)

 

Kotabaru,  November 2021

 

Erien. Menulis adalah caranya mengasah empati dan kepedulian pada sekitar. Satu novel dan puluhan antologi sudah ia tulis. Masih terus belajar agar semakin baik dalam menulis. Kenali lebih dekat di akun Facebook: Maurien Razsya.

 

Editor: Imas Hanifah N
Gambar: Pixabay

 

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply