Rara dan PR Matematika

Rara dan PR Matematika

Rara dan PR Matematika

Oleh: Lia Anelia

 

Rara berjalan menuju kelas dengan tergesa. Ia gelisah. Semalam ia ketiduran. Lupa kalau ada PR yang belum dikerjakan. “Duh! Semoga masih ada waktu!” gumamnya. Ia benar-benar tidak tenang.

Gadis berkucir dua itu berjalan cepat menuju bangku, mengabaikan dua temannya, Sita dan Rika yang menyapa ramah padanya. Ia meletakkan tasnya dengan kasar. Kemudian mengambil buku PR dan alat tulis. 

Jam di dinding kelas menunjukkan pukul 06.45, lima belas menit menjelang jam pelajaran dimulai. Rara semakin panik. 

“Bagaimana ini, PR ku belum selesai …,” ucapnya sambil tak henti menatap jarum detik pada jam dinding yang terus berputar. Ia benar-benar tidak bisa berkonsentrasi.

Teng teng teng!

Bel tanda masuk sudah berbunyi. Terdengar derap pelan langkah sepatu hak pendek yang khas milik Bu Guru.

Rara hanya mampu melongo, menatap cemas pada sosok ibu guru yang sudah berada di depan kelas.

“Selamat pagi, anak-anak. Yuk kumpulkan PR-nya di meja Ibu, ya….”

“Bu … ” Takut-takut Rara mengangkat tangan. Seisi kelas kini menatap ke arahnya.

“Ya, Ra,” jawab Bu Guru ramah.

“Rara belum mengerjakan PR … semalam Rara ketiduran, Bu …,” jawabnya dengan suara bergetar.

Bu Guru segera bangkit dari kursi, dan berjalan pelan menuju bangku Lala.

“Coba, Ibu lihat ….” 

Perlahan Rara menyerahkan buku PR-nya yang bergambar pelangi ke tangan Bu Guru. Bu Guru memeriksa sebentar, kemudian menuliskan sesuatu di buku Rara. 

“Nanti PR-nya dikerjakan lagi ya, sekalian sama yang ini…,” ucap Bu Guru lembut.

Rara mengangguk pelan. “Iya, Bu. Maaf Rara sudah lalai,” ucapnya parau.

Bu Guru mengangguk pelan sambil menepuk pelan pundak Rara.

“Terima kasih Rara sudah mau berkata jujur ….”

Rara merasa lega. Ternyata Bu Guru tidak memarahinya. 

“Sekarang, coba Rara maju ke depan, ya. Kerjakan soal yang nomor satu … “

“Yang ini, Bu?” tunjuknya pada angka satu di buku PR.

Bu guru mengangguk.

“Silakan Ra,” ucap bu guru seraya menggamit lengan Rara, menuntunnya yang terlihat kembali cemas.

Rara berdiri mematung di depan kelas, semua mata terarah padanya. Rara gemetaran. Ia takut sekaligus cemas. Rasanya mau menangis saja. 

“Ayo, Ra …” Bu Guru kembali meminta Rara dengan lembut.

Dengan tangan gemetaran, Rara menuliskan soal nomor satu pada papan tulis.

Lama Rara menatap soal tersebut, tanpa sedikitpun bergerak.

“Kenapa, Ra?”

Rara menundukkan kepala, “Rara … Rara enggak bisa, Bu…,” ucapnya terbata-bata menahan tangis.

Bu guru kembali menghampiri Rara, mengelus pundaknya dengan lembut, “Kalau Rara tidak paham, Rara boleh loh meminta bantuan teman untuk belajar sama-sama … atau boleh tanya sama Ibu.”

Rara kembali menunduk.

“Anak-anak, teman kita Rara sedang kesulitan nih, ada yang bersedia membantu?” Bu guru menyapukan pandangan ke seluruh penjuru kelas, namun tak ada yang berani mengangkat tangan.

“Benar nih, tidak ada yang mau membantu Rara?” Hening sejenak. Tak lama, di ujung kelas, seseorang mengangkat tangan.

“Saya, Bu …” Sita, teman sebangku Rara berucap lirih.

“Silakan, Sita ….”

Sita ke depan. Menuliskan jawaban sebisanya, sebelum kemudian diam mematung seperti Rara.

“Belum ketemu jawabannya, Sita?”

Sita salah tingkah. “Belum, Bu …,” jawabnya malu-malu.

Bu Guru kembali mengedarkan pandangannya ke seluruh ruang kelas. “Ada lagi yang bersedia membantu?”

Kelas kembali hening. “Kok diam. Memangnya Ibu menggigit, sampai kalian takut-takut begitu?” canda Bu Guru mencoba mengurai ketegangan. Anak-anak pun tertawa.

“Yuk maju, Ibu enggak akan melanjutkan pelajaran sampai ada yang berani maju untuk membantu, ya!”  

Anak-anak saling menatap teman sebangkunya, kemudian saling menunjuk satu sama lain. Kelas menjadi riuh dengan celotehan anak-anak yang saling menunjuk temannya untuk maju ke depan kelas.

“Sudah diskusinya? Yuk maju!” Suara Bu Guru memotong keriuhan.

Kemudian, dari pojok belakang, tengah kanan, dan barisan depan, Tomi, Mikail dan Rika tampil bak seorang pahlawan, mereka berjalan pelan menuju depan kelas.

Mereka pun saling membantu menyelesaikan soal nomor satu. Setelah proses yang cukup alot, akhirnya mereka bisa menyelesaikan soal tersebut.

“Sudah, Bu,” ucap Tomi.

“Baik, Terima kasih Rara, Sita, Tomi, Mikail, dan Rika. Kalian boleh kembali duduk,” ucap Bu Guru lembut.

“Nah, sekarang kita bahas sama-sama, ya.”

***

Saat jam istirahat, Mikail, Tomi, dan Rika mendekati meja Rara dan Sita.

“Teman-teman, tadi itu keren!” ucap Mikail saat tiba di hadapan Rara dan Sita. Keempat teman lainnya menganggukan kepala.

“Terima Kasih, teman-teman,” ucap Rara tulus pada mereka.

“Sama-sama, Ra,” jawab mereka kompak. Tawa pun kembali memecah.

“Lain kali, kalau kamu kebingungan membuat PR, tanya aku saja, Ra…,” jawab Tomi bangga.

“Ah, kamu juga tadi kan kebingungan Tom, untung ada Rika,” balas Sita.

“Um … maksudku kita kerjain bareng-bareng,” jawab Tomi salah tingkah. Mereka pun kembali tertawa.

Syukurlah, Rara punya teman-teman yang sangat baik. Untung saja tadi mereka bisa menyelesaikan soal dengan baik, kalau tidak? 

“Pokoknya lain kali aku enggak akan menunda-nunda bikin PR lagi!” janjinya dalam hati.

Jatiwangi, Februari 2022

 

Bionarasi:

Lia Anelia, seorang ibu rumah tangga, ibu dari tiga ananda yang suka bercerita lewat aksara. Saat ini berdomisili di Jatiwangi, Majalengka. Suka menulis sejak akhir 2018. Beberapa tulisannya bisa dilihat di:

Instagram: @jejakzia

Facebook: Lia Anelia

Blog: leeanel.blogspot.com atau anelialine.wordpress.com

 

Editor: Nuke Soeprijono

Sumber gambar: Pinterest

 

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply