Jangan Menunda Makan, Raka
Oleh:Lia Anelia
Rumah yang biasanya sepi, kini terasa ramai. Beberapa anak berkelompok di halaman, bermain bersama.
Ruang dapur yang menyatu dengan ruang makan kini penuh sesak. Berkarung-karung beras, sekeranjang besar buah jeruk, berdus-dus buah pir, mi instan, aneka kudapan dan kue-kue basah memenuhi ruangan.
Kedua tangan para ibu, gesit membungkus satu per satu makanan tersebut. Lantas memasukkannya ke dalam kantong.
“Bu, kenapa banyak orang? Memangnya mau ada acara, ya?” tanya seorang anak berambut ikal.
“Ya, Sayang. Acara syukuran, jadi banyak keluarga yang hadir juga. Raka senang, ya?”
“Iya, Bu. Raka suka sekali hari ini. Banyak teman.” Anak usia enam tahun itu berceloteh riang. Ibunya yang sedang memasukkan buah ke dalam plastik tersenyum menanggapi.
“Raka, sini!” Seorang anak dengan perawakan tinggi besar berteriak memanggil.
Raka lekas berlari menghampiri.
“Apa, Han?”
“Ayo, kita main lagi. Tuh, Abang Sultan sama yang lain lagi main Squid game,” ucap Rayhan, sepupu Raka yang seusia dengannya.
Mereka cepat-cepat berlari mendekati kumpulan anak-anak yang tengah bermain.
“Abang, aku mau ikutan main,” teriak Raka, pada anak berambut cepak.
“Oke. Yuk, kita hompimpa lagi. Yang kalah jaga, ya.”
Semua anak bergerombol. Si rambut cepak sigap mengatur. Mereka berkumpul, membentuk lingkaran, masing-masing mengulurkan tangan kanan ke depan.
“Hompimpa alaium gambreng!”
“Rayhan, jaga!” Semua serempak menunjuk Rayhan.
Rayhan lekas mengambil posisi ke depan tembok. Sementara anak-anak lain berbaris di belakangnya.
“Mugunghwa kochi pieot seumnida.” Rayhan lekas membalik badan. Memperhatikan satu per satu para sepupunya itu. Tidak ada pergerakan. Ia kembali menghadap tembok, dan merapalkan mantra.
Siang menjelang, waktunya makan siang. Ibunya Raka memanggil, mengingatkan mereka untuk makan. Semua anak lekas berlari menuju ruang makan. Raka bergeming.
Di atas meja makan, nasi yang masih mengepul sudah ditata dalam wadah besar. Di sisi-sisinya terdapat piring-piring berisi tahu tempe, lalapan, sambal, ayam goreng dan ikan asin. Sepanci sayur asem dengan potongan jagung tengah di masak di atas kompor.
“Raka, ayo makan!” Ibunya kembali mengingatkan.
Raka menggeleng. “Raka enggak lapar, Bu.”
Meski sudah dipaksa berulang kali, Raka tetap tak mau makan. Ia hanya memakan sepotong kue bolu.
Setelah Zuhur, acara syukuran digelar. Banyak tamu undangan yang hadir. Rumah semakin penuh sesak. Raka dan para sepupunya duduk di antara para tamu undangan. Mereka ikut mengangkat tangan dan mengucapkan kata amin dengan lantang saat sang ustaz mulai memimpin doa.
Setelah acara usai, satu per satu tamu undangan pamit undur diri. Rumah kembali sepi. Hanya satu dua keluarga yang masih bertahan.
Sultan asyik bermain game di ponsel pintarnya. Rayhan, Raka dan Raysa duduk mengamati di samping kanan kirinya.
“Raka, yuk makan dulu!” ajak ibunya.
Raka menggeleng. “Raka belum lapar,” ujarnya tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel yang di pegang Sultan.
Sorenya, setelah semua tamu dan keluarga pulang, rumah kembali sepi. Ibu masih membereskan dapur. Raka duduk lunglai di ruang tv. Ayahnya yang melihat, segera menghampiri.
“Raka, kenapa?” Ayah bertanya cemas, seraya menempelkan punggung tangan ke dahi Raka.
“Raka demam,” gumam ayahnya. “Raka minum obat, ya. Sudah makan, belum?”
Raka menggeleng lemas.
“Yuk, makan dulu.”
Meski enggan, Raka menurut.
Ibunya menyiapkan nasi dan lauk pauk ke dalam piring. Lantas menyuapi Raka.
“Besok, Raka enggak usah sekolah dulu, ya,” ucap ibunya. “Habis minum obat, Raka tidur, istirahat, biar lekas sehat,” lanjutnya.
Raka mengangguk.
Esoknya, suhu tubuh Raka sudah agak menurun. Ibunya sudah menyiapkan bubur.
“Setelah makan dan minum obat, Raka tiduran lagi, ya. Jangan main dulu,” ucap sang ibu.
Raka mengangguk.
Seharian ini, Raka terus tiduran di kamar. Raka mulai bosan. Sesekali ia merengek dan mengeluh bosan.
Ibu membawakan beberapa buku cerita, lalu membacakannya untuk Raka. Rasya, adiknya yang berusia lima tahun ikut menunggui.
“Bu, Kakak kenapa sakit?” tanya Raysa dengan polosnya.
“Karena Kakak kemarin seharian tak makan, jadi masuk angin.”
“Adek, kok nggak?”
“Karena lambung Kakak kosong, enggak ada makanan masuk, jadi udara bisa masuk, deh. Enggak ada tenaga juga. Daya tahan tubuh Kakak jadi menurun. Makanya bisa sakit,” ujar ibunya mencoba menjelaskan dengan kalimat sederhana.
“Oh, gitu. Adek kemarin makan, jadi lambungnya ada makanan. Jadi, Adek enggak masuk angin, ya, Bu?”
Ibu mengulum senyum, lantas mengangguk sambil mengusap lembut rambut Raysa.
“Kakak, besok-besok harus makan, ya. Biar nggak masuk angin. Iya, kan, Bu?” ujar Rasya.
Ibunya mengangguk. Lantas menatap Raka dengan hangat. “Sekarang, Kakak istirahat, ya. Biar lekas sehat.”
Raka mengangguk
Rumah yang biasanya sepi, kini terasa ramai. Beberapa anak berkelompok di halaman, bermain bersama.
Ruang dapur yang menyatu dengan ruang makan kini penuh sesak. Berkarung-karung beras, sekeranjang besar buah jeruk, berdus-dus buah pir, mi instan, aneka kudapan, dan kue-kue basah memenuhi ruangan.
Kedua tangan para ibu, gesit membungkus satu per satu makanan tersebut. Lantas memasukkannya ke dalam kantong.
“Bu, kenapa banyak orang? Memangnya mau ada acara, ya?” tanya seorang anak berambut ikal.
“Ya, Sayang. Acara syukuran, jadi banyak keluarga yang hadir juga. Raka senang, ya?”
“Iya, Bu. Raka suka sekali hari ini. Banyak teman.” Anak usia enam tahun itu berceloteh riang. Ibunya yang sedang memasukkan buah ke dalam plastik tersenyum menanggapi.
“Raka, sini!” Seorang anak dengan perawakan tinggi besar, berteriak memanggil.
Raka lekas berlari menghampiri.
“Apa, Han?”
“Ayo, kita main lagi. Tuh, Abang Sultan sama yang lain lagi main Squid game,” ucap Rayhan, sepupu Raka yang seusia dengannya.
Mereka cepat-cepat berlari mendekati kumpulan anak-anak yang tengah bermain.
“Abang, aku mau ikutan main,” teriak Raka, pada anak berambut cepak.
“Oke. Yuk, kita hompimpa lagi. Yang kalah jaga, ya.”
Semua anak bergerombol. Si rambut cepak sigap mengatur. Mereka berkumpul, membentuk lingkaran, masing-masing mengulurkan tangan kanan ke depan.
“Hompimpa alaium gambreng!”
“Rayhan, jaga!” Semua serempak menunjuk Rayhan.
Rayhan lekas mengambil posisi ke depan tembok. Sementara anak-anak lain berbaris di belakangnya.
“Mugunghwa kochi pieot seumnida.” Rayhan lekas membalik badan. Memperhatikan satu per satu para sepupunya itu. Tidak ada pergerakan. Ia kembali menghadap tembok, dan merapalkan mantra.
Siang menjelang. Waktunya makan siang. Ibunya Raka memanggil, mengingatkan mereka untuk makan. Semua anak lekas berlari menuju ruang makan. Raka bergeming.
Di atas meja makan, nasi yang masih mengepul sudah ditata dalam wadah besar. Di sisi-sisinya terdapat piring-piring berisi tahu-tempe, lalapan, sambal, ayam goreng dan ikan asin. Sepanci sayur asem dengan potongan jagung tengah di masak di atas kompor.
“Raka, ayo makan!” Ibunya kembali mengingatkan.
Raka menggeleng. “Raka enggak lapar, Bu.”
Meski sudah dipaksa berulang kali, Raka tetap tak mau makan. Ia hanya memakan sepotong kue bolu.
Setelah Zuhur, acara syukuran digelar. Banyak tamu undangan yang hadir. Rumah semakin penuh sesak. Raka dan para sepupunya duduk di antara para tamu undangan. Mereka ikut mengangkat tangan dan mengucapkan kata amin dengan lantang saat sang ustaz mulai memimpin doa.
Setelah acara usai, satu per satu tamu undangan pamit undur diri. Rumah kembali sepi. Hanya satu dua keluarga yang masih bertahan.
Sultan asyik bermain game di ponsel pintarnya. Rayhan, Raka, dan Raysa duduk mengamati di samping kanan kirinya.
“Raka, yuk makan dulu!” ajak ibunya.
Raka menggeleng. “Raka belum lapar,” ujarnya tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel yang di pegang Sultan.
Sorenya, setelah semua tamu dan keluarga pulang, rumah kembali sepi. Ibu masih membereskan dapur. Raka duduk lunglai di ruang tv. Ayahnya yang melihat, segera menghampiri.
“Raka, kenapa?” Ayah bertanya cemas, seraya menempelkan punggung tangan ke dahi Raka.
“Raka demam,” gumam ayahnya. “Raka minum obat, ya. Sudah makan, belum?”
Raka menggeleng lemas.
“Yuk, makan dulu.”
Meski enggan, Raka menurut.
Ibunya menyiapkan nasi dan lauk pauk ke dalam piring. Lantas menyuapi Raka.
“Besok, Raka enggak usah sekolah dulu, ya,” ucap ibunya. “Habis minum obat, Raka tidur, istirahat, biar lekas sehat,” lanjutnya.
Raka mengangguk.
Esoknya, suhu tubuh Raka sudah agak menurun. Ibunya sudah menyiapkan bubur.
“Setelah makan dan minum obat, Raka tiduran lagi, ya. Jangan main dulu,” ucap sang ibu.
Raka mengangguk.
Seharian ini, Raka terus tiduran di kamar. Raka mulai bosan. Sesekali ia merengek dan mengeluh bosan.
Ibu membawakan beberapa buku cerita, lalu membacakannya untuk Raka. Rasya, adiknya yang berusia lima tahun ikut menunggui.
“Bu, Kakak kenapa sakit?” tanya Raysa dengan polosnya.
“Karena Kakak kemarin seharian tak makan, jadi masuk angin.”
“Adek, kok nggak?”
“Karena lambung Kakak kosong, enggak ada makanan masuk, jadi udara bisa masuk, deh. Enggak ada tenaga juga. Daya tahan tubuh Kakak jadi menurun. Makanya bisa sakit,” ujar ibunya mencoba menjelaskan dengan kalimat sederhana.
“Oh, gitu. Adek kemarin makan, jadi lambungnya ada makanan. Jadi, Adek enggak masuk angin, ya, Bu?”
Ibu mengulum senyum, lantas mengangguk sambil mengusap lembut rambut Raysa.
“Kakak, besok-besok harus makan, ya. Biar nggak masuk angin. Iya, kan, Bu?” ujar Rasya.
Ibunya mengangguk. Lantas menatap Raka dengan hangat. “Sekarang, Kakak istirahat, ya. Biar lekas sehat.”
Raka mengangguk.
“Raka enggak mau sakit lagi, Bu. Besok-besok, Raka enggak akan menunda makan lagi,” ucapnya penuh tekad.
Jatiwangi, Februari 2022
Bionarasi:
Lia Anelia, seorang ibu rumah tangga, ibu dari tiga ananda yang suka bercerita lewat aksara. Saat ini berdomisili di Jatiwangi, Majalengka. Suka menulis sejak akhir 2018. Beberapa tulisannya bisa dilihat di:
Instagram: @jejakzia
Facebook: Lia Anelia
Blog: leeanel.blogspot.com atau anelialine.wordpress.com
Editor: Nuke Soeprijono
Sumber gambar: Pinterest