Akhir Pelarian

Akhir Pelarian

Oleh: Ika Marutha

Bong belum mau mati. Dia tidak mau hidupnya berakhir di tiang gantungan. 

“Tuhan, ampuni dosaku,” ratap Bong setiap malam saat berada di balik jeruji penjara. 

Padahal sebelum merencanakan pembunuhan itu, Bong sudah siap dengan hukuman terberat. Tetapi, semakin dekat dengan hari eksekusi, keyakinannya goyah. Dia tidak mau mati. 

Kesempatan datang akhirnya lewat satu lubang rahasia yang kemudian mengantarkan Bong pada kebebasan. Jantungnya berdegup kencang ketika berhasil membocorkan langit dari luar tembok penjara. 

Belum lama Bong bernapas lega, sirine penjara sudah meraung-raung. Sial karena seorang sipir ternyata melihatnya kabur. Seragam oranye yang dikenakan Bong, memang sengaja dibuat menarik perhatian untuk tujuan itu. 

Bong lari secepat dia mampu, memacu tanpa menoleh ke belakang. 

“Ini adalah perlombaan hidup dan mati,” pikirnya. 

Bong mengambil jalan pintas menuju hutan, menembus semak berduri, tak mengomel-ranting tajam yang melukai wajah dan tangan. Tekad Bong untuk meloloskan diri sedemikian besar hingga tak menyadari jurang di hadapannya. Tubuhnya pun meluncur turun tanpa dapat dia kendalikan.

Kaki dan lengannya patah, pelipisnya sobek, tapi dia tidak menyerah. Gonggongan anjing-anjing pelacak dari jauh membuat Bong semakin panik. Dengan tertatih dia berusaha bangkit. Sambil sebelah sebelah yang patah, Bong berjalan menjauh. 

Harapannya membuncah saat dia melihat sebuah gubuk tua yang tak disangka-sangka keberadaan. Bong berpikir untuk berdiri di sana. 

“Ah, gubuk ini terlalu reyot untuk mengalami manusia. Cuma demit yang mau tinggal di tempat seperti ini,” batin Bong sambil mendekati pintu. 

Tiba-tiba, pintu gubuk terbuka dari dalam diiringi suara kriet yang mengerikan. Bonga terjengkang saking kagetnya. 

“Astaga, demit-nya keluar!” Bong gemetar. 

Bong berdiri mematung, memperhatikan. Mula-mula yang dia lihat dari balik pintu adalah sepasang tangan terulur, menggapai-gapai udara. Kulit tangan itu keriput dan berwarna seperti daun kering. Bong menelan ludah. Dia harus berani. Melawan demit lebih mudah daripada menghadapi kekejaman para sipir penjara atau binatangnya anjing pelacak.

Demit yang Bong menyerupai seorang nenek dengan sepasang mata yang putih seluruhnya. Bong waspada. Tanpa sadar, dia menahan napas ketika sang nenek menoleh ke arah berlawanan. 

“Siapa di sana?” tanya nenek itu dengan suara parau. 

Mendengar suaranya, barulah Bong lega. Nenek itu bukan demit dan dia buta. 

“Perkenalkan, Nek, namaku Bong. Aku pengelana yang tersesat dan terluka karena jatuh dari jurang di hutan.”

Nenek berjalan dengan punggungnya yang bungkuk untuk mendekati Bong. Tangannya meraba-raba wajah Bong, lalu saat mencapai lengan Bong, Bong otomatis mengaduh karena lukanya. 

“Anak muda, kau terluka cukup parah. Ayo, kemari, istirahat dulu di gubukku. Setelah luka-lukamu sembuh, barulah kau melanjutkan perjalanan.”

Bong gembira dan bersyukur. Dia selamat! Andai Nenek itu tidak buta dan bisa melihat seragam penjaranya, pasti tak akan mau menolongnya. 

Nenek buta itu memberikan Bong semua yang dia pinta. Makanan, obat-obatan, bahkan pakaian ganti. 

Kata Nenek, “Ini baju mendiang suamiku, ambillah jika kau mau.”

Bong sangat perhatian terhadap sang nenek. Seumur hidupnya, yang dia tahu hanya mengejar ketertinggalan. Ibunya meninggal saat melahirkannya. Bapaknya, satu-satunya keluarga yang dia miliki, kerap memukulinya dan memakinya dengan kata-kata kasar. 

Saat Bong kecil, bapaknya memaksanya mengemis atau mengamen di perempatan jalan. Beranjak remaja, bapaknya mulai mengajarinya mencuri. Seiring berjalannya usia, peningkatannya semakin meningkat. Berdua, mereka merampok orang-orang kaya. 

Suatu kali ketika mereka mencuri di sebuah rumah mewah, dengan mata kepalanya sendiri Bong menyaksikan bapaknya dengan keji seorang pembantu rumah tangga yang memergoki aksi mereka. Bong merasa lelah. teriak Batinnya. Dia mengenali pembantu itu, seorang wanita paruh baya yang memiliki putri seusia dirinya yang wajahnya sangat menyukai Bong. 

“Cukup, Pak! Jangan! Dia bisa mati.” Bong memohon saat itu.

Mungkin hari itu dia bisa menghentikan kebrutalan bapaknya, entah hari lain!

Setelah kejadian itu, Bong berkata, “Pak, aku mau berhenti jadi perampok.” 

Bapaknya membalas kata-kata Bong dengan tamparan. “Anak kurang ajar! Mau berkhianat kamu, ya?”

“Bukan, Pak! Aku mau kerja wajar saja. Jadi kuli panggul atau buruh, kenapa kenapa.” Bong menjelaskan sambil mengelus-elus rahangnya yang nyeri. 

“Langkahi dulu mayatku! Cuih ! Dasar anak sial! Seumur Anda akan menjadi penjahat! Sama seperti bapakmu ini!”

Bong kabur dari rumah. Meski tak lama kemudian, dia kembali membawa dendam. Selama masa pelariannya, dia menemukan bahwa suatu kehormatan telah merenggut kehormatan putri si pembantu dalam suatu kesempatan. Tak kuatir malu, gadis itu pun bunuh diri. Gadis yang dicintainya diam-diam telah didambakan begitu saja oleh bapaknya.

Bong pulang demi sebuah misi pembunuhan. Dalam kepalanya, sosok bapaknya menghilang berganti iblis. 

Kejahatannya tak akan berhenti, kecuali dia mati, batin Bong. 

Usai membunuh, Bong ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Tak ada apa pun yang mampu meringankan hukumannya. Di mata penegak hukum yang baik, Bong hanya salah satu dari sekian banyak pelaku kriminal yang harus musnah dari muka bumi. 

Sang nenek memperlakukan Bong sebaliknya. Dia menganggap Bong anugerah Tuhan yang dikirim untuk menemani masa-masa orang tuanya. 

“Anak tampan, maafkan aku yang berharap tulang di kakimu tidak tertangkap lagi. Itu hanya karena keegoisanku yang tidak ingin kau tinggalkan.” Sang nenek terkekeh-kekeh, memamerkan giginya yang merah karena sirih. 

Bong tertawa. “Dari mana Nenek tahu, aku tampan? Mata Nenek tidak bisa melihat.”

“Nenekmu ini mampu melihat lebih baik dari semua orang,” ujar Nenek sambil-nepuk lembut pipi Bong. 

“Kalau begitu jangan khawatir, si tampan ini akan menemani Nenek.” Bong kelakar.

Hari-hari damai Bong terusik oleh kunjungan beberapa orang petugas berseragam. Mereka berteriak-teriak di depan rumah sambil mengetuk-ngetuk pintu tidak sabaran. 

Bong sempat melihat mereka dari lubang jendela dan tahu bahwa mereka datang untuk menangkapnya. Dia sudah pasrah, tak lagi berusaha mencari diri. Namun, satu penyesalannya: mengecewakan Nenek yang baik hati dan tulus merawatnya. Ya, Nenek pasti kecewa setelah tahu dia ternyata seorang buronan. 

“Bong, sini! Eh, tidak! Mulai hari ini namamu Suma. Ingat baik-baik!” Nenek memanggil Bong dengan suara rendah. Dia tangan Bong ke dapur kemudian melabur wajah Bong dengan jelaga.

Bong menurut saja meski tidak mengerti apa maksud dari tindakan Nenek. 

“Nek, kami memaksa masuk. Kami meminta seorang buronan bernama Bong. Apa Nenek pernah tahu ada orang asing lewat sini? Memperbesar dia terluka sehingga tidak akan pergi lebih jauh lagi.” Petugas-petugas berseragam itu sekonyong-konyong datang dan menggeledah setiap sudut rumah. Mereka bahkan memeriksa ke balik lemari, seolah-akan Bong bisa melipat tubuhnya dan di sana. 

“Siapa dia?” tanya salah satu petugas menunjuk ke arah Bong yang wajahnya hitam berlumuran arang. 

“Dia Suma, cucuku. Jangan hiraukan! Pikirannya memang begini.” Nenek membuat tanda miring di dahi dengan telunjuknya. 

Mulut Bong menganga mendengarkan Nenek. Reaksi Bong justru membuat para petugas semakin yakin dengan kata-kata Nenek. 

“Kasihan Nenek. Sudah tua, cucunya bodoh pula,” pikir petugas akhirnya memutuskan untuk pergi. 

“Nek?” Setelah mereka berlalu, Bong ingin bertanya, tapi tak tahu mau bertanya apa. 

Nenek hanya tersenyum. “Suma, ayo, kita makan. Siapkan piringnya.” (*)

Banten, Januari 2022

Ika Marutha, wanita kelahiran Serang tahun 1982, menyukai dunia literasi sejak bisa membaca dan baru mulai serius menulis dua tahun terakhir. Beberapa cerpennya telah dicetak dalam beberapa antologi yang ditulisnya bersama dengan penulis-penulis lain. Dia bisa disapa di akun Instagram @Ika_Marutha dan akun Facebook: Ika Marutha.

 

Editor: Imas Hanifah N
Gambar: Pixabay

Leave a Reply