Peran Pengganti

Peran Pengganti

Peran Pengganti

Oleh: Ketut Eka Kanatam

Begitu berhadapan dengan Putu, lidahku terasa kelu. Semua kata-kata yang sudah ada di pikiran buyar seketika. Begitu menatap matanya, aku merasa tidak berdaya, seolah-olah sedang melihat bayangannya di sana.

Sorot matanya persis Ismi. Mulutnya terkunci dengan tatapan yang tajam menusuk, menunjukkan sikapnya yang siap memberontak atas apa pun yang akan ku katakan.

Dulu, Ismi kadang menunjukkan sikap seperti itu kepadaku. Setiap dia merasa keberatan dengan apa yang kulakukan, berhari-hari dia akan mendiamkanku. Ketika aku tanya kenapa bersikap seperti itu, dia hanya akan menatapku dengan tatapan tajam, seolah-olah begitu heran aku tidak mengerti apa penyebab atas sikapnya itu. Aku akan membalas tatapannya sambil bertanya. Kenapa segala kalimat yang biasanya begitu mudah keluar dari bibir tipisnya seketika menghilang begitu saja? Beritahu saja apa salahku seperti biasanya! Apa aku telah salah meletakkan handuk? Apa aku lupa meletakkan gunting kuku di tempatnya? Meletakkan bekas korek kuping sembarangan? Atau ketiduran saat menemani dia menonton sinetron di televisi? Aku merasa, setiap diingatkan oleh dia, segera kuperbaiki saat itu juga. Meskipun besok-besoknya pasti kuulangi lagi kesalahan itu. Bukankah dia sendiri sudah tahu kalau aku memang tidak sanggup melakukan hal-hal yang seperti itu? Aku sering tidak mengerti dengan jalan pikirannya. Kenapa masih saja itu dipermasalahkan?

Begitu mendengar pertanyaanku, bukannya menjawab dan menjelaskan kesalahanku. Dia malahan menatapku semakin sengit. Tiba-tiba saja meraih bantal dan pergi ke kamar Putu.

Begitu melihat gelagat dia seperti itu, aku langsung sadar kalau keadaanku berada dalam situasi yang sangat kritis. Ismi betul-betul sedang marah kepadaku. Meskipun belum tahu apa kesalahanku kali ini, secara spontan aku mengejarnya. Ikut desak-desakkan tidur di kasur anakku. Dengan sepenuh hati kubisikan permintaan maaf kepadanya atas segala khilaf selama ini.

Dia menggeliat begitu aku terus melakukannya sambil menempelkan bibir di telinga dan tengkuknya.

“Nanti Putu bangun, Mas!” suaranya tidak sekeras tatapannya tadi, masih ada harapan kesalahanku akan dimaafkannya. Meskipun dia masih memungunggiku.

“Ayo, kita pindah ke sebelah saja,” ajakku sambil kembali melanjutkan aksi yang semakin sulit ditolaknya.

“Sudah tahu kan, salah Mas apa?”

Kini dia membalikkan badannya, menatapku dengan napas memburu.

Aku hanya bisa menggeleng lemah. Setiap dia mengucapkan kalimat andalannya itu, semua pembelaan diri seketika menghilang dari kepalaku. Aku sering kesulitan menanggapi sikapnya. Cara berpikir kekasih yang sudah mendampingiku selama lima tahun sungguh sulit kutebak.

“Mas lupa dengan hari peringatan pernikahan kita.”

Aku hanya bisa menepuk jidat begitu dia mengatakan hal itu. Pantas saja selama seminggu ini, dia menyambut kepulanganku dari tempat kerja dengan merengut. Aku melupakan hari yang begitu istimewa. Kesalahnku kali ini sangat fatal bagi dia. Aku dengan Ismi memiliki cara menanggapi sesuatu sangat berbeda.

Dia yang begitu perhatian dengan hal-hal yang detail, berbau romantis, sedangkan aku yang tidak pernah memikirkan hal-hal seperti itu.

Sejak mengenal dia dan hidup bersama, hidupku tidak lagi hitam putih. Aku menyukai kecerewetannya. Sifatnya yang ceria membuat hidupku yang kaku menjadi penuh tawa.

Sesekali saja aku merasa tidak tahan, jika keluar ekspresi wajahnya yang ditekuk itu. Jika dia mulai menganggap aku tidak perhatian pada apa yang dianggap penting olehnya.

Untunglah, dia gampang melembut kembali begitu aku meminta maaf. Sorot matanya tidak akan lagi mengeras begitu aku mengaku salah tentang apa pun.

Suara batuk dari sampingku membuat lamunanku seketika buyar. Ibu mertua sedang memelototiku. Sikapnya menunjukkan kalau dirinya sudah tidak sabar lagi menunggu aku segera mengajak bicara Putu.

Aku hanya bisa menarik napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan-lahan. Sangat sulit menahan diri untuk tidak mengenang tentangnya. Duplikat Ismi sedang ada di hadapanku.

Kucoba tegakkan badan ketika Ibu kembali batuk-batuk, seolah-olah sedang memberi alarm kepadaku agar tidak menunda-nunda lagi pembicaraan dengannya.

“Katakan pada Ayah, Nak. Kenapa sekolah kembali memberi surat peringatan seperti ini padamu? Bukankah kamu sudah janji pada Ayah tidak akan berkelahi lagi di sekolah? Apalagi seperti ini, sampai melukai temanmu.”

Aku mencoba bicara dengan nada rendah demi menghindari konfrontasi dengannya. Salah bicara bisa berakibat fatal, mengingat sifatnya yang keras kepala seperti ibunya itu.

Meskipun anakku perempuan, namun sikapnya tidak feminim sama sekali. Sudah berulang kali Ibu bercerita kalau dia membuat keributan di sekolah. Sepertinya, baik teman perempuan maupun laki-laki, pernah merasakan pukulannya.

Jika tahu akan begini jadinya, tidak akan kumasukkan dia ke sanggar bela diri.

Dulu, aku begitu khawatir akan fisiknya yang lemah. Bagaimana nanti dia menjalani hidup jika di luar sana begitu banyak hal berbahaya bisa menimpa dirinya. Setiap selesai sekolah dan les belajar, aku minta dia ikut kursus bela diri. Sebagai orang tuanya, aku merasa lebih tenang jika dia mengisi hari-harinya dengan kegiatan positif dan berguna untuk hidupnya. Aku pun merasa nyaman bekerja karena tahu anakku tidak keluyuran.

Ternyata, ada efek samping dari kemampuan yang telah dikuasainya itu. Putu menjadi berani melawan siapa pun. Lihat saja cara dirinya saat menatapku. Dia seperti menjelma menjadi anak pembangkang.

“Ayah sudah bilang berulang kali sama kamu. Ilmu bela diri itu bukan untuk melukai orang lain. Namun, buat benteng bagi dirimu sendiri dan tentunya menolong orang lain yang membutuhkan.”

Melihat dia melengos begitu mendengar nasihatku, aku merasa sakit di dada. Kembali terngiang-ngiang pesan Ismi untuk menjaga dan merawat Putu dengan baik. Sepertinya, aku telah gagal menjalankan amanatnya.

Selama ini, aku mempercayai segala didikan yang diberikan Ismi kepadanya. Perkembangan Putu sangat baik. Ada senyum di wajah mereka setiap aku tinggalkan bekerja. Begitu juga kala menyambutku sepulang dari kerja. Pelukan hangat mereka membuatku bisa tertawa lepas. Namun, kebersamaan itu hanya bisa kunikmati selama tujuh tahun.

Kebahagiaan itu terenggut dari hidupku. Aku tidak menyangka sama sekali, Ismi akan pergi untuk selamanya. Dia meninggalkanku untuk mengurus Putu sendirian.

Aku tidak tahu harus melakukan apa pada putri kecil kami. Entah berapa kali aku mengganti pengurus rumah agar Putu terutus dengan baik.

Tidurku tidak pernah nyenyak lagi. Masalah di rumah dan di tempat kerja mengepungku.

Aku yang tidak punya pengetahuan bagaimana mengurus anak pada akhirnya mengurus Putu berdasarkan naluri saja. Semua kebutuhannya kupasrahkan kepada pengurus rumah tangga. Satu per satu mereka mengundurkan diri setelah beberapa bulan mengurus putriku.

Di saat aku kebingungan, datang pertolongan tidak terduga. Kala bapak mertua menyusul Ismi, Ibu memilih tinggal denganku agar bisa mengurus cucu.

Sejak saat itu, aku tidak lagi merasa gelisah saat bekerja. Putu menjadi jauh lebih tenang saat berada di tangan Ibu. Tidurku kembali lelap. Tidak ada lagi rasa was-was setiap akhir bulan pembantu rumah tanggaku berpamitan.

Aku kembali sibuk mencari nafkah, memperbaiki mesin-mesin yang mengalami kerusakan sesuai keahlianku.

Ternyata, ketenangan itu hanya sementara kurasakan. Begitu Putu masuk ke sekolah menengah pertama, dia mulai melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar peraturan. Semakin lama, Ibu semakin kewalahan mengatasinya. Pada akhirnya, beliau memintaku agar bicara dari hati ke hati dengan Putu. Sudah begitu banyak keonaran yang dilakukannya.

Harapan Ibu untuk membuat dirinya mengerti nasihatku sepertinya sulit terwujud. Bukannya memberi penjelasan atas segala perbuatannya dan meresapi nasihatku. Dia malahan bangun dari tempat duduknya. Meskipun tanpa berkata apa-apa kepadaku. Namun, gerakannya yang begitu kasar sampai kursi yang didudukinya bergeser telah membuatku paham atas isyaratnya.

“Siapa yang mengizinkan kamu untuk pergi? Ayah belum selesai bicara!”

Spontan kupegang tangannya. Tidak akan kubiarkan dia pergi dengan masalah yang belum tuntas di antara kami.

“Kenapa Ayah baru bertanya sekarang kepadaku? Ke mana saja Ayah selama ini? Sewaktu aku diolok-olok sama mereka? Aku selalu dibilang anak pembantu oleh mereka, Yah!”

Tatapan kami bertemu. Aku tertegun mendengar ucapannya. Kenapa aku merasa seperti sedang digugat oleh dirinya?

Selama ini, aku memasrahkan dirinya kepada Ibu. Beliau bisa mengurus dirinya dengan baik, sama seperti yang dulu dilakukan oleh Ismi.

Aku menyerah, aku tidak bisa mengurus dirinya dengan baik. Bagiku, lebih baik berhadapan dengan sejumlah mesin yang rusak dan segera menemukan bagian-bagian yang bermasalah agar bisa diperbaiki dengan segera sehingga bisa beroperasi lagi dengan baik. Namun, begitu berhadapan dengan Putu, aku merasa mati kutu. Aku tidak tahu harus melakukan apa dengan dirinya.

Begitu mendengar ucapannya, aku terhenyak. Apakah yang dilakukannya selama ini adalah suatu pemberontakan kepadaku? Sikap diamku telah disalah artikan oleh dirinya.

Putu pergi meninggalkanku. Suara pintu dibanting membuatku hendak memburunya kembali.

“Sabar, ya, Nak Arim ….”

Tepukan lembut di punggung membuatku sadar bahwa masih ada Ibu di sisiku.

“Sepertinya, aku sudah gagal jadi ayah yang baik untuk Putu, Bu.” Aku terduduk dengan lemas.

“Jangan berkata seperti itu, Nak Arim. Bukankah hasil pembicaraan kalian tadi sudah cukup baik? Putu sudah mau mengatakan apa yang dirasakannya selama ini pada Nak Arim.”

Aku kaget dengan cara berpikir Ibu. Aku menatapnya tanpa mampu berkata-kata.

“Ya, Nak. Ibu pikir, Putu sudah menunjukkan apa masalah yang sedang dihadapinya. Saat Ibu bertanya sama dia, mulutnya terkunci. Namun, begitu Nak Arim yang mengajak bicara dia langsung mengatakannya. Meskipun semua diungkapkan dengan suara keras dan penuh amarah. Namun, Ibu merasa senang, dia bisa mengungkapkan apa yang selama ini dipendamnya. Tinggal kini Nak Arim saja, bagaimana menanggapinya.” Sorot matanya begitu teduh, tidak ada kesan sedang menghakimiku.

“Aku tidak tahu harus melakukan apa, Bu.” Aku menatap Ibu memohon pertolongan. Cara beliau menanggapi sikap Putu telah membuatku yakin kalau beliau tahu cara memecahkan masalah di antara kami. Beliau telah membesarkan Ismi dengan sangat baik. Keheningan menyergap di antara kami. Aku terus menatap beliau, berharap segera mendapat jawaban.

“Ibu sudah berulang kali mengatakan pada Nak Arim agar meluangkan waktu berdua dengan Putu.” Setelah menunggu dengan tegang, akhirnya Ibu mau mengatakan sesuatu.

“Aku sibuk di hotel, Bu. Aku juga percaya dengan cara Ibu mengasuh Putu. Semua sudah terbukti pada Ismi.”

Ibu menggeleng begitu mendengar ucapanku.

“Sebaik apa pun cara Ibu mengurus Putu, tetap saja pengasuhan dari ayahnya sendiri akan jauh lebih baik buat dirinya. Bukankah Ibu pernah bilang sama kamu, Nak? Bagaimana Putu bolak-balik bertanya kepada Ibu, kapan kamu akan pulang dari hotel? Dia ingin menunjukkan sesuatu padamu. Dia ingin bercerita denganmu, Nak. Kalau itu, Ibu tidak pernah bisa menjawab pertanyaannya dengan baik. Putu sangat kesepian, Nak. Dia merindukan pelukan darimu. Dia ingin merasakan kalau dirinya dicintai oleh ayahnya.”

Suara Ibu bergetar penuh perasaan, membuatku hanya bisa menunduk menyadari kesalahan fatal yang telah kulakukan selama ini. Aku kehilangan Ismi. Namun, anakku telah kehilangan kami.

Bali, 15 Januari 2022

Ketut Eka Kanatam. Penyuka warna ungu. Guru TK yang ingin tulisannya dibaca oleh semua anak didiknya.

Leave a Reply