Topeng dan Anjing
Oleh: Karlina
Aku hidup di dalam layar, berpose sesuai arahan. Tersenyum saat mereka meminta. Terbahak meski tak ada yang lucu.
Hidupku dimulai dari gang sempit tempat pembuangan sampah birahi tikus dan kucing terlantar. Benihku berasal dari musafir yang wujudnya bagai anjing, menggonggong dan bercinta bersama betina yang ditemui di perjalanan.
Sembilan bulan aku berjuang dalam lindungan plasenta yang dikikis berbagai macam obat dan jamu. Katanya aku kuat bahkan sebelum menghirup oksigen. Katanya, hanya katanya.
Perempuan berbibir merah di gang sempit itu telah meregang nyawa, membawa duka dari si anjing musafir dan meninggalkan sisa kehidupan yang mencetak salinan dirinya dan sang anjing.
Aku berada di sini, dalam layar yang penuh cahaya. Silau lampu yang merekam setiap perjalananku, mengulik seluruh pori-pori kehidupanku. Aku merasa telanjang di pinggir jalan meski pakaian membalut ragaku.
Mereka mengejar bersama lampu-lampu yang terus menembak. Aku beri mereka senyum, kadang pula lambaian. Rentetan tanya mereka lemparkan kepadaku, menusuk kepala dan hatiku.
Kata-kata mereka rangkai bersama gambar wajahku. Berlembar-lembar kisah mereka tulis tentangku. Di depannya tercetak jelas dengan berbagai tajuk.
Mereka bilang teruslah tersenyum. Tunjukkan bahwa kamu bahagia. Dengan begitu kamu akan memiliki segala yang ingin orang lain miliki.
Meja itu adalah tempat istirahatku, tepat di sudut layar yang kedap akan tembakan lampu mereka. Di atasnya telah aku tata topeng-topeng yang akan aku kenakan sesuai dengan permintaan mereka.
Ada kalanya aku memakai topeng dengan senyum manis yang membuat mereka memuji. Kadang pula aku mengenakan topeng dengan kerlingan manja yang menciptakan tulisan bahwa aku sama sundalnya dengan perempuan berbibir merah di gang sempit itu.
Apa aku memang seperti yang mereka katakan?
Dari cermin itu, aku tidak melihat sosok yang mereka maksudkan. Aku hanyalah perempuan berambut hitam biasa yang tidak menarik tanpa topeng. Perempuan dengan segala cacat sejak awal kehidupannya. Akulah anak perempuan itu. Perempuan sial yang dikawini paksa oleh seorang anjing.
Berliter-liter air mata telah membasahi pipiku. Sebagian mengering bersama angin, sisanya membasahi bantal yang sering kutiduri.
Topeng-topeng pun berjejer di tembok kamarku. Kamar yang hanya ada diriku. Saat bertemu dia, aku memilih salah satu di antaranya. Saat dengan dia yang lain, aku memilih topeng yang lain.
Anjing-anjing itu, matanya menyala, lidahnya terjulur dengan liur yang tumpah-tumpah, setiap kali aku lewat di depan mereka. Bau liurnya yang seperti bangkai bersatu dengan lumpur yang berada di atas kaki-kaki mereka. Jenis yang paling menjijikkan dari makhluk yang katanya diciptakan untuk memimpin.
“Dia anak itu.”
“Anak celaka itu?”
“Sepertinya dia tidak tahu asalnya yang berlumpur.”
Aku mendengar banyak kisah tentang asal-muasalku sedari usia berupa satu angka. Semua seragam, seolah-olah kisah itu telah didongengkan dari generasi ke generasi.
Di antara semua kata yang kian menusuk, aku tidak akan pernah lupa ucapan perempuan yang berkian kali ingin melenyapkanku.
“Harusnya kamu tidak pernah bernapas!” Begitulah yang aku dengar darinya sebelum nadinya mengeluarkan banyak pewarna merah yang mengubah warna air di bak mandi.
“Buka mata lebih lebar!”
“Berlenggak-lenggok!”
“Lihat ke sini!”
Perintah-perintah itu terus kuturuti. Hidupku seperti tidak ada arti. Keinginanku bukanlah sesuatu yang harus dipandang. Kepura-puraan menjadi sahabat yang paling mengerti akan diriku.
Aku masih menyukai topeng-topeng itu. Namun, sudah beberapa kali purnama, aku tidak mengenakannya lagi. Aku memilih hidup dalam ruangan gelap di sudut terjauh dunia.
Anjing-anjing itu berhasil menyergapku. Lidah penuh liur mereka menjamah setiap jengkal tubuhku. Aku bisa mencium bau bangkai di setiap kulitku. Jika kubersihkan tujuh kali dengan air dan tanah pun, suciku tidak akan kembali.
Kata mereka, mereka telah lama menanti. Memberi kode berupa gonggongan nyaris setiap hari, tetapi telingaku disumpal batu. Katanya, aku harusnya bersyukur karena mereka adalah anjing-anjing berkuasa. Kuasa mereka bisa melingkupiku.
Mereka kini berkata bahwa aku serupa perempuan bergincu merah di gang sempit itu. Kami sama-sama korban anjing-anjing birahi.(*)
15 Januari 2022
Karlina adalah seorang pencinta hujan dan langit mendung. Mencintai tulisan berkat koran bekas pembungkus. Dia telah mewujudkan mimpi untuk membuat tulisan yang akan dinikmati oleh orang lain.
Editor: Inu Yana
Sumber gambar: https://images.app.goo.gl/vWWFc9iZboU2i9VJ7