Mencari Ibu

Mencari Ibu

Mencari Ibu

Oleh: Umi Satiti

 

“Kamu bukan anakku!” Perempuan berdaster biru mendorong tubuh Santi hingga lebih jauh dari tempatnya berdiri. “Anakku hanya dia dan dia!” Ia menunjuk dua anak yang usianya lebih muda dari Santi.

 

Ke sekian kalinya Santi hanya menunduk setiap kali ibunya marah. Tidak ada air mata yang jatuh, Santi sudah terbiasa. Tanpa pembelaan dan tidak pernah ada yang sanggup membelanya. Bahkan bapaknya sendiri tidak bisa berbuat apa-apa setiap kali kata-kata sang ibu menguliti perasaan Santi.

***

Kaki Santi menelusuri jalanan, entah ke mana arah yang dia tuju. Sesekali dia berhenti jika telah lelah. Kadang mencari musala atau masjid untuk menghilangkan dahaga dengan menelan air dari kran yang biasa digunakan untuk wudu.

 

Seakan tuli, Santi tidak pernah menjawab pertanyaan orang-orang yang dia temui. Berulang kali dia juga menolak bantuan orang yang akan mengantarkannya ke tempat tujuan. Hatinya resah, ponsel yang dia dapatkan dengan susah payah dari mengumpulkan uang jajan disita ibunya. Santi tidak bisa lagi mengikuti pembelajaran daring dari sekolah. Dia sudah mencoba membujuk bapaknya, tetapi tidak ada hasil. Ponsel Santi seakan telah kehilangan pemilik dan Santi kehilangan satu-satunya hiburan dalam hidupnya, sekolah.

 

“Ibumu hamil saat seusia dirimu.” Suara itu kembali terngiang di telinga Santi. Suara tetangga yang dengan sukarela bercerita apa pun tentang ibunya.

 

Santi menutup telinga, seolah ingin suara itu hilang, tetapi pemilik suara yang sama masih meninggalkan jejak ingatan di kepala Santi. “Ibumu itu berasal dari keluarga pegawai yang berkecukupan. Sementara bapakmu hanya anak petani kecil yang hasilnya tidaklah seberapa. Bapakmu hanya tamatan sekolah menengah atas dan ibumu harus putus sekolah sebelum menyelesaikan pendidikan sekolah menengah pertamanya.”

 

Sebagai anak perempuan, Santi tidak pernah menjawab setiap kali tetangganya membicarakan tentang ibu dan bapaknya. Hatinya sudah penuh dengan aib yang selalu saja terdengar tanpa dia minta. Teriakan ibunya, juga pekerjaan-pekerjaan rumah sudah membuat Santi terlalu sakit. Bahkan Santi tidak ingat, sejak kapan dia menghabiskan malam di rumah neneknya. Tidak ada lagi tempat di rumah ibu dan bapaknya. Hanya saja ibunya selalu datang dan memasung Santi dengan pekerjaan-pekerjaan rumah layaknya seorang pembantu.

 

Sudah hampir seharian Santi berjalan, tubuhnya yang tidak terisi makanan kini mulai lemas. Ia beristirahat di sebuah pos ronda. Orang-orang di kampung itu sudah banyak yang mengincarnya. Santi sudah tiga kali berkeliling kampung itu, sudah banyak orang yang beranggapan bahwa Santi sedang mencari target untuk aksi kejahatan.

 

Seorang lelaki menghampirinya, mengarahkan jari telunjuknya ke badan Santi lalu ke arah sebuah gapura yang tertulis “Selamat Jalan”. Santi hanya diam mematung. Dia tidak menjawab suara lelaki itu yang memintanya untuk pergi. Lelaki itu kembali memperingatkan Santi dengan suara yang lebih tegas, tetapi hasilnya sama.

 

Pandangan mata santi memang tertuju pada gapura bertuliskan “Selamat Jalan” tetapi kakinya sudah tidak sanggup lagi diajak melangkah. Ia lapar, tubuhnya lemas. Lantas diliriknya lelaki yang tadi mengusirnya. Lelaki yang kini telah duduk di sampingnya dengan wajah yang lebih bersahabat.

 

“Kamu sudah keliling kampung ini tiga kali, Nduk. Orang-orang sudah khawatir, belakangan banyak maling dan penculik anak marak dibicarakan. Sebenarnya apa yang kamu cari, Nduk?”

 

Nduk, sapaan itu membuat Santi sedikit lebih nyaman. Sapaan yang biasa diberikan orang tua untuk anak perempuannya. Sapaan ini juga biasa diberikan oleh orang yang lebih tua kepada anak perempuan, biasanya karena sudah akrab atau untuk penghormatan karena baru mengenal.

 

“Kamu mencari siapa, Nduk? Mungkin Bapak bisa bantu menunjukkan rumahnya,” kata lelaki itu dengan penuh keramahan.

 

“Ibu,” jawab Santi lemas.

 

“Siapa nama ibumu? Di mana rumahnya?” tanya lelaki itu, tetapi Santi hanya menggeleng. Lelaki itu mendesah.

 

“Siapa namamu, Nduk?”

 

Santi hanya diam. Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya pun tidak ada jawaban. Santi tidak menceritakan siapa dirinya. Dia juga tidak membawa tanda pengenal atau sesuatu yang menunjukkan daerah asalnya.

 

Lelaki itu membawa Santi ke rumah ketua RT. Gadis itu kembali mendapatkan pertanyaan serupa tentang identitas dirinya, tetapi sama, tidak ada jawaban. Orang-orang mulai berkerumun dan mencari tahu apa yang terjadi dengan Santi. Tidak seorang pun orang di kampung itu mengenalnya.

 

“Sini, Nduk, ikut Ibu. Kita makan dulu ya, kamu pasti lapar,” ajak seorang perempuan sambil mengusap rambut Santi. Sebelah tangannya memegang piring berisi nasi, sayur bayam, sepotong tempe goreng, dan telur ceplok. Seorang anak seumuran santi menyusulkan segelas air putih dan secangkir teh hangat lantas meletakkannya di atas meja, tetap di depan Santi. Perempuan itu memberi isyarat agar orang-orang keluar rumah, tidak membuat kerumunan dan keributan yang membuat Santi tidak nyaman.

 

Usai menghabiskan sepiring nasi dan secangkir teh hangat, perempuan itu mengajak Santi bercerita. Hanya obrolan ringan seputar makanan yang merembet kepada perjalanan yang telah dilakukan Santi seharian ini.

 

“Ibu.” Santi menjeda ucapannya. “Aku mencari ibu,” lanjutnya.

 

Perempuan itu tersenyum sambil mengusap rambut Santi yang lengket oleh keringat.  Ingatannya tertuju pada berita anak hilang yang siang tadi beredar di sosial media. Diamati lagi wajah Santi, lalu dia tersenyum, “Nanti kami antar pulang, ya?” Sebuah ponsel ditunjukkan pada Santi. “Ini ibu dan bapakmu, bukan?”

 

Seketika itu Santi langsung berdiri dan mencoba berlari, tetapi perempuan itu lebih cepat dan berhasil memeluk Santi. “Kamu kenapa, Nduk?”

 

“Kamu bukan anakku!” Suara itu kembali muncul memenuhi ingatan Santi. Berulang dan terus berulang.

 

Santi menangis. Tidak ada yang dia ucapkan selain suara tangisan yang semakin tergugu hingga dia lelah menangis. “Santi mau punya ibu, tapi Santi tidak mau pulang,” ucapnya sambil tetap memeluk erat perempuan yang telah memberinya makan.(*)

 

Karanganyar, 13 Januari 2022

 

Umi Satiti, lahir di Karanganyar pada tahun 1990. Aktivitas sehari-harinya menemani anak-anak belajar di Sekolah Luar Biasa Rahmawati Kholid. Penulis juga mengelola Taman Baca Masyarakat Forum Muda Prakarsa yang ada di desa kelahirannya.

 

Editor: Inu Yana

Sumber gambar: https://images.app.goo.gl/98NJTY7gbQFN5hH46

 

 

 

 

Leave a Reply