Alifa dan Kirana
Oleh: Rizki Nur Ismi
Matahari bersinar cerah dan langit terlihat bersih tanpa awan putih yang tersebar seolah-olah mendukung sang surya untuk menghangatkan bumi. Namun, itu semua tak menyurutkan semangat penduduk salah satu kota metropolitan di Indonesia untuk mencari sesuap nasi. Terlihat beberapa orang remaja tanggung dan anak-anak berusia sekitar sembilan tahun berkumpul di salah satu sudut jalanan. Mereka memandang berbagai kendaraan yang melintas, menunggu hingga lampu lalu lintas berganti warna menjadi merah. Di saat itulah mereka ‘bekerja’ mengais rezeki. Beberapa ada yang menjadi pedagang asongan, penjual koran, pembersih kaca mobil, dan sebagian lagi menjadi pengamen dengan bermodalkan alat musik sederhana buatan sendiri.
Beberapa detik menjelang warna berganti menjadi hijau, mereka yang berada di antara para pengemudi itu kembali ke tempat mereka berkumpul. Mereka sedikit bercakap-cakap menceritakan hasil yang didapat dalam waktu kurang lebih satu menit. Ada yang mendapat hasil lumayan banyak tetapi ada juga yang tidak mendapatkan sama sekali. Salah seorang di antara mereka, Alifa, termasuk yang tidak mendapatkan hasil sama sekali. Bocah kecil berusia sembilan tahun itu menatap nanar kantong plastik bekas permen yang ada di tangannya. Raut kecewa terlihat di wajahnya karena hingga siang ini ia sama sekali belum mendapatkan hasil dari mengamen.
Tepukan lembut mendarat di bahu kecil Alifa, ia lalu mendongak melihat siapa yang baru saja menepuk bahunya. Salah satu temannya, Asti, tersenyum ke arah Alifa seakan-akan memberi semangat pada anak yang lebih muda darinya itu. Alifa yang mendapatkan dukungan dari temannya itu pun menyunggingkan senyuman seolah-olah mengatakan jika ia akan kembali bersemangat. Bocah kecil bernama lengkap Alifa Rahmawati Karima ini adalah yang paling muda di antara teman-temannya. Ia terpaksa putus sekolah karena keadaan ekonomi keluarganya yang makin memburuk. Alifa hanya tinggal dengan ibunya saja yang bekerja sebagai seorang pemulung. Namun, sekalipun Alifa putus sekolah, tak menyurutkan semangat gadis kecil itu dalam menuntut ilmu. Setiap seminggu sekali, Alifa pasti akan menyempatkan diri pergi ke perpustakaan kota untuk membaca dan belajar. Alifa melakukan itu karena jika suatu saat nanti ia dapat melanjutkan kembali sekolahnya, ia tak terlalu banyak mengejar ketertinggalannya.
***
Sebuah kafe yang berada di daerah Dago itu terlihat ramai meski di siang hari. Kafe yang mengusung tema library cafe ini memang di desain bagi para pencinta buku. Tempatnya yang nyaman membuat siapa pun betah berlama-lama di sana meski hanya sekedar untuk membaca buku.
Di salah satu sudut kafe, ada seorang gadis yang sedang berkutat dengan berbagai laporan dan naskah novel yang masih belum selesai. Gadis itu terlihat sedikit stres karena semua pekerjaannya yang menumpuk. Akhirnya, gadis tersebut memilih untuk merebahkan kepalanya di meja dan menatap kafe miliknya yang sedang ramai.
“Rame, ya,” gumam gadis itu dengan netra yang bergulir melihat keramaian kafe.
“Mbak Kiran,” panggil salah satu pelayan kafe yang datang menghampiri.
“Ya,” sahut gadis itu, tanpa mengubah posisinya. “Kenapa, Mbak?”
“Itu … Mbak, persediaan kopi udah tinggal sedikit,” jawab pelayan kafe sedikit ragu. “Tapi, bagian persediaan lagi pada keluar semua buat beli bahan-bahan kue.”
“Oh, ya udah aku aja yang beli, Mbak,” jawab Kirana dengan senyum merekah sekaligus membenarkan posisi duduknya. “Aku mau sekalian menyegarkan pikiran, soalnya buntu banget buat ngerjain laporan sama naskah.”
“Tolong dicatetin kopi apa aja yang udah tinggal sedikit ya, Mbak. Biar aku belinya sekalian,” lanjut gadis itu.
“Oke, Mbak, tunggu sebentar, ya,” jawab pelayan kafe sembari berbalik meninggalkannya.
“Hmm,” balas Kirana seraya mengangguk.
Kirana Zakia Fadheela, gadis berusia tiga puluh tahun tersebut adalah pemilik Library Cafe. Gadis tersebut mendirikan kafe ini bersama sang kakak. Namun, yang lebih sering mengelola kafe ini adalah Kirana dibandingkan sang kakak yang bekerja sebagai general manager di perusahaan ternama. Kiranalah yang mengusulkan tema library cafe kepada sang kakak dan karena kecintaannya pada buku. Ia juga ingin membuat tempat yang nyaman bagi para pencinta buku lainnya.
Tak lama setelah salah satu pelayan kafe memberikan daftar persediaan kopi yang tinggal sedikit pada Kirana, ia segera beranjak pergi. Semua pekerjaannya langsung ia bereskan dan memasukkannya pada tas lalu membawanya pergi. Bagi Kirana, jika ia merasa buntu dalam mengerjakan pekerjaan, lebih baik pergi dulu untuk mencari udara segar.
Kirana melajukan mobil kesayangannya membelah kota Bandung untuk membeli kopi di tempat ia biasa membelinya. Pandangan gadis itu fokus pada jalan di depannya. Kakinya menginjak rem kala dilihatnya lampu lalu lintas berwarna merah. Netranya beralih ke arah beberapa anak jalanan yang bekerja menjadi pengamen. Salah satu anak kecil yang Kirana perkirakan berusia sekitar sembilan atau sepuluh tahun menghampiri mobilnya. Anak kecil tersebut mulai bernyanyi lagu yang sedang naik daun saat ini.
Kirana merasa iba ketika melihat anak tersebut dari balik jendela mobil. Tangan Kirana mencari dompet kecil yang selalu disimpannya dalam laci dashboard dan mengambilnya. Gadis itu menarik selembar uang berwarna merah dan memberikannya pada pengamen itu. Bocah cilik yang sedang bernyanyi itu menerimanya dengan mata membulat saat melihat berapa nominal uang yang diterimanya.
“Kak,” panggil pengamen cilik itu. “Ini banyak sekali.”
“Gak apa-apa, itu buat kamu,” ujar Kirana tersenyum.
“Waah, makasih banyak, Kak,” ucap pengamen cilik itu penuh rasa syukur. “Alifa doain rezeki Kakak selalu mengalir lancar dan penuh berkah.”
“Aamiin.”
Bersamaan dengan itu, lampu lalu lintas berubah menjadi hijau dan Kirana melajukan mobilnya kembali membelah jalanan Kota Bandung.
***
Langit biru Kota Bandung perlahan berubah menjadi jingga. Seorang anak melangkah dengan senyum tersungging di wajahnya. Beberapa orang yang mengenal anak itu menyapanya dan dibalas dengan senyuman tulus. Anak itu tak menyangka jika hari ini adalah hari keberuntungannya. Benar apa yang sering dikatakan oleh ibunya jika ia harus selalu banyak bersyukur. Karena dengan bersyukur, Allah akan memberi rezeki yang berlipat. Bahkan ibunya juga yang mengajarkan Alifa untuk selalu berbagi kepada sesama.
Di salah satu pemukiman padat penduduk di Kota Bandung, ada sebuah rumah sederhana yang nampak masih berdiri dengan kokoh. Walaupun demikian, di beberapa bagian rumah itu sudah terlihat ada yang rusak. Sesosok wanita paruh baya yang sedang memilah beberapa barang terlihat di teras rumah tersebut. Ia tersenyum ketika matanya menangkap seorang anak sedang berjalan ke arahnya. Wanita itu makin tersenyum saat anak yang dilihatnya menjadi berlari kecil ke arahnya.
“Bu,” anak kecil itu memanggil wanita tersebut sesaat setelah ia berada di depannya. “Coba tebak hari ini Alifa dapet apa?”
“Hmm, apa ya?” tanya wanita itu seraya berpikir. “Ehm, hari ini sepertinya Alifa dapat rezeki yang tak terduga. Bener gak?”
Mata Alifa membulat saat mendengar jawaban ibunya. Tangan Alifa menutup mulutnya menggambarkan betapa terkejutnya gadis cilik tersebut.
“Kok jawabannya bisa bener, Bu?” tanya Alifa yang masih tak percaya.
“Bisa, dong,” jawab Lastri, sang wanita paruh baya. “Udah kamu keluarkan sedekahnya belum?”
“Belum, Bu.” Alifa menjadi sedikit murung saat menjawab pertanyaan ibunya. “Besok boleh?”
“Boleh.” Lastri tersenyum lembut menjawab pertanyaan anaknya seraya mengelus rambut gadis cilik itu. “Yang penting kamu ingat untuk bersedekah tiap kali mendapat rezeki, berapa pun dan dalam bentuk apa pun. Jangan lupa juga untuk selalu bersyukur.”
“Iya, Bu. Alifa pasti akan selalu ingat kata-kata Ibu.”
***
Bandung siang ini tiba-tiba saja diterpa hujan lebat dengan angin kencang. Banyak orang yang memilih untuk berteduh di bawah jembatan, halte, atau emperan toko hingga hujan sedikit mereda. Kirana yang saat ini sedang tak mengendarai mobil dan memilih untuk menggunakan motor pun ikut berteduh bersama pengendara lainnya. Gadis itu mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Tak sengaja ia melihat sebuah tempat yang bisa digunakan untuk duduk sekaligus berteduh. Ia pun langsung melajukan motornya dengan pelan menuju tempat itu.
Di samping tempat Kirana duduk, terdapat beberapa anak kecil dan remaja tanggung yang sedang berkumpul. Tubuh mereka basah terkena terpaan hujan. Kirana yang melihat itu merasa iba. Tangannya segera mencari gawai yang disimpannya dalam tas, lalu membuka aplikasi pesan dan mengetik sebuah pesan pada pegawainya. Netranya tak sengaja menatap sosok anak kecil yang kemarin mengamen di samping mobilnya. Tangan Kirana melambai, memanggil anak itu untuk mendekat.
Alifa yang melihat jika ada seorang gadis melambai ke arahnya pun berjalan menghampiri gadis tersebut. Kemudian, ia mengenyakkan dirinya di samping perempuan yang telah memanggilnya tadi. Alifa tersenyum. Ia ingat jika perempuan di depannya ini adalah orang yang sama dengan yang memberinya selembar uang berwarna merah tempo hari.
“Ada apa, Kak?” Alifa bertanya dengan sopan.
“Kamu gak kedinginan?” tanya Kirana mengabaikan pertanyaan Alifa.
“Kedinginan, Kak, tapi Alifa udah biasa.”
“Kamu gak sekolah?”
“Maunya sekolah, Kak, tapi Alifa terpaksa berhenti,” jawab Alifa. “Jadi, dari pada gak ngapa-ngapain, Alifa bantu Ibu aja buat nyari uang, Kak.”
Hujan yang belum juga reda membuat Alifa dan Kirana bercakap-cakap tentang banyak hal. Kirana merasa takjub saat mendengar cerita Alifa yang tetap semangat belajar meski ia telah putus sekolah. Di tengah hujan yang masih melanda itu, ada seseorang yang menghampiri Kirana dengan membawa beberapa bungkus makanan. Kirana pun menerimanya, lalu langsung menyerahkannya pada Alifa. Gadis cilik tersebut terkejut dengan banyaknya makanan yang diberikan oleh Kirana. Kemudian ia izin untuk memberikan makanan itu pada teman-temannya.
Tak lama, Alifa kembali duduk di samping Kirana dan kembali bercakap-cakap. Kirana tertegun kala ia mendengar jika Alifa selalu bersyukur sekalipun tak mendapat uang sama sekali dalam sehari. Gadis berusia tiga puluh tahun itu tak menyangka jika masih ada orang yang mengutamakan untuk menerapkan nilai-nilai agama. Kirana merasa tertampar karena ia kalah dari seorang anak kecil yang menjadi pengamen, tetapi tetap rajin beribadah.
Hujan kini telah mereda, Kirana pun bangkit dari duduknya dan mulai menaiki motornya. Tak lupa ia berpamitan pada gadis kecil yang mengajarkan banyak hal padanya selama kurang lebih tiga jam. Kirana melambaikan tangan pada Alifa, gadis kecil yang tak pernah patah semangat untuk selalu belajar meski telah putus sekolah. Gadis cilik yang mengajarkan Kirana untuk selalu bersyukur.
***
Seminggu telah berlalu sejak Kirana bertemu dengan Alifa. Beberapa perubahan kecil terjadi pada dirinya. Ia kini mulai belajar untuk memperbaiki ibadahnya. Saat ini, Kirana sedang melihat informasi tentang beberapa sekolah, ia berniat untuk mendaftarkan Alifa dan teman-temannya di sekolah-sekolah itu sesuai dengan usia mereka. Hal itu Kirana lakukan karena ia ingin mereka mendapatkan pendidikan yang layak. Setelah Kirana memutuskan sekolah mana saja yang dipilihnya, ia pun beranjak menuju tempat di mana Alifa dan teman-temannya biasa berkumpul.
Sesampainya Kirana di tempat Alifa dan teman-temannya berada, ia di sambut baik oleh mereka. Setelah Kirana duduk di antara mereka, ia pun menyampaikan niatnya tersebut dan di sambut dengan bahagia oleh anak-anak itu. Alifa dan teman-temannya tak menyangka jika mereka akan dapat kembali bersekolah. Kirana yang melihat wajah bahagia anak-anak tersebut pun turut senang. Ia bersyukur karena saat itu ia memilih untuk duduk di dekat tempat mereka berkumpul dan mengenal Alifa. Karena dari Alifa, Kirana belajar banyak terutama tentang pentingnya untuk selalu bersyukur. (*)
Cirebon, 8 Januari 2022
Rizki Nur Ismi, gadis yang akrab disapa Mii ini adalah penggemar KPop sejak 2008. Gadis penggemar cokelat, nasi goreng, dan hobi membaca ini selain menulis juga aktif berkegiatan di Extraordinary ARMY (@xarmy.official) sub unit dari komunitas Extraordinary Korean Wavers (@xkwavers). IG : @myun17
Editor: Inu Yana
Sumber gambar: https://www.hipwee.com/motivasi/apa-dunia-baik-baik-saja-coba-lihat-lukisan-ini/