Sepi, Rana, dan Seorang Bocah

Sepi, Rana, dan Seorang Bocah

Sepi, Rana, dan Seorang Bocah

Oleh: Whed

 

Perempuan yang panjang rambutnya sebahu dan sedikit bergelombang itu bernama Kirana Ayu, tetapi lebih sering dipanggil Rana, bukan Kiran atau Ayu. Sebab, orang-orang tahu bahwa hidup wanita itu selalu merana. Apalagi, akhir-akhir ini—sudah sekitar satu mingguan—wanita itu sering melamun di teras dengan boneka gajah di pangkuan. Dia menatap jalanan berlama-lama hingga senja dan ketika ada seseorang yang kebetulan lewat menyapa, wanita itu tidak langsung merespons.

 

Sore ini sore kedelapan wanita itu menatap jalanan. Pandangannya kosong. Tangannya yang putih mengusap kepala boneka gajah berwarna cokelat di pangkuannya. Boneka itu sudah menjadi temannya sejak dia tak bisa bertemu lagi dengan Gagah, anak kecil yang ditemuinya di pasar. Ah, tentu saja nama Gagah hanyalah panggilan yang dia buat sendiri untuk menyebut anak kecil tersebut.

 

Lima belas hari yang lalu, tepatnya hari Minggu, Rana pergi ke pasar. Dia mengunjungi toko mainan yang berada di seberang warung soto Pak Goto. Sebenarnya, dia tidak berniat ke sana. Akan tetapi, saat dia duduk di warung soto, pandangannya tidak sengaja menatap ke arah toko mainan. Dia tersenyum semringah melihat bola warna-warni yang digantung di atap toko, lalu beralih pada sapi yang terbuat dari karet berjajar di atas etalase yang seakan sedang menatapnya dan seolah-olah memanggil namanya.

 

Rana melangkah dengan mantap. Dia menyeberang, lalu masuk ke toko dan menyentuh mainan yang dipajang di sana. Seketika ada rasa bahagia yang menancap di hatinya. Dia merasakan de javu sekaligus rasa rindu, rindu ketika dia masih anak-anak dan rindu terhadap sosok anak kecil.

 

“Cari apa, Bu?” tanya pelayan toko ramah.

 

Rana membalasnya dengan senyuman. Akan tetapi, arah matanya tertuju pada beberapa barisan boneka di dalam etalase.

 

“Mbak, eh, saya mau ….” Dia terdiam. Semula, wanita itu ingin berkata bahwa dia tertarik pada boneka Doraemon. Namun, boneka gajah kecil yang berada di paling sudut menarik perhatiannya. Mata hitam boneka itu seolah-olah bicara kepadanya.

 

“Saya mau anak gajah itu,” ucap Rana tanpa keraguan.

 

Saat ke luar dari toko, dia melihat seorang anak berdiri di seberang sedang menatapnya tanpa berkedip. Matanya seperti mata gajah yang dibawanya. Rana sempat berhenti sejenak untuk menatap anak tersebut. Lalu, dia kembali berjalan.

 

Setelah berjalan sekitar 100 meter wanita itu menghentikan langkah, lalu menoleh ke belakang. Dia melihat seorang bocah laki-laki berbaju merah yang mengikutinya dari toko mainan ikut berhenti beberapa langkah dari tempatnya berdiri. Rana berpikir bahwa anak itu hanya kebetulan berjalan searah dengannya. Namun, saat dia kembali berjalan, anak itu kembali mengikuti. Saat wanita itu mempercepat langkah, anak kecil berambut ikal itu juga sama.

 

Rana menoleh. Ia melihat bocah berkaus merah itu menyipitkan mata karena sinar matahari yang begitu terik. Rana lantas berbalik dan menghampirinya, tetapi bocah itu memundurkan langkah, seperti ketakutan.

 

“Kau sendirian?” Rana menoleh sekeliling, melihat orang-orang berlalu-lalang. Bocah yang berdiri beberapa langkah darinya itu mengangguk. Namun, tatapannya tidak lepas dari boneka yang dibawa Rana.

 

“Ke mana ibumu?”

 

Bocah itu menggeleng. Matanya masih menatap boneka gajah di plastik transparan yang ditenteng Rana.

 

Rana mendekat. Bocah itu bergeming. “Ayo, eh … Tante belikan es dawet di sana,” ajak Rana sambil menunjuk kedai es yang berada di pertigaan.

 

Rana senang karena bocah itu merupakan anak yang penurut. Dia pun mengajaknya duduk di kursi plastik. Namun, dia merasa bahwa bocah di hadapannya terus melirik pada boneka gajah yang sudah diletakkannya di meja kecil.

 

Rana lalu memesan dua gelas es dawet lengkap dengan roti tawar dan menghabiskannya sendirian.

 

Tak lama kemudian, Rana terperanjat, senang karena bocah itu tak lagi diam. Ia bahkan bercerita banyak hal kepada Rana. Akan tetapi, ia tetap tak mau memberitahu namanya. Akhirnya, Rana pun memanggilnya Gagah karena tubuh bocah tersebut sangat kurus. Kausnya kedodoran dan tulang lehernya tampak menonjol.

 

“Kata Kakak, tak boleh kasih tau nama kita sama orang asing.” Begitulah yang didengar Rana. Ia pun tersenyum. Bahagia sekali wanita itu bisa mengobrol dengan Gagah. Hingga hari berikutnya, Rana kembali datang. Dia makin bahagia saat menjumpai Gagah menunggunya di seberang toko mainan. Tak lupa, Rana membelikan anak itu mobil-mobilan.

 

“Mengapa Tante memanggilku Gagah? Apa aku ini mirip gajah?” tanya bocah itu di hari kedua pertemuan mereka saat menyantap soto ayam.

 

Rana tergelak mendengar pertanyaan itu. Orang-orang di sekitar melirik ke arahnya, menatapnya dengan sorotan aneh. Namun, Rana tak peduli. Wanita itu berpikir bahwa mereka hanya tak suka penampilan Gagah.

 

Pada hari berikutnya, Rana kembali datang. Dia tak peduli uang tabungannya menipis. Beruntung, jarak dari rumahnya ke pasar tak terlalu jauh, cukup dengan menaiki angkot satu kali, lalu berhenti di terminal angkot yang terletak di bundaran Taman Sari. Dari situ, dia hanya tinggal berjalan beberapa meter untuk menuju pasar.

 

“Tante, bolehkah aku minta boneka gajah yang waktu itu?” pinta Gagah di hari ketiga mereka berjumpa.

 

“Mmm … boleh. Gagah suka boneka gajah, ya?”

 

Bocah itu mengangguk. Kemudian mereka berpisah di TPS yang berada tak jauh dari mal kecil, seperti siang-siang sebelumnya.

 

“Hati-hati, Tan.”

 

Rana mengangguk sembari melambaikan tangan. Dia berjalan menuju terminal angkot untuk pulang.

 

Hari-hari selanjutnya Rana terus ke pasar. Dia benar-benar telah menemukan hal besar yang mengisi kekosongannya. Hidup wanita itu seolah-olah menjadi bermakna setelah pertemuan itu. Ya, awalnya wanita itu selalu merasa hampa sejak bercerai dengan suaminya beberapa tahun silam, setelah tiga tahun menikah. Rana dinyatakan mandul oleh dokter. Itulah sebabnya, suaminya menceraikannya.

 

Kemudian, satu bulan yang lalu dia harus diberhentikan dari tempatnya bekerja karena pengurangan karyawan. Sejak menjadi pengangguran, dia merasa hidupnya makin kosong. Apalagi, dia hanya tinggal sendiri di rumah. Kedua orang tuanya sudah lama meninggal, tak lama setelah wanita itu menjadi janda. Baginya, kehadiran Gagah mampu mengobati kesepiannya.

 

“Tante, Gagah menghadiahkan boneka ini untuk Tante.”

 

Wanita itu melihat tangan kecil Gagah menyerahkan boneka pemberiannya waktu itu. Hari itu hari keenam dia bersama Gagah.

 

Lagi-lagi Rana kembali merasa terhibur dengan tingkah Gagah. Wanita itu tersenyum, sangat manis, penuh kegembiraan. Akan tetapi, Rana melihat wajah Gagah tampak murung. Dia hampir ingin menangis kalau saja tak banyak orang di kedai itu.

 

Hari ketujuh, Rana tak mendapati Gagah di seberang toko mainan. Wanita itu memindai sekeliling, mencari-cari sosok Gagah di antara orang-orang di sekitarnya. Namun, tak ada Gagah. Hingga Rana melihat seorang bocah laki-laki yang kebetulan melintas dan dipanggilnya keras-keras. “Gagah! Gagah!”

 

Beberapa orang menoleh ke arahnya. Bocah yang digandeng ibunya itu tak menoleh dan terus berlalu. Lalu, Rana sadar bahwa bocah itu bukan Gagah.

 

Wanita itu putus asa. Dia lalu pulang setelah beberapa jam menunggu Gagah di teras toko mainan. Dan di hari kedelapan, dia kembali datang, tetapi tetap tak bertemu dengan Gagah.

 

Rana beranjak dari tempat duduknya setelah hari mulai gelap. Dia kemudian membuat dua cangkir teh hangat, dihidangkannya satu cangkir di meja, tepat di hadapan boneka gajah kecil yang ia dudukkan di kursi.

 

Rana duduk di seberang bonekanya. Menutup wajah dengan kedua telapak tangan dan menangis sejadi-jadinya saat menyadari bahwa dia selalu sendiri, tak ada pertemuan-pertemuan dengan bocah itu. Rana hanya pernah melihatnya, tetapi tak pernah mengobrol bersama.(*)

 

Ruang kecil, 15 Desember 2022

 

Whed adalah nama pena dari seorang perempuan yang lahir di bulan Maret. Hobi membaca membuatnya ingin bisa menulis. Beberapa cerpennya sudah terbit dalam buku antologi.

 

Editor: Inu Yana

Sumber gambar: https://images.app.goo.gl/jb57tddJsgPgrpGb9

Leave a Reply