Saat Celana Ayah Bau

Saat Celana Ayah Bau

Saat Celana Ayah Bau

Oleh : Zulfaturroliya

 

Suara benda yang menabrak tembok membuatmu segera bangkit dari duduk dan menuju ke sumber suara. Ibumu menangis sambil mendorong kursi roda. Lengan kirinya mengapit setumpuk pakaian kotor, beberapa di antaranya tercecer di bawah dan terlindas roda. Ibu, seperti yang bisa kamu tebak dengan mudah, ia sedang nelangsa. Ia pernah berkeluh-kesah kepada adiknya dengan terisak, mengapa saat tua hidupnya justru susah.

Semasa muda ibumu adalah pekerja keras. Ia akan bangun pukul tiga dan tidur larut. Semangat dan kelincahannya mengelola toko adalah hiburan yang membuat mood-nya teralihkan dari kepelikan hidup.

“Bahagia adalah saat perempuan bisa membeli semua hal yang diingankan.”

Seperti sebuah semboyan, kalimat itu selalu memacunya hingga pantang menyerah. Semua hal bisa ia beli, kecuali sakinah. Ya, rumah tangga ibumu seperti sendok yang beradu dengan piring, berdenting dan berisik. Berpasangan, tak terpisahkan, tetapi keduanya saling usik.

Ibu belum sempurna bahagia meski bisa membeli semua hal yang diinginkan. Faktanya, semboyan hanyalah sebuah hiburan untuk menguatkan. Ladang rejeki Ibu selalu panen setiap hari.  Tokonya ramai dan laba yang didapat melimpah. Pendapatan Ibu menjadi wasilah bagi keluarga, termasuk adik ibumu, Tante Katri.

Lazim bagi orang dulu apabila seorang adik ikut tinggal dengan saudaranya dengan alasan tertentu. Ibumu adalah anak sulung, dan Tante Katri memang ikut tinggal di rumahmu sejak ia berusia delapan tahun. Meski berselisih usia tiga belas tahun, kalian tumbuh bersama dengan kadar kasih sayang yang setara. Hampir semua kebutuhan keluarga dipenuhi dari kelincahan tangan ibu. Sandang, pangan, dan pendidikan, ibumulah yang membiayai. Rasa kasih Tante Katri, cinta dan loyalitasnya, bisa jadi lebih besar dari rasamu. Semacam ungkapan terima kasih yang justru memberi kasih.

Saat Tante Katri tumbuh menjadi remaja, sebuah anugerah dihadirkan Yang Maha Kuasa: kamu dilahirkan dan kehadiranmu memberi warna baru bagi kehidupan seorang ibu. Senyummu adalah muara dari sungai bernama kebahagiaan. Tangismu adalah kidung yang menentramkan.

Selepas Ibu melahirkanmu, ia dibantu banyak orang untuk mengasuhmu. Ada Nenek, saudara, dan tentu saja Tante Katri. Mereka meringankan pekerjaan ibu. Dari menyiapkan makanan, menyuapi, hingga memandikan, Nenek dan Tante-lah yang mengerjakan. Tante Katri selalu bersemangat saat bersamamu, ia selalu sigap mengasuhmu. Jangan bayangkan gadis berusia enam belas tahun yang hanya bisa bersolek. Remaja jaman dulu lebih piawai menyelesaikan pekerjaan rumah. Saat mereka berusia sepuluh tahun, mereka lazimnya sudah mahir menyambal dan menanak nasi. Bahkan saat usiamu baru empat bulan, Tante Katri sudah luwes memandikanmu. Ia bisa menjamin bahwa kamu pasti rapi dan wangi saat disusui Ibu disela-sela kesibukannya bekerja.  Urusan menanganimu diambil alih oleh Tante Katri, dan urusan hidupnya telah dijamin ibumu.

Tidak ada yang merasa terpaksa, semua bersikap sesuai orbitnya. Ibumu hampir tak pernah menyapu halaman. Jangankan membersihkan toilet, mengepel lantai, membuang sampah, atau memasak pun hampir tak pernah. Hanya saja ibumu selalu mencuci bajunya sendiri, karena saat mengucek cucian, kuku-kukunya yang panjang, lentik, dan cantik jadi bersih kembali setelah berjibaku dengan aktivitas berdagang. Ibumu dimudahkan orang-orang yang mencintainya untuk fokus pada kesibukannya.

*

Waktu tak pernah surut ke belakang, ia terus meluncur dan mencetak catatan perubahan. Banyak hal berputar, termasuk nasib dan keadaan. Nenek, tempat ibumu berkeluh kesah, akhirnya tutup usia. Pusaranya menjadi gerbang pembatas antara kehidupan dan ketiadaan. Satu orang terkasih telah pergi, orang yang senantiasa memudahkan dan melindungi ibumu.

Kemudian Tante Katrimu yang wajahnya segar dan keibuan akhirnya menikah. Ia membangun rumah lima perempatan dari rumahmu. Sesekali saat sore ia datang mengunjungi ibu, tetapi lebih banyak ia sibuk dengan kehidupan barunya sebagai ibu rumah tangga.

Ada masa di mana ibumu tak memiliki tempat berbagi kepelikan hidup. Amarah yang terpendam selalu mencari celah untuk bisa meletup-letup. Sampah emosi yang sempat tersumbat pun lebih mudah meledak sewaktu-waktu.

Ayahmu terkena stroke dan itu menjadi pukulan telak yang belum pernah ibumu bayangkan. Ujian datang bertubi-tubi. Ayahmu yang mulai kehilangan fungsi sarafnya, duduk tanpa tenaga di kursi roda. Ia masih bisa berdiri, tetapi rawan jatuh karena sarafnya lemah. Ia akan mengamuk jika hal yang diinginkan tak terpenuhi, menangis di saat tertawa, dan tertawa saat orang yang baru saja ia marahi menangis.

Ibumu kemudian menjalani hari yang terasa sendiri. Hari di mana semua hal harus bisa ia tangani sendiri.

“Sini, Bu, aku bantu,”  sambutmu sambil mengulur tangan.

Kamu mengundurkan diri dari perusahaan dan pulang ke kampung halaman demi menemani Ibu yang mengurus Ayah.

“Nggak usah.” Tanganmu yang terulur mendekati gagang kursi, dihalau Ibu.

“Sudah, Ibu saja. Memang nasib Ibu yang begini.” Tangisnya meledak, satu oktaf lebih tinggi sebelum kamu mendekat. Mata, hidung, dan pipinya memerah, sembab, serta  basah.

“Bu,” panggilmu dingin, rendah, dan tegas. Ibu kemudian melepas tangannya dari gagang kursi roda, memunguti pakaian, berlalu dengan tergugu. Tangisannya menciptakan ritme suara yang membuat pilu.

Sebenarnya bukan hal asing bagimu mendengar isakan serak, tangisan nelangsa, dan luapan emosi yang disertai teriakan pelepas amarah milik Ibu. Semua itu karena ibumu telah lelah mengerjakan banyak hal, pikirmu. Sudah saatnya mengambil alih tanggung jawab.

Kursi roda Ayah menempel pada bibir pintu, satu jari kelingkingnya terjepit, tangan kanannya menahan tembok, sedangkan tangan kirinya memegang erat besi dingin kursi roda.  Tanganmu dengan cepat memundurkannya hingga satu langkah kebelakang, sedikit nenarik dan memiringkan arah roda kemudian mendorongnya menuju kamar mandi. Angin berkesiur menghantar aroma amoniak yang pekat. Bau tak sedap menguar kuat. Hidungmu semakin sering menahan napas, tak banyak kata terucap, lebih tangkas memusnahkan bau di celana ayahmu adalah hal yang paling kamu inginkan.

Dengan kedua tangan yang kokoh, kamu berdirikan ayah hingga keningnya menyatu dengan tembok. Satu tangan ayahmu memegang gagang kursi roda, satu tangan yang lain mencengkeram kusen pintu. Itu posisi yang membahayakan sehingga dengan perlahan kamu berusaha membuka cengkraman jemarinya. Tanpa kamu duga ayahmu berontak, sebuah gerakan menghentak membuatmu terkejut. Menyadari bahwa Ayah melakukan perlawanan, kamu memintanya menurut.

“Lepas, lalu alihkan naik agar aman,” ucapmu mengarahkan. Lagi-lagi gerakan tangan kiri ayahmu menghentak, menolak, dan mengeratkan cengkeraman.

“Pindahkan ke tembok, seperti tangan satunya. Nah seperti tangan yang ini.” Tunjukmu ke tangan kanannya.

Dengan suara berat dan mata melotot, ayahmu menghardik untuk menolak patuh. Hawa panas sempat menjalar cepat dari pangkal dada menuju pusat kepala, namun segera kamu tepis. Amarahmu reda tepat pada detik ketiga saat self control-mu mengarahkan untuk bersabar. Mudah bagimu menjatuhkan Ayah dalam sekali depakan jika saja khilaf menguasaimu.

“Lepas. Pegangan ke pintu. Aku bukan Ibu. Lepas.” Kamu memberi penekanan yang mengancam di setiap intonasi kalimatmu.

Menyadari kekalahan, ayahmu melepas tangannya dan menurut, tertawa kecil lalu mengikuti semua permintaanmu: berdiri dengan dua tangan berpegangan erat pada kusen pintu.

“Bagus, tahan yang kuat. Aku ambil gunting,” perintahmu dan Ayah mengangguk.

Dengan segera kamu pelorotkan celana ayah. Bau kotoran menyengat dari diaper yang menggantung berat. Tanganmu seperti mesin, terkoordinasi dengan gerakan yang cepat. Menggunting, memasukkan diaper dalam kantung kresek, membuangnya, dan menyiram apa pun yang kotor hingga menjadi bersih adalah sebuah tanggung jawab yang mau-tak mau harus kamu lakukan.

Selesai. Bau itu telah luruh bersama air yang meluncur ke pembuangan. Kamu naikkan diaper baru dan membalut badan ayahmu yang menggigil dengan kemeja dan sarung bersih. Sejenak kamu lupa tentang ibu, dan kehilangan suara tangisnya.

“Atau memang sudah tak menangis  lagi?” pikirmu saat teringat ibu.

Kamu dudukkan kembali ayahmu ke kursi roda yang telah kamu lap kering sebelumnya, lalu mendorongnya kembali ke dalam ruangan. Suara tangisan ibumu telah lenyap. Samar, kamu dengar suara Tante Katri mengucap salam.

“Masuk, Tan.” Pintamu sambil memarkir kursi roda tepat di depan Ibu yang duduk mematung dengan tangan penuh tisu.

“Kenapa Mbak Mut menangis?” Dua alis tantemu naik saat melihat kakaknya muram dengan wajah sembab.

“Bertengkar lagi?” Raut Tante Katri begitu khawatir, sedangkan darimu ia hanya mendapat jawaban isyarat dua pundak yang terangkat.

“Mengamuk lagi?”

Ibu menggeleng.

“Lalu?”

“Dia buang air besar,” ucap ibumu dengan intonasi meninggi. “Aku jijik. Nasibku, Ya Allah, nelangsa rasanya. Aku nelangsa Tri, harus buang kotorannya.”  Tangis ibumu pecah lagi, tergugu dengan kedua tangan menutup wajah.

Tante Katri menghela napas panjang lalu memijit dua pelipisnya dengan jari telunjuk sambil menunduk.

“Aku yang membuang kotoran dan mencuci popokmu saat kamu bayi, Sayang,” papar Tante Katri  beberapa waktu yang lalu, saat kamu baru saja datang dari kota. “Ibumu hampir tak pernah mencuci bekas kotoranmu karena merasa jijik.”

“Ibu tidak terlatih membersihkan kotoranku dan saat harus mengurus kotoran ayah, Ibu menangis meraung karena terbebani?”

Tantemu mengangguk mantap saat itu. (*)

Jember, 16 Januari 2022

Zulfaturroliya. Lulusan Universitas Negeri Surabaya ini bisa dikunjungi melalui akun Facebook Zulfaturroliya.

Editor : Devin Elysia Dhywinanda

 

Sumber Foto

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply