Kepulangan Lik Dar
Oleh : Mutia AH
Suatu sore, lapangan Desa Banjaran yang terletak di pinggir jalan utama kampung ramai oleh anak-anak yang bermain. Namun keseruan permainan terhenti ketika salah satunya berteriak, “Ene wong wandu, liwat!“
Mendengar kata “wandu”, suasana hati Aan berubah. Ia merasa gelisah dan tak nyaman. Meskipun begitu ia ikut bersama teman-temannya berbaris di pinggir lapangan. Aan hanya diam melihat anak-anak lain tertawa terpingkal-pingkal dengan pemandangan tidak biasa di depannya. Seorang wanita berperawakan serba besar berjalan lenggak-lenggok seperti anak-anak perempuan saat mengikuti lomba fashion show. Lantaran berjalan sambil menyeret koper besar serta menggunakan sepatu hak tinggi wanita itu, tampak kesusahan. Meskipun demikian, wanita itu kelihatan senang digoda para pemuda yang nongkrong depan warung dan juga anak-anak sebaya Aan dengan suit-suit tak jelas.
“Cewek!” ledek anak-anak sambil tertawa-tawa.
Azan Asar berkumandang, Aan berlari pulang melalui jalan belakang agar tidak beriringan dengan wanita jadi-jadian yang ternyata searah dengan rumahnya. Akhirnya Aan sampai belakang-samping rumahnya setelah melewati gang-gang sempit dan teras-teras tetangga. Aan menggeser pintu dari bambu dan langsung masuk ke bagian dapur rumahnya.
“Mbok, ono wong wandu liwat!” tutur Aan pada ibunya sambil terengah-engah.
“Hush, gak sopan!” tegur ibunya, membuat Aan berhenti tertawa seketika.
Biasanya Ibu semringah ketika Aan pulang tepat waktu. Namun kini wajah perempuan separuh baya itu terlihat murung. Tanpa berani bertanya apa yang terjadi, Aan melangkah ke ruang depan mengikuti ibunya. Aan menghentikan langkahnya, begitu pun dengan Ibu saat terdengar suara benda dibanting di ruang tamu. Keduanya saling berpandangan kemudian kompak kembali ke dapur dan duduk di balai-balai bambu. Sejauh ini Bapak hampir tak pernah marah sampai meledak-ledak lagi. Namun, kali ini tak seperti biasanya.
“Setan kowe!” Terdengar suara makian Bapak membuat sepasang ibu dan anak itu kembali saling berpandangan.
Beberapa saat kemudian terdengar gebrakan meja disusul bunyi pintu dibuka dan ditutup lagi. Aan melihat ke arah ibunya kemudian ikut bangkit dan melangkah ke ruang tamu.
Aan terkejut saat melihat seseorang yang duduk di kursi rotan di ruang tamu rumahnya. Seseorang yang ditertawakan teman-temannya tadi, kini ada di hadapannya. Membuat rasa takutnya sulit disembunyikan
“Aan, salim sama Lilik!” perintah Ibu membuat Aan gugup. Meski ragu dan takut, Aan menyalami perempuan yang menurutnya aneh itu.
“Dar,” panggil Ibu pada orang itu sambil duduk di sampingnya setelah meletakan segelas air teh di atas meja.
Orang yang dipanggil “Dar” itu melihat ke arah Aan yang berdiri di belakang ibu. Spontan, Aan menunduk karena kepergok menatapnya aneh. Padahal Ibu sering menasIhatinya untuk tidak memandang orang dengan tatapan seperti itu.
Aan kembali mendongak pada orang yang katanya “Lik Dar” itu sambil mengumpulkan ingatan tentang Lik Dar. Otaknya mengingat-ingat cepat kemudian mengambil kesimpulan. Akan tetapi hatinya menolak bahwa orang itu adalah Lik Dar. Setelah dengan saksama ia mengamati wajah orang itu, ia tak bisa lagi menyangkal.
“Mbak Yu, apa kabar?” tanyan sosok itu dengan suara yang tak asing di telinga Aan, seakan membenarkan pertanyaan-pertanyaan yang berputar di kepalanya.
“Lik Dar!” pekik Aan.
“Iya, Le. Iki Lik Dar,” terang Ibu.
Detik berikutnya Ibu menelungkup di pangkuan orang yang disebutnya sebagai “Lik Dar” itu dan menangis sesenggukan.
Perlahan Aan bangkit dan berlari ke kamarnya. Ia kini mengerti kenapa Bapak terdengar sangat marah tadi dan Aan memaklumi karena ia pun merasakan hal yang sama.
“Mbak, berhenti! Dengan sikap Mbak ini sudah cukup buat aku. Mbak seperti yang lainnya. Tidak menerima aku.” Suara Lik Dar terdengar sangat marah.
“Dar! Dar! Dar!” Terdengar ibu-ibu memanggil-manggil setelah bunyi pintu dibuka.
Aan berlari ke jendela dan melihat ibunya berlari mengejar Lik Dar yang berjalan dengan menyeret kopernya ke luar halaman dan menghilang di tikungan jalan. Melihat kepergian Lik Dar, pamannya, ada perasaan lega menyeruak di hatinya.
Setelah keduanya tidak terlihat, Aan duduk di lantai bersandar dinding kayu rumahnya. Ia mereka-reka kemungkinan yang terjadi. Ibu dan Lik Dar menjadi tontonan warga lain. Ia hanya berharap waktu cepat berlalu dan semua orang melupakan kejadian hari ini. Juga lupa bahwa Aan adalah keponakan Lik Dar.
Dulu, Lik Dar tinggal serumah dengannya setelah Kakek dan Nenek meninggal. Itu karena Ibu adalah saudari perempuan Lik Dar satu-satunya. Awalnya semua baik-baik saja. Meskipun sikap Lik Dar bergaya gemulai mirip Wati tetangga sebelah rumah, Aan merasa biasa saja. Namun seiring berjalannya waktu, ia kerap merasa sebal karena olok-olok teman-temannya yang mengatakan bahwa Lik Dar adalah “wandu”.
Bukan hanya teman-teman, Bapak dan ibu juga kerap menyebut Lik Dar dengan julukan serupa, seperti banci, perawan kuncung, goeng, dan julukan lain yang merendahkan.
“Ahh, dasar wandu. Angkat padi sebagor aja gak kuat!” ucap Bapak ketika Lik Dar kepayahan mengangkat padi sekarung.
Puncaknya pada suatu sore, saat Aan sedang menyisir rambut depan cermin, tiba-tiba-tiba Lik Dar mencolek bokongnya dan insiden itu pun terjadi. Aan kesal dan melaporkan kejadian itu pada Bapaknya. Setelah itu ia bersembunyi di kamar tak berani keluar.
Aan hanya bisa mengintip dari celah pintu kamarnya dan melihat apa yang terjadi di ruang tamu. Bapak terus memukuli Lik Dar meskipun telah berusaha dihalang-halangi oleh Ibu. Bahkan beberapa kali Ibu ikut terkena sasaran tangan Bapak. Ada perasaan bersalah melihat apa yang dilakukan Bapak, tetapi ia juga kesal pada pamannya. Sehari setelah itu, Lik Dar menghilang dari rumah. Kata Ibu, Paman pergi ikut Uwa Mur pergi ke Jakarta untuk bekerja menjadi tukang cukur di salon.
Setelah itu Lik Dar tak pernah terdengar kabarnya lagi. Lima tahun berlalu, kini Aan genap berusia tiga belas tahun. Dan Lik Dar pulang dengan penampilan berbeda. Bukan hanya keluarga Aan, ia yakin seluruh kampungnya pasti juga terkejut. Entah apa yang akan terjadi, Aan tak dapat memprediksinya. (*)
Ruji, 15 Januari 2022
Mutia AH, penulis pecinta puisi dan penikmat fiksi. Suka menulis apa saja yang terlintas dipikiran. Beberapa karyanya terdapat dalam antologi Kepak Sayap Kemerdekan, Jejak Remaja, Percakapan Percakapan yang Tertinggal, dan antologi puisi Jejak Nusantara Lama.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata