Yang Berkilau di Balik Tirai Pesona Rupa
Berdasarkan cerita Putri Sewidak Loro
Oleh : Dhilaziya
Dengan hati yang menyerupai selembar kaca yang terjatuh dari lantai lima sebuah apartemen yang sedang dibangun, aku membaca komentar netizen dari seantero negeri. Aku memunguti setiap serpih cercaan dan hinaan yang dilemparkan kepadaku setelah mereka membaca postingan milik akun “Gadis Dhenok” yang menceritakan kisah seorang ibu dan anak perempuannya. Cerita tentang ibu yang kerap mendendangkan kidung berisi pujian dan doa akan masa depan putri kesayangannya, yang disebut akan segera menikah dengan putra penguasa negeri.
“Saya pernah melihatnya sewaktu kecil. Rambutnya enam puluh helai, giginya hanya dua biji. Itulah mengapa namanya Sewidak Loro. Jadi bagaimana bisa ibunya berkata bahwa anaknya cantik jelita dan akan menjadi menantu presiden?”
Sebuah video potongan wawancara antara pemilik akun “Gadis Dhenok” dengan salah satu portal berita online terkemuka tersebar di media sosial. Bola panas menggelinding kian gegas dan membakar banyak dinding penalaran. Ramai orang menyebut ibuku melakukan pembohongan publik, bahkan yang terbaru kami dikatakan menghina presiden dan keluarganya.
“Jika si ibu berkata bahwa dia akan berbesan dengan keluarga Bapak Joko Wiloso, maka hal itu adalah urusan pribadi. Tetapi ibu tersebut menyebutkan akan berbesan dengan presiden. Maka ini bisa disebut sebagai serangan terhadap konstitusi.”
Seorang pakar hukum dan tata negara mengemukakan pendapatnya dalam siaran televisi yang disiarkan secara nasional. Aku menyimak setiap kalimat bapak berjas hitam dan berdasi kupu-kupu dengan motif polkadot yang sedang menjadi narasumber talkshow Mata Juwana itu dengan serius.
“Biarkan dia bicara apa saja. Percayalah pada Ibu seperti Ibu percaya kepada Gusti Yang Menguasai Alam Semesta.”
Seminggu setelah berita tentang kami menjadi ontran-ontran, gunung kekhawatiran di dadaku benar-benar meledak. Seseorang yang menyebut diri sebagai wakil dari istana menelepon Ibu dan berkabar bahwa kami diundang ke istana untuk bertemu putra sulung presiden sebagai upaya meredam gejolak masyarakat sekaligus sebagai sinyal kehadiran pemerintah di setiap lini kehidupan. Pertemuan itu dijadwalkan lima bulan ke depan menunggu kepulangan putra sulung presiden yang sedang bertugas sebagai duta UNICEF di Afrika.
“Baik, Tuan. Saya pastikan saya dan putri saya akan sowan ke istana dengan satu syarat. Hanya Raden Paleang yang diperkenankan membuka penutup wajah putri saya.”
Seperti ada yang mengiris hatiku dengan belati tajam mendengar kata-kata Ibu. Aku tidak mencemaskan rupaku. Yang dilihat “Gadis Dhenok” adalah aku lima belas tahun silam ketika kami masih TK. Hinaan yang aku terima dari lingkungan membuat Ibu memutuskan agar aku menjalani homeschooling. Beliau juga menetapkan agar aku selalu menggunakan penutup wajah jika bertemu siapa pun, termasuk guru-guruku. Wajahku perawan dari mata dunia selain mata ibuku. “Gadis Dhenok” tidak salah meski keliru.
Ibu selalu berkata aku cantik karena aku pintar dan tidak pernah menyakiti siapa pun. Walaupun begitu Ibu, juga memberi tahu bahwa dunia lebih permisif kepada yang rupawan. Itulah yang membuatku dipaksa menuruti kemauan Ibu. Kulit kepalaku menjalani beragam perawatan untuk menumbuhkan rambut yang selama masa kecil hingga akil balig hanya berjumlah lima lusin helai. Berbagai metode dan serum telah purna diujicobakan. Tatkala teknik implan sudah dipastikan menjadi pilihan akhir karena dokter tidak melihat jalan lain lagi untuk menumbuhkan mahkotaku, pada suatu malam yang gaduh oleh badai petir, secara mengejutkan kulit kepalaku memberontak dan beraksi atas ide itu. Gatal-gatal di kulit kepala yang belum kurasakan terjadi pada waktu dua bulan setelah aku mengalami menarkhe. Rupanya tunas-tunas rambut berebutan menyembul dari pori-pori yang selama ini menolak membukakan diri. Aku menikmati sensasi jarum-jarum kecil meratai kulit kepala dan bertumbuh menjadi rambut yang lebat dengan warna hitam yang memiliki pendar seumpama butir-butir Swarovski menyebar di setiap helainya. Ibu kerap diam-diam mengisak setiap kali menyisir rambutku.
Setelah usiaku mencapai delapan belas, Ibu membuatku menjalani rangkaian sesi penanaman implan gigi. Semesta tidak mengizinkan benih gigi hadir di rahim rahangku, sehingga rahangku harus dibor untuk ditanamkan selongsong bagi rumah gigiku. Jangan bertanya tentang sakitnya, aku sering berpikir bahwa dua ribu jarum yang dipanaskan lantas ditusukkan secara bersamaan ke sekujur tubuhku. Aku benci setiap kali mendengar kalimat “beautiful is pain”. Aku benci berusaha menjadi cantik agar disukai. Aku benci mengetahui manusia dilihat sekadar dari rupa. Aku benci pada ketidakberdayaanku menghadapi Ibu, meski aku mengerti semua karena kasih sayangnya dan untuk kebaikanku.
Sekarang, diawali oleh jeritan histeris “Gadis Dhenok” yang terganggu oleh senandung Ibu, aku seolah menjelma boneka maskot dalam olimpiade. Mencoba memaafkan keadaan, aku mencari akun media sosial putra Sang Presiden. Aku ingin tahu mengapa dia menuruti arus kegilaan ini. Aku merasa harus bersiap menghadapi pertemuan yang akan mengubah hidupku. Lampu sorot ini membuatku gerah dan gamang melangkah.
“Tidak ada kewajiban buatmu untuk menunjukkan wajah. Pasti tidak nyaman bagimu. Mari bicara sebagai teman.” Begitu dia menjawab saat aku mengirimkan pesan pribadi di akun Istagram-nya. Dia juga menyematkan nomor ponselnya dalam pesan balasan itu.
Lalu baris-baris aksara menjembatani kami. Setiap dia punya waktu luang, dengan akulah pria dengan dahi lebar itu melewatkannya. Sesekali dia mengirimkan foto dan video tapi tidak pernah memintaku melakukan hal yang sama. Kami berbincang tentang laba-laba yang tidak bergigi dan memiliki empat varian bentuk jaring hingga buaya yang ternyata benar-benar bisa menangis dan sesekali mengudap buah dan kacang-kacangan. Kami bicara perihal bom nuklir yang efek sisa penggunaannya akan terus ditunai hingga berpuluh tahun ke depan dan bagaimana sianida bisa dengan bebas dibeli perempuan putus asa yang lantas meminumnya untuk menyelesaikan luka. Kami membahas cara bertanam anggur dan kemungkinan menumbuhkan padi di Mars. Kami bicara mengenai pendidikan bagi semua sebagai keniscayaan dan perlindungan bagi anak-anak yang dimarginalkan. Kami bercakap tentang apa saja hingga kadang masing-masing menjadikan suara satu sama lain sebagai dongeng nina bobo ketika malam menyelimuti hati yang mulai dikepung rindu.
Meski otak warasku terus mengingatkan agar cukup menggunakan jari saja dalam berinteraksi dengan Raden Paelang, hatiku menolak patuh. Diam-diam hatiku menumbuhkan benih rindu dan cinta pada sosok yang akan kujumpai dua jam lagi. Aku tidak mampu mencegah kuasa hatiku meski aku rapuh setiap kali mengingat tentang rahasia hatinya yang tidak kutahu. Mengurai resah yang berkelindan, kurapikan penutup wajah yang teksturnya tidak melekat di wajah sehingga ukuran hidungku yang tinggi tidak terbaca. Aku bahkan menggunakan kain brokat di area mata untuk mencegah bisa terlihat. Aku sempurna tertutup dan hanya akan dibuka oleh Raden Paleang.
Semenjak turun dari pesawat dan dijemput oleh pegawai istana, aku tidak berucap sepatah kata pun. Sesekali ibu membelai bahuku sambil menggumamkan doa-doa. Di depan istana telah berkumpul ribuan warga untuk menyaksikan pengadilan atas tembang seorang ibu. Kadang aku geli memikirkan ini. Adakah yang lebih konyol dari bersibuk-sibuk mengurusi hidup orang lain?
Sebuah mimbar telah disiapkan dengan Raden Paleang berdiri di sana menantiku. Langkahnya ditahan pasukan pengawal ketika dia hendak mendekat ke arahku yang mulai menapaki anak tangga menujunya dengan digandeng Ibu.
“Putri Sewidak Loro?”
“Tidak ada yang mampu mencegah ketika semesta telah memilih menggulirkan waktu dengan kita sebagai porosnya.”
“Ini sungguh-sungguh kau. Terima kasih telah mengingat kalimat sandi pertemuan kita.”
Aku mengangguk membalas tatap mata Raden Paleang yang tidak beralih dariku. Lembut sekali cara Paleang menggamit tanganku dan mengajakku berdiri bersamanya di mimbar menghadap ribuan pasang mata dan ratusan kamera.
“Terima kasih kepada kalian yang telah menjadikan semua ini mungkin. Jadilah saksi bahwa aku meminta Putri Sewidak Loro sebagai istriku. Aku mencintai keindahan hatinya dan apa-apa yang berjejalan di kepalanya. Wajahnya adalah rahasia yang akan dibaginya denganku saja.” (*)
09012022.
Dhilaziya adalah perempuan penyuka sunyi, bunga, buku, dan lagu.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Photo (c) The Lovers II, 1928 by Rene Magritte
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata