Warung Makan

Warung Makan

Warung Makan

Oleh : Ning Kurniati

Sandri berjalan ke luar gedung dan mendongakkan kepalanya ke langit. Di atas sana awan mendung bergumpal berarakan, seolah hendak jatuh lalu menyelubungi tanah yang dipijakinya. Sebentar lagi pasti turun hujan, ia membatin. Kalau begitu ia tidak punya cukup waktu untuk makan siang di tempat yang sudah seminggu lalu diincarnya: kafe yang sedang ramai dibicarakan. Butuh waktu delapan sampai sepuluh menit untuk tiba di tempat itu, belum lagi waktu yang dibutuhkan untuk kembali sama dengan waktu yang dibutuhkan untuk berangkat. Tidak, ia tidak bisa mengambil resiko kehujanan, lalu terlambat masuk kantor. Meskipun sebenarnya sudah dari jauh-jauh hari ia menjadwalkan untuk menyenangkan dirinya sendiri.

Bukannya tidak ada warung di sekitar kantornya. Memang ada banyak warung, tapi ia merasa sudah hafal dengan rasa makanan dan minumannya.

Ia berjalan melewati deretan warung yang setiap hari bergantian dimasukinya itu. Bau asap daging ikan atau daging ayam yang dibakar ditambah dengan harum bumbu tak menggugah seleranya. Malah ia menggeleng. Ia bertekad, meski tidak makan di tempat yang diincarnya, paling tidak ia makan sesuatu yang berbeda hari ini.

Sudah enam warung makan dilewatinya dan ia semakin jauh berjalan dari kantor. Angin yang bertiup sepoi dan panas matahari yang seperti lenyap membuatnya tenang sehingga tanpa sadar sudah berjalan jauh sekali. Sekarang, ia harus memilih warung makan, kalau tidak apa bedanya datang ke kafe incarannya dengan berjalan sejauh ini di trotoar. Sandri diam di tempat, menghela napas dan memandang jalanan. Lalu-lalang kendaraan sangat jarang, bahkan nyaris tidak ada suara klakson, menambah muram suasana hatinya. Tidak, ia harus segera memutuskan pilihan. Ia tidak boleh membahayakan posisinya sekarang, apalagi ia masih karyawan baru. Semua orang belum menaruh kepercayaan penuh padanya.

Setelah berpikir begitu, ia mengalihkan pandangan ke sebelah kiri. Warung dengan cat warna hijau. Pilihan warna yang segar. Di pintu dan di setiap tiang, ADA gambar daun janda bolong dan pakis-pakisan yang digambar seadanya. Sangat kentara dikerjakan oleh tangan amatir. Ia melangkah masuk ke warung itu. Warung yang baru dilihatnya hari ini. Apa warung baru? Ia mengerutkan dahi, lalu menyadari di sisi kanannya ada asap dari sabuk kelapa yang dibakar menyelebung ke langit-langit sen. Langit-langit sen itu sudah menghitam sepenuhnya.

Ia disambut seorang lelaki dengan kisaran umur tiga puluhan akhir. Senyumnya ramah dan lelaki itu tampak bersemangat sekali menyambut dirinya. Sandri nyaris merasa bukan seorang pembeli di warung makan tersebut, tapi merasa seperti tamu yang mengungjungi kerabat lama. Ia jadi merasa kikuk.

“Silakan, silakan, Pak. Bapak ini orang pertama yang datang hari ini.” Lelaki itu berkomentar sambil menyorongkan selembaran berisi menu-menu warungnya.

Sandri mengucapkan terima kasih dan mulai meneliti daftar menu yang ada. Pilihan menu itu cukup berbeda, tidak umum ditemui. Semua nasinya diolah dengan bungkusan daun dari kelapa atau pisang dengan cara pengolahan yang berbeda-beda. Pun teh tawarnya digratiskan, berbeda dengan warung lain yang mesti dibayar. Harusnya warung ini menjadi daftar incaran pekerja di sekitar tempat itu.

Kemudian Sandri mengedarkan pandangan ke seluruh bagian warung. Semuanya bersih, tak ada plek kotoran kecil. Ada dua orang pelayan, keduanya gadis yang belia. Satu sedang duduk di meja di bawah kipas angin dan satunya lagi datang membawa pesanan Sandri. Gadis itu tersenyum menyilakan.

“Sudah berapa lama kerja di sini?”

“Setahun, Kak,” gadis itu menjawab lalu duduk tak jauh dari bangku Sandri. Pandangannya dilemparkan ke jalan. Lalu raut tenang dan ramah yang tadi ditampakkan berganti dengan raut gelisah dan kebingungan. Gadis itu tampak lesu sama seperti temannya. Si pemilik yang duduk di meja kasir raut wajahnya juga tak jauh berbeda. Beberapa kali Sandri mendapati lelaki itu menggaruk kepala dengan helaan napas yang berat sambil mengutak-ngatik layar ponsel.

“Memang selalu begini, maksudku warung ini sepi pembeli?”

“Tidak, dulu selalu ramai. Tapi empat bulan belakangan mulai berkurang, hingga seminggu ini nyaris sudah tidak ada pembeli. Paling banyak sekitar lima sampai sepuluh orang.”

Sandri mengangguk dan meneruskan makannya. Ia merasakan makanan yang dihidangkan kepadanya enak, takaran bumbu dan tingkat kematangannya pas, yang agak jarang ditemukan di warung-warung yang pernah dimasukinya. Lalu kenapa sepi pembeli?

Sampai ia selesai makan dan duduk selama kurang lebih lima menit, masih belum ada pembeli yang datang. Sandri jadi mengerti bagaimana perasaan orang-orang di sekitarnya itu. Si gadis di bawah kipas angin sudah meletakkan ponsel di depannya dengan kondisi gelap. Tangannya ia telekan pada meja. Tidak lama kemudian, tangan itu sudah merapat seluruhnya ke meja berikut kepalanya, persis seperti anak-anak yang sedang bermalas-malasan, bingung tidak tahu harus melakukan apa.

Sandri bangkit dari tempatnya duduk dan menghampiri meja kasir. Si pemilik kembali bersikap ramah seperti tuan rumah yang didatangi. Ia mengucapkan terima kasih berkali-kali sampai Sandri berdiri di trotoar. Saat akan melangkahkan kaki, saat itulah Sandri mendengar suara gadis yang duduk di bawah kipas, “Bisa-bisa aku mampus karena bosan. Tidak bisa begini, tidak bisa.” Lalu terdengar suara kursi yang didorong.

Sandri tidak tahu apa yang terjadi kemudian di warung itu. Namun saat pulang kerja, ia tak melihat warung itu lagi. Yang terlihat adalah warung kelontong yang sedang tutup, bukannya warung makan. Ia heran dan bertanya-tanya, apa ia mengalami kejadian yang mistis? Apa orang-orang yang ditemuinya tadi bukanlah manusia, melainkan makhluk halus? Ia jadi bergidik ngeri dan beberapa detik kemudian tersadar, tidak mungkin, orang-orang yang ditemuinya tadi itu manusia sama dengan dirinya.

Malam harinya, Sandri masih terus memikirkan warung makan tersebut. Aneh sekali. Ada banyak karyawan di sekitar tempat itu dari gedung yang berdiri di sisi kanan dan kiri jalan utama maupun jalan samping, dan kalau mau makan dengan tenang, harusnya mereka menyebar, tidak perlu berdesakan di antara hawa panas orang yang sedang makan. Kalau memilih ke warung itu, mereka tidak perlu mengantri. Harusnya ada beberapa orang yang singgah di warung bercat hijau itu. Apa nama warungnya, ia bahkan lupa, atau mungkin ia memang tidak sempat membaca nama warung itu. Di kepalanya sudah banyak dugaan yang ia yakini salah satunya pasti benar. Ia bertekad besok siang akan mendatangi tempat itu lagi. Ia sudah melupakan keinginannya untuk makan di kafe incarannya.

***

Ia lebih bersemangat bekerja di pagi itu. Ia tidak merasa lagi seperti robot yang tersetel setiap pagi, di jam yang sama harus keluar rumah menuju tempat kerja. Hari ini ia punya misi dan ia sudah siap menuntaskannya.

Sandri tiba lebih cepat di banding hari sebelumnya. Keadaan di dalam warung masih sama. Raut wajah penghuninya juga masih dengan keramahan yang telah dilatih untuk ditunjukkan. Ia memesan makanan yang berbeda dengan yang kemarin dan menghabiskannya dengan cepat. Pendapatnya masih sama. Lalu, masuklah waktu yang ditunggu, tapi ia bingung harus mulai dengan tutur kata apa, biar tidak dianggap mencampuri urusan orang terlalu jauh.

“Buka sampai jam berapa?”

“Sampai jam sembilan malam, Kak.”

“Kemarin juga?”

“Ya, tiap hari, Kak.”

Sandri mulai merasa tak enak. Ia melirik ke pemilik warung, dan tanpa disangkanya bapak tersebut sedang memandang padanya. Tiba-tiba ia merasa deg-degan dan mencoba mengalihkan pandangan, tetapi justru yang dilihatnya si gadis di bawah kipas yang kini juga sedang memandangnya. Mereka semua, ketiga orang itu, tampak sedang menanti kata apa yang akan keluar dari mulutnya.

“Kakak indigo, ya?”

“Eh, tidak.” Sandri buru-buru menjawab. Ia takut mereka salah paham.

“Begini, mmm, kemarin aku kan pulangnya lewat jalan depan, tapi pas menoleh ke warung ini, warung ini tidak terlihat justru yang terlihat warung kelontong. Kemudian, kemarin kalian mengatakan kalau warung ini pernah ramai lalu sekarang nyaris tidak ada pelanggan. Kurasa tempat Bapak perlu dirukiah.”

“Rukiah?”

“Didoakan, Pak. Bapak bisa cari tahu lebih banyak di Google.”

Bapak tersebut tampak manggut-manggut. Lalu kemudian berkata, “Kemarin, saya sudah bawa orang ke sini. Katanya ada yang tidak suka dengan warung saya dan punya niat jahat, ia bahkan menyebutkan ciri orang tersebut.”

Sandri jadi terhenyak, kemudian berkata, “Bapak tidak perlu memikirkan orang tersebut, mereka suka atau tidak suka itu urusan mereka. Yang perlu Bapak perbaiki diri Bapak dan warung ini.”

“Diri saya? Loh yang salah kan bukan saya.”

“Yang Bapak lakukan kemarin itu salah kalau Bapak membawa orang yang seperti itu.”

Si pemilik warung diam dengan raut wajah yang sulit untuk bisa dibaca Sandri. Sekarang, ia bingung apa besok akan kembali makan di warung ini atau tidak. Ia tidak enak hati dengan pembicaraan barusan yang terang-terangan mengatakan apa yang dilakukan Bapak tersebut salah. Mereka baru saling kenal kemarin. Itu pun sebatas pembeli dan penjual. Tidak lebih. (*)

12 Januari 2022

Ning Kurniati, penulis amatir.

Editor : Devin Elysia Dhywinanda

 

Sumber Foto

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply