Amaran Pasien Menur

Amaran Pasien Menur

Oleh: Wardah T.

Lanskap kota saat petang tampak cantik. Jalan raya dipenuhi cilap lampu kendaraan yang tampak seperti kunang-kunang dari kejauhan. Aku menikmati itu sambil menyesap kopi dari kamar hotel di lantai 23, lalu notifikasi itu muncul. Sebuah pemberitahuan pesan melalui aplikasi messenger.

“Kalau kamu diberi kesempatan memperbaiki kehidupan kini, pesan apa yang ingin kamu sampaikan padamu di masa lalu?”

Awalnya aku ingin mengabaikan, umpama nama Nanaber tidak muncul sebagai pengirim dengan potongan foto profil potretku saat memegang kamera DSLR. Itu foto zaman kuliah. Sekitar tujuh tahun lalu. Aku terlonjak saat mengeklik profilnya, yang muncul adalah laman pribadiku. Nana Bernad.

“Kamu ingat Jabariyah dan Qodariyah? Aliran yang saling bertentangan perihal takdir.”

Pesan itu muncul lagi di balon obrolan yang mengapung. Ada perasaan waswas. Mungkinkah akunku dibobol hacker?

Meski tampak bodoh, aku tetap membalas pesan itu dengan bertanya, “Siapa kamu?”

“Aku adalah kamu di masa lalu.”

Jika benar itu aku dari tujuh tahun lalu, saat itu aku semester enam. Ah, wajah alim dari laki-laki yang sekarang masih lelap di ranjang itu berkelebat di benak. Tiba-tiba suara renyah Opik di ruang teater fakultas yang disulap sebagai kelas penyatuan, menggema di telinga.

Dari awal perkenalan, aku tahu Opik punya ketertarikan padaku sebagai perempuan. Namun, penampilannya yang terlalu kaku dengan setelan celana hitam dan kemeja kotak-kotak, membuatnya terlihat kurang gaul.

“Menurutmu, di antara dua aliran itu, mana yang lebih mendekati benar?” Pesan itu mengalihkan pikiranku tentang Opik di masa lalu ke tubuh Opik saat ini yang terbungkus selimut di ranjang. Laki-laki yang dahulu kuhindari mati-matian, kini kupeluk dan bercumbu dengannya. Takdir selalu tak terduga, dan aku dari masa lalu justru ingin membahas itu.

“Aku sudah banyak lupa tentang materi-materi zaman kuliah. Seingatku tentang Qodariyah dan Jabariyah adalah aliran yang satunya meyakini semua ini Tuhan yang menentukan, dan yang lain berpendapat manusia punya peran dalam menentukan takdirnya. Apa aku salah?” balasku. Itu pun setelah membaca sekilas melalui pencarian di internet.

“Kurang lebih begitu. Qodariyah mengingkari takdir. Makhluk berkehendak bebas dalam menentukan perbuatannya tanpa keterlibatan Allah. Sebaliknya, Jabariyah meyakini semua tindakan makhluk itu sudah diatur oleh Allah. Oh ya, omong-omong kenapa kamu lebih memilih menyebut Tuhan daripada Allah? Bukankah dulu kamu paling taat beragama di kelas? Apakah kamu sudah tak beribadah giat?”

Aku tersenyum geli membaca itu. Entah ini aplikasi atau apa pun yang merupakan kecanggihan teknologi, aku salut. Salut pada realitas yang diciptakan. Pesan itu seperti benar-benar dikirim olehku pada zaman kuliah. Kritis. Bahkan untuk satu kata pun tidak luput dari pengamatannya.

“Jangan banyak tanya. Katakan saja apa maumu?”

“Mengubah takdir,” jawabnya ringkas. “Aku tidak ingin salah langkah.”

Penuh perhitungan. Idealis. Sayangnya hal itu tidak berlaku saat berhadapan dengan cinta. Saat Opik gencar menunjukkan ketertarikan, aku justru mengejar Valent yang terlihat klimis sebagai cerminan pemuda modern. Ketika Opik menyatakan perasaannya, aku justru menolak dan menyatakan perasaanku kepada Valent.

Kembali kepada takdir. Bukankah pernikahan salah satu bagian dari takdir muallaq? Seperti kata Sujiwo Tejo, menikah itu nasib. Mencintai itu takdir. Kau bisa berencana menikahi siapa, tapi tak dapat kau rencanakan cintamu untuk siapa.

Karena menikah bisa direncanakan, tentu pasangan pun bisa aku yang menentukan. Ini bukan perihal jodoh yang termasuk takdir mubram. Menikah belum tentu pasanganmu adalah jodohmu. Seperti aku yang mengusahakan agar bisa menikah dengan Valent, lalu dihempaskan Tuhan dalam perceraian. Valent bukan jodohku.

Setahun lalu, Tuhan mempertemukan aku dengan Opik yang berpenampilan beda jauh dari zaman kuliah. Sambil mengendarai mobil SUV, setelan jas yang dikenakan membuatnya tampak perlente. Hampir saja tidak kukenali kalau saja suara renyah itu tidak menyapa.

“Nana, kan?” Aku hanya mengangguk sambil melongo. “Ingat aku? Opik,” katanya saat berpapasan di parkiran salah satu media berita daring. Pemandangan saat itu 180 derajat bertentangan. Opik yang dendi, aku justru mendekap map berisi lamaran kerja setelah wawancara.

“Kamu habis wawancara?” tanyanya. “Melamar sebagai apa?”

“Administrasi.”

“Kenapa bukan reporter?”

Aku tersenyum. Susah menjelaskan tentang kondisiku sekarang. Menjadi ibu tunggal dengan seorang anak, mana mungkin bekerja sebagai wartawan yang kerjanya bisa 26 jam seperti yang dijelaskan Pak Bekri, dosen editorial zaman kuliah.

“Kalau mau, bisa aku masukkan ke sana tanpa wawancara.”

“Nggak, ah. Nanti nepotisme. Diterima sebagai admin saja sudah bersyukur.”

“Baiklah kalau kamu menolak. Tapi, tolong jangan menolak aku antar, ya.”

Seandainya tahu akan berakhir begini, aku lebih memilih tidak bekerja di media berita daring yang pemiliknya adalah Opik. Karena dari sanalah kami mulai dekat kembali, dan hubungan ini terjalin. Istri simpanan.

Menjadi kedua tidak pernah diutamakan. Seperti tempat singgah, didatangi saat lelah dengan yang pertama. Opik masih sama seperti dulu, memujaku dan membuai. Kalau saja tahu dia seperhatian ini, aku menerimanya saat itu daripada mengejar Valent yang temperamen sulit.

Kembali ke riwayat pesan daring, Nanaber masih di sana, dan aku mulai mempertimbangkan sesuatu yang terlintas di benak. Kuamati Opik yang menggeliat sebentar, meraih ponsel, dan beranjak dari kasur. Kecupan hangat mendarat di keningku sebelum berlalu ke kamar mandi.

“Nana,” tulisku.

“Iya.”

“Apa kamu sudah berkenalan dengan Opik?”

“Belum.”

“Kalau begitu, ikuti saranku. Suka tidak suka, menikahlah dengan Opik nanti.”

Setelah menulis itu, aku hapus percakapan dan mematikan jaringan.

***

“Hai, namaku Opik. Taufik aslinya. Aku dari jurusan Komunikasi Penyiaran. Kamu Prodi Jurnalistik, kan? Kita sefakultas, tapi beda jurusan.”

Opik? Nama yang tak asing.

Aku menatap pemuda ceking yang mengulurkan tangan kepadaku. Suaranya renyah dan terlihat ramah. Meski penampilannya tak menarik, aku tetap menyambut salam perkenalannya dengan meraih tangannya.

“Kamu percaya dengan adanya dunia paralel?”

Opik terkejut mendengar pertanyaanku meski sedetik kemudian tersenyum lebar, seperti mengolok-olok pertanyaanku yang terlalu fiksi.

“Syukurlah kalau nggak percaya,” kataku sambil membuka tas, mencari ponsel. “Jadi, di masa akan datang aku tidak perlu menikah denganmu.”

Kali ini ekspresi terkejut Opik berlipat ganda dari sebelumnya. Sedangkan aku masih sibuk memainkan ponsel, memberinya kesempatan melihat wajahku lebih leluasa.

“Tadi pagi aku berkirim pesan denganku di masa depan….”

“Dan kita menikah?” Opik memotong omonganku. Tanpa ingin menjelaskan lebih lanjut, aku menjawab pertanyaannya dengan menaikkan bahu. “Kalau begitu, mari kita menikah setelah lulus kuliah. Gimana?”

“Seperti candaan. Pernikahan itu perihal serius, Bro. Kenal baru lima menit lalu, sudah ajak nikah.”

“Seperti keyakinanmu tentang dunia paralel. Toh, takdir tak ada yang tahu.”

Aku menoleh, menatap Opik yang ternyata mempunyai hidung mancung dengan mata belok dinaungi alis tebal. Lapat-lapat kusadari, wajahnya khas orang Timur Tengah.

“Bagaimana dengan Qodariyah dan Jabariyah? Mana yang lebih kamu yakini?”

Opik mengendurkan senyum yang senantiasa membentang di bibir pekat seperti kebanyakan pria perokok. Setelah menghela napas, dia beralih ke muka kelas, tempat dosen berdiri di podium. Namun, suaranya masih kudengar jelas saat menjawab pertanyaanku.

“Aku condong ke Aswaja. Ahlussunah wal Jamaah. Meyakini dua macam takdir, mubram dan muallaq yang saling membaur. Ada hal-hal yang sudah Allah tentukan dan tidak dapat diubah, ada yang bisa manusia ubah meski sudah Allah gariskan.” Opik mengangkat tangan kanannya saat dosen menyebut sesuai daftar presensi. Kemudian melanjutkan, “Jadi, aku tak sependapat dengan Qodariyah dan tidak setuju dengan Jabariyah. Qodariyah membuat manusia sombong, Jabariyah membuat manusia mudah putus asa sebagai makna dari pasrah.”

Dari sana obrolan sampai pada bertukar kontak, saling berteman di akun Facebook, dan akhirnya kami memilih berpacaran. Aku ingin berkirim pesan lagi kepadaku di masa depan, apakah kebahagiaan dengan orang sederhana seperti Opik ini berlanjut sampai di sana? Sebab Opik sudah sukses mengalihkan impresiku terhadap Valent yang klimis. Padahal, soal tampan, Opik jauh di bawah Valent. Herannya aku selalu punya maklum: mungkin karena tubuh Opik terlalu ceking.

Berpacaran dengan Opik memang tidak seromantis kisah-kisah percintaan fiksi. Lebih sering diisi dengan obrolan tentang berbagai teori, sekte, dan semua pengetahuan yang membuatku lebih dalam terperosok pada cinta. Karena itu, tak ada pesan pengantar selamat tidur seperti saat ini. Dia hanya berkirim pesan, “Jangan lupa baca tentang Eutanasia, dan kemukakan pendapatmu berdasarkan pemahamanmu tentang takdir.”

“Siap, Pak.” Belum kukirim pesan itu, muncullah pesan dari Nana Bernad. Sebuah pesan yang merupakan jawaban dari pertanyaanku siang tadi mengenai kebahagiaan dan hubunganku dengan Opik.

“Sialan. Opik berselingkuh dan media mengendusnya. Dia berselingkuh dengan Rania, perempuan yang jadi istri pertamanya sebelum aku menyuruhmu menikahi Opik. Aku tidak terima. Aku mengamuk. Dan keluargaku mengurungku di Menur.”

Aku beralih pada inbox Opik. Namun, belum mengetik satu huruf pun, ponselku diambil tiba-tiba oleh perempuan muda bersetelan baju katun longgar warna putih.

“Ibu Nana, sekarang waktunya makan, lalu minum obat,” katanya seperti seorang ibu kepada anaknya. Aku mengambil bantal dan bersembunyi di baliknya. “Kalau Ibu Nana ngambek, nanti Nana Bernard di masa depan tidak mau berkirim pesan lagi dengan Ibu.” (*)

Madura, 17 Desember 2021

 

 

Wardah T. Editor lepas yang belajar menulis. Bisa ditemui di Facebook dengan nama akun Wardah Toyibah.

 

Editor: Imas Hanifah N
Gambar: Pixabay

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply