Aku Tidak Mau Mama Malu Lagi

Oleh : Ardhya Rahma

Suara keras benturan penggaris kayu dan meja membuat tubuhku tersentak ke belakang. Aku semakin ketakutan saat suara keras seperti geledek keluar dari mulut Bu Harum.

“Pertanyaan mudah gini aja kamu gak bisa jawab! Memangnya kamu tidak pernah diajari ibumu?”

Aku diam, tidak bisa menjawab. Lagi pula aku harus menyahuti apa kalau aku selalu belajar sendiri? Mama sibuk memberi les dan mengajari anak orang lain dan lupa kalau aku juga butuh ditemani saat belajar.

“Kamu sudah kelas tiga. Masa, sih, tiga kali dua saja nggak tahu jawabannya. Pantaslah nilaimu selalu merah!” Geledek itu kembali terdengar. Kali ini semakin keras dan membuatku sesak. Kepalaku tertunduk dalam-dalam. Aku tahu kalau aku bodoh, tapi tidak perlu ibu guru mengumumkannya di kelas. Saat ini harapanku cuma satu, bel segera berbunyi agar aku bisa pulang tanpa menjawab pertanyaan wali kelasku itu.

Kebiasaan wali kelasku yang satu ini memang menyebalkan. Memberi pertanyaan satu per satu kepada para siswa. Apabila bisa menjawab maka siswa tersebut boleh pulang tanpa menunggu bel pulang. Hari ini aku sial. Bu Harum memberikan pertanyaan kepadaku sebelum teman-teman. Tentu saja aku menjadi gugup. Bukan karena mendapat giliran pertama, tetapi karena tidak tahu jawabannya. Matematika memang menakutkan buatku dan semakin mengerikan ketika setiap orang dewasa memaksaku menyukainya.

“Padahal Ibu memberi pertanyaan yang paling mudah,” bisik Bu Harum. Aku terdiam dan tetap menunduk. Sepertinya hal itu membuatnya menjadi kesal. Terbukti suaranya kembali menggelegar.

“Siapa yang bisa menjawab berapa hasil tiga kali dua, boleh pulang!”

“Angkat kepalamu. Lihat semua teman kamu angkat tangan. Mereka semua bisa menjawab!” bisik Bu Harum. Dia membungkuk sangat dekat sehingga aku merasa pusing oleh parfumnya yang menyengat. Sebenarnya tanpa mengangkat kepala, aku sudah tahu kalau semua teman sekelas akan mengangkat tangan. Bukankah aku murid paling bodoh di kelas ini?

Namun, aku terlalu takut untuk membantah perintah guruku itu. Aku mengangkat wajah dan melihat ke seluruh ruangan kelas. Tampak mata-mata meremehkan dan senyum mengejek di wajah teman-temanku. Dadaku terasa sesak. Tangan juga terkepal. Ingin rasanya aku berdiri dan menuding mereka satu per satu sambil membalas tatapan mereka dengan pandangan menusuk. Sayangnya hal itu tidak mungkin aku lakukan. Memangnya aku siapa hingga berani melakukan hal itu? Aku kan hanya anak paling bodoh di kelas!

Syukurlah tak lama kemudian bel berbunyi. Aku segera membereskan peralatan tulis yang berserakan di meja sambil mengembuskan napas lega. Dalam perjalanan pulang, aku memikirkan bagaimana caranya menceritakan kejadian ini kepada Mama. Keringatku mengucur deras membasahi kerah baju dan punggung membayangkan reaksinya. Mama memang tidak ada di sekolah hari ini karena ada pertemuan di kantor dinas pendidikan. Namun, aku yakin Mama tahu. Bu Harum pasti segera melaporkan kebodohanku.

Mama pulang sekitar pukul empat sore sambil menggendong Runi. Setiap hari, adikku itu memang dititipkan ke tempat penitipan anak. Pulang dari mengajar Mama akan menjemputnya. Saat membukakan pintu, perasaanku sudah tidak enak melihat wajah Mama. Matanya menatap tajam seperti pemain sinetron kalau sedang marah. Namun, Mama hanya diam dan segera bersiap untuk memandikan Runi.

Setelah makan malam dan mencuci bekas makan, aku menghampiri Mama. Dia terlihat asyik menonton sinetron.

“Ma, tadi Rama ditanya perkalian nggak bisa jawab. Ajarin, ya,” pintaku.

Mama hanya melirikku tajam.

“Ayo dong, Ma,” rajukku

“Kamu nggak lihat Mama lagi capek? Lagi pula kamu kan sudah berulang kali mama ajari perkalian. Kamunya aja yang nggak ngerti-ngerti. Kenapa, sih, kamu nggak seperti Rafli yang pandai? Jadinya ayahmu lebih memilih membawa Rafli daripada kamu. Kalau saja Rafli yang ikut Mama tiga tahun lalu, pasti dia nggak bakal meninggal kena DBD! Istri baru ayahmu pasti nggak merawat Rafli sampai dia bisa meninggal.” Setelah mengomel panjang, Mama menutup wajah dan mulai terisak.

Aku mundur menjauhi Mama. Aku tak ingin membuatnya marah dan teringat Mas Rafli lagi. Andai Mama tahu, aku juga ingin seperti kakakku Rafli. Dia pandai dan sering menemaniku belajar.

***

Siang ini, aku kena omel Bu Harum lagi. Semua gara-gara aku tidak bisa melakukan pengurangan. Matematika memang kelemahanku. Kenapa mereka tidak mau tahu?

“Belajar, dong, jangan main terus! Kamu mau nggak naik kelas lagi? Mau mempermalukan mama kamu?” tegur Bu Harum. Aku tertunduk di depan meja wali kelasku itu. Teman sekelasku semuanya sudah pulang. Hanya aku dan Bu Harum yang masih berada di kelas.

“Sa-saya sudah belajar, Bu.” Terbata-bata aku menjawab.

“Belajar lagi tiap hari! Andai Rafli masih ada pasti dia bisa mengajari kamu matematika. Kan dia dulu siswa teladan sekolah ini. “

Aku terdiam mendengar ucapan Bu Harum hingga wali kelasku itu menyuruh pulang. Rasa kangenku kepada Mas Rafli yang semakin memuncak membuatku ingin menemuinya, tetapi bagaimana caranya? Bukankah katanya Mas Rafli sudah berada di sisi Tuhan. Entah di mana itu. Aku terus berjalan sambil melamun.

“Hei anak kecil! Kamu mau mati? Sebentar lagi ada kereta lewat loh!” Teriakan seorang lelaki menyadarkanku.

Mati? Bukankah Mas Rafli juga mati? Jadi aku bisa ketemu dia dan minta ajari matematika. Aku mau pintar biar Mama tidak malu lagi. Aku mau mati!

***

Surabaya, 22 Desember 2021

Ardhya Rahma, penulis keturunan Jawa dan Kalimantan yang hobi membaca dan travelling.

Editor : Rinanda Tesniana

Grup FB KCLK

Halaman FB kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata

Gambar : https://pin.it/2L8anDN

Leave a Reply