Serba Salah

Serba Salah

Oleh: Puji Lestari

 

 

“Jojo!!!” Teriakan Mamak menggelegar mengalahkan kerasnya toa masjid. Aku segera berlari meninggalkan kesibukan bermain dengan kura-kura imutku. Kalau nada memanggilnya sudah melengking begitu, pasti ada saja salahku. Aku harus segera berada di hadapan Mamak supaya tidak semakin mengamuk. Aku berlari secepat kilat dari halaman rumah Edo–tetangga sebelah rumah–menuju dapur rumahku.

“Apa, Mak?” tanyaku dengan napas tersengal.

“Kenapa air bisa melimpah ke mana-mana? Pasti kau kan pelakunya?” Mamak melotot ke arahku sambil berkacak pinggang.

“Tadi Jojo mandi lupa bawa handuk, Mak,” jawabku.

Setelah ini aku bersiap-siap melebarkan telinga mendengar Mamak mengomel.

“Kau ya, kebiasaan, gak pernah dengar apa kata Mamak. Sudah berapa kali Mamak bilang?! Kalau lantai basah begini bisa membahayakan orang, Mamak jadi kepleset gara-gara ulahmu itu!” seru Mamak sambil tangannya mengelus pantat.

“Maaf, Mak,” ucapku sambil menggaruk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal. “Ya, mau gimana lagi, Mak. Jojo lupa bawa handuknya. Masa iya mau di dalam kamar mandi terus. Emangnya Jojo ikan duyung, Mak?”

“Itulah kau, ada aja jawabanmu kalau dikasih tahu orang tua. Makanya kalau mau mandi itu disiapkan dulu perlengkapannya, ini enggak, mau mandi asal nyelonong aja. Kalau udah di kamar mandi setahun gak kelar-kelar mandinya. Itu mandi atau mau jadi penunggu WC?”

Sungguh kejam Mamak, sejak kapan aku mandi setahun lamanya? Terlalu melebih-lebihkan. Bisa berlumut semua badan anakmu yang paling ganteng ini, Mak. Aku hanya bisa menganggukkan kepala sambil menunduk. Ya, memang aku salah juga, maafkan anakmu yang ganteng dan imut ini ya, Mak.

“Didengarkan kalau Mamak ngomong, buka telinganya lebar-lebar! Jangan cuma bisanya ngangguk-angguk aja.”

“Iya, Mak, Jojo dengar kok. Maaf ya, Mak.”

Kucium tangan Mamak tersayang yang terlihat urat-uratnya itu. Tangan inilah yang setiap hari selalu digunakan untuk membuatkanku makanan yang enak. Tangan inilah yang selalu merawatku disaat aku sakit. Meskipun Mamak cerewet, tapi apa pun yang dikatakan memang benar dan semua itu juga untuk kebaikanku nanti.

Terkadang aku sebagai anak sering kesal kepada Mamak yang sukanya mengomel. Apa-apa serba salah, begini salah begitu salah, tidak ada benarnya aku di mata Mamak. Aku kadang suka melawan dan membantah. Kadang saat malam hari, aku melihat Mamak duduk termenung di dapur sendirian. Kadang sambil memijit-mijit lengan tangan dan kakinya sendirian. Kasihan Mamak.

“Jangan diulangi lagi, ya.”

“Iya, Mak.” Aku mengangguk.

“Makan dulu sana! Mamak masak sambalado ikan.”

Begitulah hari-hariku di rumah, Mamak sebentar mengomel sebentar baik lagi. Saat Mamak sudah baik lagi, duniaku rasanya damai. Aku bisa main dengan tenang.

***

“Jojo!!!” Lagi-lagi terdengar teriakan Mamak saat aku main kelereng di rumah Edo. Segera kulempar kelereng dan berlari menuju sumber suara.

Ada lagi salahku?
Apa lantainya basah? Ah, aku belum mandi.
Apa remote tv-nya tersembunyi? Ini masih sore, belum saatnya sinetron kesayangan Mamak tayang.

“Iya, Mak. Ada apa?” Napasku tersengal seperti orang habis lari maraton. Belum selesai aku mengatur napas, kulihat wajah Mamak ditekuk, seperti langit yang berhiaskan mendung.

“Lihat ini!” Mamak mengangkat sebuah benda berbentuk kotak berwarna kuning.

Tupperware Mamak pecah, kamu apakan?” Aku melongo tidak tahu harus menjawab apa.

“Jojo gak tau, Mak,” jawabku sambil menggeleng.

“Jangan bohong! Kamu apakan, Jojo?!” Teriakan Mamak menembus gendang telingaku, dahsyat sekali layaknya petir di saat hujan deras.

“Jojo gak tahu, Mak. Suwer!” Aku mengangkat tangan, mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah.

“Kebiasaan kau ya, selalu aja gak dengar yang Mamak bilang. Jangan pakai barang-barang dapur untuk mainan di luar. Ini pasti gara-gara kamu pakai main sama Ucok kemarin, kan. Ngaku!”

“Mana ada Jojo pakai itu buat mainan sama Ucok. Kemarin kami main kelereng, Mak,” jawabku membela diri. “Bukannya Mamak kemarin marahin Bang Joni sampai banting-banting barang? Mungkin itu juga Mamak lempar makanya pecah.”

“Berani kau nuduh Mamak, ya.”

“Coba Mamak ingat-ingat dulu. Aku kemarin lihat tupperware itu tergeletak di sebelah kulkas, Mak.”

Aku lihat Mamak mulai berubah raut wajahnya, mungkin sudah ingat dengan kejadian kemarin.

“Berarti kan Mamak sendiri yang lempar sampai pecah gitu,” ucapku.

“Kau dan abangmu sama aja, suka bikin Mamak marah. Makanya kau kalau dibilangin orang tua nurut, sekali dikasih tahu itu didengar. Ini sukanya bikin Mamak emosi aja. Punya anak dua susah kali dibilanginnya. Jadi pecah kan tupperware Mamak, mana belum lunas kreditnya.” Mamak berlalu sambil membawa tupperware kesayangannya yang sudah pecah itu. (*)

 

 

Puji Lestari, seorang pendidik dan penulis pemula yang tinggal di Riau. Ia merupakan ibu satu anak yang masih haus akan ilmu untuk mempertajam kemampuan menulisnya. Telaga Kasih Ibu merupakan novel perdananya yang terbit tahun 2021. Mari menyambung silaturahmi dengan berkunjung di media sosial Facebook: Puji Lestari dan Instagram: Puput Pujianto.

 

Editor: Imas Hanifah N
Gambar: Pixabay

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply