Sekolah

Sekolah

 

SEKOLAH
Oleh: Ika Mulyani

Setiap bangun tidur di pagi hari, saya selalu bertanya kepada Ibu, “Sekarang hari apa?”

Dan bila Ibu menjawab, “Hari Minggu”, maka saya akan segera meloncat bangun dari tempat tidur dan bergegas memasuki kamar Ibu, lalu mengguncangkan tubuh Ayah yang masih tertidur sambil berseru gembira, “Ayah, ayo temenin naik sepeda!”

Kata Ibu, umur saya sudah empat tahun setengah, sebentar lagi sudah masuk sekolah TK. Kata Kak Beno, kalau sudah sekolah TK, harus bisa naik sepeda yang dua roda kecilnya dilepas. Kata Ayah, kalau sudah bisa naik sepeda roda dua, baru bisa disebut jagoan. Saya suka jadi jagoan. Saya harus belajar terus sampai bisa.

Tetapi, Kak Beno tidak pernah mau mengajari saya. Dia jarang ada di rumah, sibuk bermain ponsel bersama teman-temannya di teras rumah Mang Salim. “Di sana, mah, wifi-nya kenceng. Aku tahu password-nya.” Begitu kata Kak Beno kepada teman-temannya. Saya tidak pernah dibolehkan untuk ikut. Pernah satu hari saya menyusul mereka. Saya harus melewati lima rumah untuk sampai di rumah Mang Salim. Saya ingin ikut melihat apa yang mereka tonton dari ponsel. Sepertinya seru sekali. Wajah mereka terlihat tegang dengan mata setengah memelotot. Mungkin mereka menonton film perang atau film zombi. Saya sangat suka film seperti itu dan ingin ikut menonton. Akan tetapi, begitu melihat saya datang, Kak Beno segera mematikan layar ponselnya. Saya dimarahi dan disuruh pulang. Saya malah makin penasaran dengan apa yang mereka tonton.

“Ini khusus untuk yang sudah sekolah SD! Kamu belum sekolah, jadi belum boleh lihat.” Begitu kata Kak Beno ketika saya merengek. “Sana pulang! Nonton tipi aja di rumah!”

Kak Beno memang sudah sekolah di SD. Kata Ibu, Kak Beno sudah kelas lima. Saya jadi tidak sabar ingin segera sekolah di SD. Saya ingin menonton film khusus untuk anak sekolah SD itu. Kata Ibu, kalau umur saya sudah enam tahun, baru bisa sekolah di tempat Kak Beno sekolah.

“Berapa lama lagi?” tanya saya.

Tapi Ibu hanya menjawab, “Masih lama. TK juga belum.” Lalu Ibu sibuk lagi dengan pekerjaannya. Kalaupun pekerjaannya sudah selesai, Ibu akan sibuk dengan ponselnya dan tidak bisa diganggu. Ibu serius sekali melihat layar ponselnya. Sesekali Ibu tersenyum, kadang-kadang tertawa, atau marah entah kepada siapa. Ibu pasti tidak akan mau mengajari saya naik sepeda yang sudah tidak ada roda kecilnya. Saya minta minum saja disuruh mengambil sendiri. Tidak seperti kalau Kak Beno mau berangkat ke sekolah. Ibu akan menyiapkan botol minum untuk dibawa Kak Beno ke sekolah. Kadang-kadang, Ibu juga menyuruh Kak Beno membawa kotak bekal yang sudah diisi nasi dan ayam goreng yang enak.

“Buat apa?” tanya Ibu ketika saya minta dibuatkan juga. “Nanti kalau kamu udah sekolah TK, baru Ibu buatin. Sekarang, mah, pakai piring aja. Minumnya pakai gelas.”

Saya jadi ingin cepat-cepat sekolah TK. Tetapi, saya belum bisa naik sepeda yang roda kecilnya dicopot. Saya jatuh terus waktu mencobanya.

Hanya Ayah yang mau memegangi saya ketika naik sepeda supaya tidak jatuh. Kata Ayah, kalau saya terus belajar, saya pasti bisa. Saya tidak akan jatuh walaupun tidak dipegangi Ayah. Tetapi, Ayah hanya ada di rumah pada hari Minggu. Kata Ibu, Ayah bekerja di kota. Kata Ayah, kota itu jauh, jadi Ayah tidak bisa pulang setiap hari. Kata Ibu, Ayah bekerja membuat gedung bertingkat, seperti yang sering saya lihat di televisi. Ayah hebat sekali. Kata Ayah, untuk jadi orang hebat, saya harus sekolah dan rajin belajar.

“Juga supaya tercapai semua cita-citamu,” kata Ayah.

“Cita-cita itu apa?”

Ayah menjelaskan, tetapi Ayah terlihat sedih ketika saya menyebutkan cita-cita saya: ingin seperti Ayah. Mengapa Ayah sedih? Apakah cita-cita agar bisa membuat gedung bertingkat adalah cita-cita yang jelek?

Ayah hanya menggeleng. “Kamu harus lebih baik dari Ayah,” katanya.

“Apa yang lebih hebat dari membuat gedung bertingkat?”

“Banyak. Jadi dokter, polisi, atau pilot. Sekarang, mah, sekolah saja dulu. Belajar yang rajin.”

Jadi ternyata semua yang saya mau baru bisa saya dapat kalau saya sudah sekolah. Tetapi, sebelum sekolah, saya harus bisa naik sepeda yang tidak ada roda kecilnya. Kembali saya guncang tubuh Ayah yang masih saja tidur dengan suara mengorok. Ayah memang suka mengorok kalau tidur. Ibu sering mengeluhkan suara mengorok Ayah.

“Ayah! Ayo bangun!”

Tetapi Ayah tidak juga mau bangun. Ayah memang susah dibangunkan. Kata Ibu, Ayah kecapekan setelah bekerja di kota.
Hari sudah makin siang. Saya harus segera belajar lagi naik sepeda tanpa roda kecil. Saya mengguncang tubuh Ayah sekali lagi. Suara mengorok Ayah tiba-tiba berhenti. Saya senang sekali.

“Ayo, Ayah! Cepat bangun!”

Tetapi Ayah tidak juga mau bangun. Suara mengoroknya sudah tidak terdengar lagi, tetapi mata Ayah masih saja tertutup. Saya mencoba menggelitik telapak kaki Ayah. Itu jurus terakhir yang jitu kalau Ayah belum juga mau bangkit dari berbaringnya. Saya heran, kaki Ayah dingin sekali, seperti habis berendam di dalam air es. []

Ciawi, 15 Desember 2021

Ika Mulyani, penyuka warna hijau, termasuk bubur kacang hijau dan buah alpukat. Lahir, besar, dan bersekolah di Bogor, masih sedang dan akan terus belajar untuk membaca dan menulis dengan baik.

 

Editor: Erlyna

Sumber gambar: https://pin.it/2A9i5cr

Leave a Reply